HUKUM WAKAF TUNAI

Pengertian Wakaf Uang Tunai
Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, suatu kelompok, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham dan cek.
Sebelum membahas hukum wakaf tunai, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menetapkan salah satu syarat wakaf adalah harta yang diwakafkan harus bersifat tetap (tsabit), yaitu barang tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merubah bentuknya. Barang tetap (tsabit) ini terbagi menjadi dua; pertama: barang yang tidak bisa dipindah-pindahkan (ghairu al-manqul), seperti tanah dan bangunan, kedua: barang yang bisa dipindahkan (al-manqul).
Mereka sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang (ghairu al-manqul), tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum wakaf barang yang bisa dipindah (al-manqul). Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:
Pendapat Pertama: Tidak boleh wakaf dengan barang al-manqul secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan riwayat dari imam Ahmad.
Pendapat Kedua: Boleh wakaf dengan barang al-manqul, jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan, seperti wakaf senjata. Ini pendapat Abu Yusuf.
Pendapat Ketiga: Boleh wakaf dengan barang al-manqul jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut, seperti wakaf senjata atau dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa barang tersebut diwakafkan. Ini pendapat Muhammad al-Hasan.
Dasarnya adalah Istihsan bi al-‘Urfi, (kebiasan masyarakat), seperti wakaf buku untuk para penuntut ilmu dan wakaf mushaf al-Qur’an untuk masyarakat.
Oleh karena itu, jika mewakafkan barang yang bisa dipindahkan tetapi belum membudaya di masyarakat, hukumnya kembali ke asal, yaitu tidak boleh. Pendapat Muhammad al-Hasan ini bertentangan dengan pendapat Abu Yusuf. Tetapi yang dijadikan fatwa dan qadha dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Muhammad al-Hasan. (Hasyiatu Ibn Abidin: 3/408, Fathu al-Qadir: 5/ 48)
Hukum Wakaf Tunai
Dari perbedaan pendapat ulama di atas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkan wakaf al-manqul, karena lebih dekat kemaslahatan umat.
Tetapi, para ulama yang membolehkan wakaf al- manqul pun masih berbeda pendapat tentang hukum wakaf tunai (uang), walaupun uang sendiri bagian dari al-manqul, tetapi uang mempunyai sifat-sifat sendiri yang berbeda dengan sifat-sifat barang lain. Perbedaan ulama tersebut teringkas dalam dua pendapat berikut:
Pendapat Pertama: Wakaf tunai hukumnya tidak boleh. Ini pendapat Ibnu Abidin dari Hanafiyah dan madzhab Syafi’i. (Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, 412)
Ibnu Abidin berkata: “wakaf tunai (dengan dirham) merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Romawi, bukan dalam masyarakat kita. Begitu juga wakaf kapak dan pisau pernah berlaku pada zaman terdahulu, tetapi tidak lagi pernah terdengar pada zaman kita. Untuk itu, tidak sah kalau diterapkan sekarang, seandainya-pun ada, maka sangat jarang terjadi dan itu tidak dianggap. (Sebagaimana diketahui) bahwa yang dijadikan standar adalah kebiasaan masyarakat yang sudah menyebar.“ (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/375)
Mereka mempunyai dua alasan:
Pertama: Uang zatnya bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai.
Kedua: Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya
Pendapat Kedua: Wakaf tunai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Imam Zuhri, seorang ahli hadist, Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, ini juga pendapat sebagian ulama mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ulama dari kalangan Syafii, sebagaimana disebutkan Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, bahwa Abu Tsaur meriwayatkan hal itu dari Imam Syafi’i.
Di bawah ini beberapa nash dari mereka :
عَنِ الزُّهْرِي قَالَ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِيْنَارٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ دَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ يَتَّجِرُ بِهَا، وَجَعَلَ رُبْحَهُ صَدَقَةٌ لِلْمَسَاكِيْنَ وَالْأَقْرَبِيْنَ
Dari Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “ Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat. “ (Shahih Bukhari: 4/14)
جَاءَ فِي حَاشِيَةِ ابْنِ عَابِدِيْنَ : وَعَنِ الْأَنْصَارِيْ ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ زُفَرِ ، فِيْمَنْ وَقَفَ الدَّرِاهِمَ أَوْ مَا يُكَالُ أَوْ مَا يُوْزَنُ أَيَجُوْزُ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيْلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: بِدِفْعِ الدَّرَاهِمَ مُضَارَبَةٌ ثُمَّ يَتَصَدَّقُ بِهَا فِي الْوَجْهِ الَّذِي وَقَفَ عَلَيْهِ
Dari Al-Anshari, dia adalah salah satu sahabat Zufar, ditanya tentang orang yang berwakaf dengan dirham atau dalam bentuk barang yang dapat ditimbang atau ditakar, apakah itu dibolehkan? Al-Anshari menjawab: Iya, boleh. Mereka bertanya bagaimana caranya? Beliau menjawab: dengan cara menginvestasikan dirham tersebut dalam mudharabah, kemudian keuntungannya disalurkan pada sedekahan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.” (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/374)
Di dalam al-Mudawanah al-Kubra Imam Malik disebutkan:
أَوْ قِيْلَ لَهُ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا حَبَّسَ مِائَةَ دِيْنَاٍر مَوْقُوْفَةٍ يسْلَفَهَا النَّاسُ وَيَرُدُّوْنَهَا عَلَى ذَلِكَ جَعَلَهَا حُبُسًا هَلْ تَرَى فِيْهَا زَكَاةٌ؟ فقال: نَعَمْ أَرَى فِيْهَا زَكَاةٌ
“Ditanyakan kepada beliau tentang hukum seorang laki-laki yang menjadikan uangnya sebesar seratus dinar sebagai wakaf untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan dikembalikan kepadanya lagi untuk disimpan lagi, apakah harta seperti ini terkena kewajiban zakat? Beliau menjawab: Ya, saya berpendapat wajib dikeluarkan zakatnya. (al-Mudawanah al-Kubra: 1/ 380)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235) meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Pendapat Yang Benar
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan wakaf tunai hukumnya boleh, karena tujuan disyariatkan wakaf adalah menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat darinya. Dan wakaf uang yang dimaksud bukanlah dzat uangnya tapi nilainya, sehingga bisa diganti dengan uang lainnya, selama nilainya sama.
Kebolehan wakaf tunai ini telah ditetapkan pada konferensi ke- 15, Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, No : 140 , di Mascot, Oman, pada tanggal 14-19 Muharram 1425 H/ 6-11 Maret 2004 M. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf tunai, pada tanggal 11 Mei 2002.
Wakaf Tunai juga sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 4/ 2009 dan dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31. Wallahu A’lam .
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
Pondok Melati, 2 Rajab 1413/ 22 Mei 2013
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah (Al-Maidah[5])
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Lihat isinya »