Ilmu
13819 Hits

Pengertian Ushul Fiqh

Secara sederhana  Ushul Fiqh bisa kita artikan : “ Dasar-dasar untuk memahami Fiqh “ .

Adapun rinciannya sebagai berikut :

“ Ushul”  berasal dari kata “ Ashlun “ yang berarti : dasar, pondasi atau akar.

Allah swt berfirman :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء

“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. “ ( Qs Ibrahim : 24 )

Ayat di atas menunjukkan bahwa pembagian suatu masalah , atau suatu ilmu  menjadi : Ashlun ( Dasar ) dan Far’un ( Cabang ) , mempunyai landasan dari Al Qur’an.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa  seseorang yang mempunyai dasar-dasar ilmu yang kuat , atau menguasai dasar-dasar ilmu, niscaya dia akan bisa menguasai cabang-cabangnya juga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya juga . Ada sebuah ungkapan  :

من حرم الأصول حرم الوصول

« Barang siapa yang tidak bisa menguasai dasar-dasar suatu ilmu, tentunya  dia tidak akan  bisa menguasai cabang-cabangnya . «

Sedangkan  Fiqh  berarti pemahaman .

Allah berfirman :

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

«  dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku

supaya mereka memahami perkataanku «  ( Qs Toha : 27-28 )

Allah juga berfirman :

وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ

“ Tetapi kamu sekalian tidak memahami  tasbih mereka. “  ( QS. Al Isra’ : 44 )

Allah juga berfirman :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ وَهُوَ الَّذِيَ أَنشَأَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ

“ Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.”  ( Qs Al An’am : 97-98 )

Dalam dua ayat di atas Allah membedakan antara  “ Al-Ilmu “  dan “ Al Fiqh“ . Untuk mengetahui tentang penciptaan manusia, kita harus membutuhkan pemahaman yang ekstra dan ketekunan yang luar biasa, karena seluk beluk tentang manusia sangatlah rumit, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang tertentu.  Berbeda dengan pegetahuan tentang bintang-bintang di langit, mayoritas pelayar dan orang yang sering mengadakan perjalan sering menjadikan  bintang-bintang di atas kangit  tersebut, sebagai acuan di dalam menentukan arah, jadi tidak perlu pemahaman yang mendetail.

Allah swt berfirman :

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا

“ maka Kami telah memberikan pemahaman  kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat  ([1]) ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu . “ ( QsAl Anbiya’ : 79 )

Di sini Allah juga membedakan antara “ Al Fahmu “ dengan “ Al Ilmu “.  Nabi Daud dan Nabi Sulaiman masing-masing diberikan kepadanya ilmu dan hikmah, akan tetapi Nabi Sulaiman mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud yaitu Al Fahmu.   Adapun “ Al Fahmu “ di dalam ayat ini  adalah  pemahaman tentang hukum yang sangat mendetail,  ini sesuai dengan  sebab turunnya ayat seperti yang disebutkan Ibnu Abbas. Al Fahmu di sini juga bisa berarti Firasat yang benar.

Adapun pengertian Ilmu Fiqh itu sendiri ( arti Fiqh secara istilah keilmuan )  adalah : “ Ilmu yang mempelajari ( Pengetahuan tentang  )  Hukum-hukum  Syare’ah yang terkait dengan praktek ibadah dengan dalil-dalil yang terperinci . “

Ilmu Fiqh ini bukan ilmu yang pasti, karena pengetahuan tentang  hukum-hukum syare’ah ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat praduga. Seorang ahli fiqh di dalam menentukan hukum pada suatu masalah , kemungkinan bisa salah.  Oleh karenanya, sebagian ulama di dalam  menyebutkan pengertian  Ilmu Fiqh , mereka menggunakan kata “ Ma’rifat “ bukan  dengan “ Ilmu “ .  Adapun perbedaaan  Ma’rifat  dengan Ilmu adalah sebagai berikut :

  1. Ma’rifat  mencakup sesuatu yang bersifat pasti dan yang bersifat praduga. Sedang Ilmu bersifat pasti.
  2. Ma’rifat biasanya digunakan untuk hal-hal yang bisa diraba dan dirasakan , sedang  Ilmu  biasanya digunakan untuk sesuatu yang bisa dicerna dan dipikirkan.

ya, Allah mempunyai sifat  “ ‘Alim “ , bukan “ ‘Arif “ , walaupun kedua- duanya berarti mengetahui , tetapi secara rinci terjadi perbedaan sebagaimana yang diterangkan di atas.

  1. ( Hukum-hMa’rifat adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tersembunyi baginya, sedangkan Ilmu tidaklah demikian.

Oleh karenanukum  Syare’ah )

Ilmu Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang diambil dari Syareah Islam, bukan dari akal maupun kebiasaan.

Dari sini hukum terbagi menjadi tiga macam :

  1. Hukum Syar’I : Hukum yang diambil dari Syareah Islam
  2. Hukum ‘Aqly : Hukum yang berdasarkan akal , seperti  1+1 = 2
  3. Hukum ‘Ady : Hukum yang beradasarkan kebiasaan, seperti :  kepala akan terasa sakit kalau dipukul dengan palu.

( yang terkait dengan praktek ibadah )

Yang dipelajari di dalam Ilmu Fiqh adalah hukum yang terkait dengan praktek Ibadah, seperti kewajiban melakukan sholat 5 waktu.  Adapun hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan, seperti kewajiban beriman kepada Allah swt  tidak dibahas di dalam Ilmu Fiqh.

Bagaimana dengan sebagian ulama yang memasukkan masalah keyakinan dan aqidah ke dalam katagori Fiqh ? Jawabannya bahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar.

Masalah-masalah Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam Fiqh secara bahasa. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw :

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“ Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, niscaya Allah akan memberikan pemahaman baginya tentang  agama . “  ( HR Bukhari no 71 , Muslim no : 2354 )

Dan agama mencakup seluruh ilmu-ilmu yang disebut di atas.

Sebagian ulama tidak setuju dengan pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi : masalah –masalah yang mendasar ( Ushul )   dan masalah-masalah yang tidak mendasar ( Furu’ )   .  Masalah-masalah yang mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya, dia menjadi kafir, seperti tidak beriman kepada nabi Muhammad saw.  Sedang masalah yang tidak mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya , dia tidak menjadi kafir, seperti kewajiban membaca sholawat dalam tasyahud akhir. ([2])

Sebenarnya pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi Ushul ( masalah –masalah yang mendasar )  dan Furu’ ( yang tidak mendasar )   pada hakekatnya  mempunyai persamaan  dengan pembagian sebagian ulama yang  menjadi  Al I’tiqadiyah ( masalah-masalahyang terkait dengan keyakinan  ) dan  Al ‘Amaliyah (yang terkait dengan praktek ibadah) . Masing-masing pembagian tersebut mempunyai beberapa kelemahan , karena praktek ibadahpun tidak bisa dipisahkan dengan masalah keyakinan, sebagaimana masalah-masalah ushul  tidak bisa dipisahkan dengan masalah –masalah furu’. Pembagian tersebut sebenarnya hanya untuk mempermudah pemahaman saja dan  hanya dilihat dari beberapa sisi.

 

( dengan dalil- dalil  yang terperinci )

Artinya bahwa di dalam  Ilmu Fiqh masalah-masalah yang disebut di dalamnya disertai dengan dalil-dalil yang terperinci dari Al Qur’an , As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan lain-lainnya. Seperti kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dalilnya adalah firman Allah swt :

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ

“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )

(Apabila kamu hendak ) menunjukkan  bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :

إنما الأعمال بالنيات

“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ ( HR Bukhari no  : 1, Muslim  no : 4844 )

 

 

 


( [1] ) Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang mempunyai tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang mempunyai tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang mempunyai tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan orang yang mempunyai kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mempunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat .

( [2] ) Selama ini kriteria -kriteria atau batasan-batasan masalah ushul dan furu’  yang ditawarkan  para ulama tidak ada yang tepat dan pas. Karena pada hakekatnya pembagian Ushul dan Furu’ ini hanyalah pembagian akademis, dan realitanya sulit diterapkan , karena masalah ushul dan furu’ biasanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

KARYA TULIS