Ilmu
2285 Hits

Hukum Seputar Fidyah

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA.

 

Dalil Disyariatkannya Fidyah

Fidyah bagi yang meninggalkan puasa tersebut di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 184)

Diriwayatkan dari Imam al-Bukhari (4505) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ayat di atas tidak mansukh atau dihapus, tetapi berlaku bagi laki-laki dan wanita lanjut usia yang tidak bisa berpuasa maka wajib memberikan fidyah berupa makanan untuk satu orang miskin (sekali makan).”

 

Hukum Membayar Fidyah

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang tidak mampu berpuasa karena lanjut usia atau sakit dengan tidak ada harapan sembuh;

Pendapat Pertama: Wajib Membayar Fidyah.

Ini pendapat mayortas ulama.

Pendapat Kedua: Disunnahkan Membayar Fidyah.

Ini pendapat al-Malikiyyah.

Berkata ad-Dardiri di dalam asy-Syarh al-Kabir, “Dan disunnahkan membayar fidyah, yaitu kafarah sughra (denda ringan) yang berupa satu mud makanan yang dibayar setiap hari bagi yang lanjut usia dan tidak mampu berpuasa.”

 

Bagaimana hukumnya jika setelah membayar fidyah tiba-tiba yang sakit menjadi sembuh? Para ulama pun berbeda pendapat.

Pendapat Pertama: dia wajib meng-qadha puasa, walaupun sudah membayar fidyah.

Ini pendapat al-Hanafiyyah dan riwayat dari asy-Syaifi’iyyah dan al-Hanabilah.

Pendapat Kedua: dia tidak wajib meng-qadha puasa, tetapi wajib berpuasa jika datang bulan Ramadhan lagi.

Hal itu karena dia sudah membayar fidyah pada Ramadhan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang benar dari asy-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah.

Berkata al-Khatib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtaj, “Seandainya yang sudah membayar fidyah mampu berpuasa setelah berbuka maka tidak ada kewajiban meng-qadha.”

 

Hukum Bagi yang Tidak Mampu Membayar Fidyah

Seseorang yang tidak mampu membayar fidyah karena miskin maka tidak ada kewajiban untuk membayar fidyah.

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (4/396), “Barang siapa yang tidak mampu membayar fidyah maka tidak ada kewajiban baginya sebagaimana firman Allah, 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

ِAllah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. al-Baqarah: 286) ...

Begitu juga orang sakit yang tidak ada harapan sembuh boleh berbuka dan membayar fidyah setiap hari kepada satu orang miskin karena keadaannya sama dengan orang tua yang lanjut usia.

 

Keadaan Orang Sakit

Orang sakit mempunyai dua keadaan:

(1) Sakit yang ada harapan sembuh, seperti pilek, flu, demam, sakit kepala, sakit perut, dan sejenisnya, maka baginya berlaku firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Dari ayat itu hendaknya dia menunggu kesembuhan, jika sembuh maka wajib meng-qadha puasa. Apabila tidak sembuh dan meninggal, maka tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qadha karena pada dasarnya dia tidak ada kewajiban berpuasa. Ini sebagaimana orang yang meninggal pada bulan Sya’ban maka tidak ada kewajiban baginya untuk berpuasa.

Oleh karena itu, bagi anggota keluarganya tidak perlu berpuasa untuknya dan tidak pula ada kewajiban membayar fidyah untuknya.

 

(2) Sakit berat dan terus-menerus serta tidak ada harapan sembuh seperti gagal ginjal, diabetes, jantung koroner, dan sejenisnya, maka dia wajib membayar fidyah baginya setiap hari untuk satu orang miskin sebagaimana orang tua yang lanjut usia. Berlaku baginya firman Allah subahanahu wa ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

 

Tata Cara Pembayaran Fidyah

Seseorang yang ingin membayar fidyah diberikan beberapa pilihan, diantaranya:

(1) Memberikan makanan pokok, seperti beras dan sejenisnya kepada satu orang miskin setiap hari.

(2) Membeli atau memasak makanan yang sudah matang kemudian diberikan kepada orang miskin.

(3) Memberi 30 orang miskin untuk satu bulan. Sebagaimana dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Ketika lanjut usia beliau, dan tidak mampu berpuasa Ramadhan satu bulan penuh, beliau mengumpulkan 30 orang miskin dan memberikan makan kepada mereka (sebagai pengganti puasa selama satu bulan).” (HR.ad-Daruqhutni). Dan ini beliau lakukan di akhir Ramadhan. Walaupun begitu, yang lebih utama adalah membayar fidyah untuk setiap harinya.

(4) Memberi satu orang miskin selama 30 hari, baik dibayarkan tiap hari maupun diberikan sekaligus kepadanya di akhir Ramadhan sejumlah 30 hari. Berkata di dalam al-Inshaf; “Dibolehkan memberikan fidyah kepada satu orang miskin sekaligus tanpa ada perbedaan pendapat.”

 

Hukum Mendahulukan dalam Membayar Fidyah

Para ulama sepakat bahwa tidak boleh membayar fidyah sebelum datangnya bulan Ramadhan. Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’, “Ulama madzhab kami sepakat bahwasanya bagi orang lanjut usia yang tidak sanggup berpuasa dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, maka tidak boleh membayar fidyah sebelum datangnya bulan Ramadhan.”

Tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi bagi yang membayar fidyah secara sekaligus sebelum selesai bulan Ramadhan.

 

Pendapat Pertama: Dibolehkan

Dibolehkan membayar fidyah sekaligus untuk satu bulan walaupun Ramadhan belum selesai. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.

Pendapat Kedua: Tidak Dibolehkan

Tidak dibolehkan membayar fidyah sekaligus untuk satu bulan. Akan tetapi harus dibayar setiap hari sesuai dengan hari puasa yang sedang berlangsung, dan dibolehkan membayar sekaligus di akhir bulan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Anas bin Malik. Ini pendapat mayoritas ulama.

Berkata Syihabuddin ar-Ramli asy-Syafi’i, “Dan dia dibolehkan di dalam membayarnya untuk diakhirkan (hingga Ramadhan selesai) atau membayarnya tiap hari, serta tidak boleh dibayar di depan karena hal itu sebuah bentuk pendahuluan atas waktu wajibnya (yaitu berbuka).”

 

Apakah Disyaratkan Niat?

Membayar fidyah adalah bagian dari ibadah, maka disyaratkan niat dari pelakunya ketika membayar fidyah. Oleh karena itu tidak sah jika seseorang membayarkan fidyah untuk orang lain tanpa memberitahunya. Sebagaimana hukum di dalam membayar zakat fitri.

Berkata Syihabuddin ar-Ramli asy-Syafi’i, “(Membayar fidyah) harus menyertakan niat karena fidyah itu bentuk ibadah harta seperti zakat dan kafarah. Maka seseorang harus berniat membayar fidyah karena berbuka puasa.”

Berkata Ibnu Muflih al-Hambali di dalam al-Furu’, “Niat adalah syarat... Seandainya diniatkan untuk sedekah secara mutlak maka tidak sah walaupun dia bersedekah dengan semua hartanya.”

 

Hukum Membayar Uang sebagai Pengganti Makan dalam Fidyah

Para ulama berbeda pendapat jika seseorang berkewajiban membayar fidyah apakah boleh diganti dengan uang.

(1) Tidak Boleh Membayar Fidyah dengan Uang.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

(2) Dibolehkan Membayar Fidyah dengan Uang.

Ini pendapat al-Hanafiyyah. Karena tujuan pemberian fidyah adalah memenuhi kebutuhan orang miskin. Dan ini terwujud dengan memberikan uang, bahkan kadang-kadang lebih dibutuhkan oleh orang miskin dibandingkan makanan.

Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al-Fatawa, “Adapun membayar dengan uang karena kebutuhan atau maslahat, atau demi keadilan maka tidak apa-apa.”

 

Ukuran Fidyah

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan ukuran fidyah bagi yang meninggalkan puasa.

(1) Ukuran fidyah adalah satu Mud. Ini pendapat al-Malikiyyah dan asy-Syafi’iyyah.

(2) Ukuran fidyah adalah dua Mud. Ini pendapat al-Hanabilah.

(3) Ukuran fidyah adalah empat Mud. Ini pendapat al-Hanafiyyah.

 

Keterangan:

1 mud  = 750 gram.

2 mud  = 1,5 kilogram.

4 mud  = 3 kilogram.

1 sha’  = 4 mud = 3 kilogram.

 

Kalau membayar fidyahnya dengan gandum, maka boleh satu mud. menurut al-Hanabilah dan boleh dua mud menurut al-Hanafiyyah.

Disunnahkan di dalam memberikan makanan disertakan lauk pauk seperti daging, ayam, ikan, telur, tahu, tempe, kerupuk.

Berkata al-Bukhari dalam ash-Shahih, “Sesungguhnya Anas ketika lanjut usia dan tidak berpuasa, pernah membayar fidyah satu atau dua tahun dengan memberikan satu orang miskin berupa roti dan daging.”

Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni pernah menceritakan bahwa Imam Ahmad suatu ketika ditanya tentang perempuan yang tidak berpuasa selama satu bulan (karena suatu udzur). Maka Imam Ahmad berkata, “Kumpulkan tiga puluh orang miskin dan beri mereka makan sampai kenyang. Yaitu berupa roti dan daging sebagaimana yang anda makan sehari-hari.”

 

Yang Berhak Menerima Fidyah

(1) Mayoritas ulama mensyaratkan pembayaran fidyah untuk dibayarkan kepada orang muslim yang miskin atau fakir. Oleh karenanya tidak boleh dibayarkan kepada orang yang kaya atau kepada yang kafir.

Berkata al-Bujairmi asy-Syafi’i di dalam al-Hasyiyah tentang hukum mengeluarkan fidyah, “Tidak sah jika dibayarkan kepada orang kafir.”

Berkata al-Bahuti al-Hambali di dalam Kasyaful al-Kina, “Tidak boleh membayar kafarah kepada orang kafir karena hukumnya seperti zakat.”

 

(2) Tidak boleh membayar fidyah kepada orang yang berada dalam tanggungannya seperti kedua orang tua, anak dan istri.

Berkata Imam Syafi’i di dalam al-Umm, “Kafarat dan zakat dibayarkan kepada orang yang tidak dalam tanggungannya.”

 

(3) Sebaiknya diberikan kepada orang fakir dan miskin yang masih ada hubungan kerabat, tetapi tidak dalam tanggungan. Diriwayatkan dari Salman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bersedekah kepada orang miskin, pahalanya sedekah saja. Sedangkan bersedekah kepada kerabat, pahalanya ada dua yaitu sedekah dan menyambung silaturrahim.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)

 

Wallahu a'lam.

 

Vila Besakih, 9 Ramadhan 1441/2 Mei 2020

KARYA TULIS