Ilmu
10194 Hits

Hadits Ahad, Hujjah dalam Akidah (Mengkaji Ulang Rumusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 1929)

Syarikat Muhammadiyah dengan ruh tajdidnya, tidak pernah lepas dari slogan yang selalu menempel padanya, yaitu kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Bahkan, karena semangatnya kembali kepada kedua sumber hukum tadi, Muhammadiyah memploklamirkan dirinya untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, karena madzhabnya adalah Al Qur’an dan Sunnah. Tentunya, prinsip di atas patut kita dukung bersama, karena memang demikian seharusnya setiap muslim untuk bersikap. Salah satu bentuk dukungan atas prinsip itu, yaitu mengingatkan syarikat ini, jika manhaj atau prinsipnya bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Di antara masalah yang perlu dikaji ulang adalah sikap Muhammadiyah di dalam memandang hadist ahad. Sampai hari ini, organisasi keagaamaan yang terkenal dengan berpegang teguhnya dengan sunnah ini, justru masih berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan dasar di dalam menentukan aqidah.

Dalam rumusan pokok-pokok manhaj Majlis Tarjih disebutkan bahwa: “ Di dalam masalah Aqidah(Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.“ ( Lihat Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,hlm 13 ).

Di dalam Himpunan Putusan Tarjih (hlm:15),disebutkan: “Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh nabi saw yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya.“

Dalil Mutawatir adalah dalil yang diriwayatkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, mencapai jumlah yang tidak memungkinkan periwayatannya bersepakat untuk berbohong (dusta) dalam pemberitaan dalil tersebut. Sedangkan dalil ahad adalah dalil yang periwayatannya tidak samapi derajat dalil mutawatir.

Rumusan di atas menurut penulis, perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai beban psikologis yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya para pengikut syarikat ini. Dikarenakan rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Syarikat Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shahih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan pijakan dan sandaran terhadap masalah yang terkait dengan aqidah.

Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh: keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, (siroth) jembatan yang membentang di atas neraka yang menghubungkan ke pintu syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam (Munkiru al-Sunnah) yaitu kelompok yang mengingkari sunnah, walaupun secara tidak langsung.

Sayangnya, Majlis Tarjih tidak memberikan alasan yang jelas ketika merumuskan kaidah tersebut. Hanya saja tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih bahwa yang wajib dipercaya adalah yang tegas-tegas saja, dan tidak boleh menambah-nambah keterangan yang sudah tegas dengan keterangan berdasarkan perkiraan , karena Allah berfirman :

( إن الظن لا يغني من الحق شيئا )

“Sesunggunya prasangka itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.“ ( QS Yunus:36).

Padahal ayat di atas tidak menunjukkan sama sekali larangan mengambil hadist ahad dalam masalah aqidah. Adapun penafsiran yang benar terhadap ayat di atas adalah bahwa kita umat Islam, tidak dibenarkan beribadah dengan menggunakan prasangka dan dugaan serta hawa nafsu belaka, tanpa ada dalil yang bisa dibenarkan , sebagaimana dilakukan oleh orang- orang kafir ketika mereka menyembah berhala.

Larangan tersebut berlaku pada seluruh masalah ibadah , baik yang berbentuk ibadah amaliyah (furu’) maupun yang berbentuk keyakinan. Tidak ada dalil satupun yang membedakan antara dua hal tersebut.

Di dalam beberapa literatur disebutkan bahwa dasar utama yang digunakan oleh kelompok yang membedakan antara keyakinan dan amal, adalah kesalahan di dalam memahami hakikat keimanan. Kelompok tersebut memahami bahwa Iman adalah sekedar tasdiq (pembenaran) yang tidak ada kaitannya dengan amal perbuatan manusia. Pemahaman seperti ini sangat tidak tepat, baik secara naqli maupun secara aqli .

Menurut para ulama, bahwa amal perbuatan terbagi menjadi dua ;

Pertama, perbuatan hati, seperti; takut, cemas, berharap, khusu’,ridla, cinta, yakin, jujur, dam ikhlas.

Kedua, perbuatan anggota badan, seperti: berjalan, memukul, duduk, makan dan lain-lainnya.

Pembagian di atas sesuai dengan definisi Iman yang telah disepakati oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan anggota badan.

Bahkan kalau kita cermati sejarah, akan di dapatkan bahwa Rosulullah saw telah mengutus beberapa duta-nya ke negara-negara tetangga untuk menyampaikan dakwah kepada para penguasa pada waktu itu, tentunya dakwah yang paling urgensi dan menjadi prioritas utama adalah masalah keyakinan. Begitu juga Rosulullah saw telah mengutus para da’I ke beberapa wilayah untuk mengajarkan Tauhid kepada penduduk setempat, seperti yang dilakukan oleh Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman.

Rosulullah besabda kepada Muadz: “Hendaknya pertama kali yang engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Lailaha illalahu, baru kemudian sholat..dst.“ ( HR Bukhari Muslim ).

Peristiwa di atas tergolong hadist ahad, karena yang di utus hanya beberapa orang saja….tapi walaupun demikian, ajaran yang disampaikan oleh para sahabat tersebut diterima oleh masyarakat dan dilaksanakannya, tanpa harus menunggu jumlah sahabat yang mengajar di daerah tersebut sehingga mencapai bilangan mutawatir. Dan hal tersebut tidak diingkari oleh Rosulullah saw dan berjalan terus dari masa ke masa dari generasi ke genarasi hingga hari ini.

Kemudian, kalau kita perhatikan ketika Majlis Tarjih beristidlal dengan hadist Ahad dalam ibadah sholat, puasa , haji umpamanya, akan ada sutau pertanyaan yang harus dijawab oleh Majlis Tarjih, yaitu apakah ibadah sholat , puasa, haji tersebut bisa dipisahkan dari aqidah dan keyakinan, artinya apakah mungkn ibadah tersebut bisa berdiri sendiri tanpa menyertakan masalah-masalah hati, dan keyakinan, seperti keharusan menegakkan sholat dengan khusu’ dan ikhlas serta hanya mencari ridha Allah semata, keharusan membaca ayat–ayat Al Qur’an dan do’a serta wirid yang di dalamnya terkandungan kalimat-kalimat tauhid seperti surat Al fatihah, do’a ruku’dam sujud, bacaan tasyahud awal dan akhir ???

Dan bagaimana keyakinan Muhammadiyah ketika anggotanya membaca do’a ba’da tasyahud akhir yang berbunyi :

اللهم إني أعوذ بك من عذاب القبر وأعوذ بك من فتنة المسيح الدجال وأعوذ بك من فتنة المحيا وفتنة الممات ( رواه البخارى )

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur dan aku berlindung kepadamu dari fitnah Masih Dajjal dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian.“ (HR. Bukhari )

Hadist tersebut tergolong hadist ahad, apakah anggota persyarikatan Muhammadiyah mengucapkan do’a tersebut tanpa meyakini kebenarannya, tentu jawabnya tidak.

Kemudian para ulama telah sepakat semenjak 13 abad yang lalu bahwa Kitab Shohih Bukhhari dan Muslim, merupakan dua kitab yang paling shohih setelah Al Qur’an. Kedua buku hadits tersebut telah diterima oleh umat Islam semenjak 13 abad yang lalu.

Di dalam Kitab Shohih Bukhari paling tidak terdapat 58 hadist dalam kitab Iman. Adapun dalam Shohih Muslim terdapat paling tidak 287 hadist dalam kitab Keimanan. Kebanyakan hadits- hadits tersebut adalah Ahad. Kalau syarekat Muhammadiyah hanya mengakui hadist mutawatir dalam masalah keyakinan, berarti sebagian hadist dalam kedua buku tersebut tertolak dan tidak bisa di pakai. Dan ini menyelesihi kesepakatan kaum muslimin semenjak 13 abad yang lalu.

Bahkan kalau kita lihat (Bab keimanan) di dalam Himpunan Putusan Tarjih sendiri, akan kita dapatkan bahwa di dalamnya penuh dengan hadits ahad, seperti hadist Umar tentang Islam, Iman, dan Ihsan dan malaikat Jibril (lihat HPT hlm 28), padahal hadits tersebut , bukan termasuk hadits mutawawir. Begitu juga hadits Samurah bin Jundub tentang malaikat Mikail, hadist Jabir tentang putusnya wahyu(HPT hlm 29) Hadist Bara’ bin Azib tentang Taurat (HPT hlm 30) Hadist Aisyah tentang aklaq Rosul (HPT hlm 32) Hadits Ibnu Umar tentang kekalnya orang kafir di dalam neraka (HPT hlm 38) Hadist Abu Sa’id Al Khudri tentang orang yang beriman yang keluar dari neraka (HPT hlm 38) Bahkan hadist Ibnu Abbas tentang memikirkan Allah (HR Abu Syekh , HPT hlm 25) , yang terakhir ini, bahkan tidak terdapat dalam kutub sittah.

Kita bisa melihat di sini bahwa Muhammadiyah dalam satu sisi menolak beristidal dengan hadits ahad, walaupun terdapat di dalam shohih Bukhari, sedang dalam waktu yang sama menukil hadits yang tidak terdapat di dalam kutub sittah, yang belum jelas apakah hadits tersebut shohih ataupun mungkar atau bahkan maudhu’.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa bagaimanapun juga, kita umat Islam tidak bisa beristidlal terhadap masalah keyakinan hanya mengandalkan Al Qur’an dan Hadits Mutawatir saja dengan membuang hadist Ahad, padahal hadist tersebut shohih.

Bahkan sebaliknya, kalau kita cermati, justru rumusan-rumusan yang telah ditetapkan oleh Majlis Tarjih dalam masalah lain yang terkait dengan kaidah ini menunjukkan kelemahan kaidah ini. Diantara rumusan tersebut berbunyi: “ Di dalam beristidlah, dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan al Sunnah Al Shahihah.” Artinya ketika kita mau menghukumi sesuatu, apa saja, hendaknya dikembalikan kepada Al Qur’an dan hadits yang shohih. Sedangkan hadits yang shohih meliputi Mutawatir dan Ahad. Ini juga di kuatkan dengan firman Allah: “Apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.“ (QS Al Hasyr:7) Ayat di atas menunjukkan bahwa apa yang datang dari Rosulullah saw, yang berupa hadits shohih, baik yang mutawatir maupun yang ahad, hendaknya kita ambil, tanpa membedakan antara masalah Aqidah dan masalah hukum.

Wallahu A’lam .

 


Dipresentasikan di dalam Majlis Tarjih PCIM Kairo, pada tanggal 17/ 3 / 2005 di Sekretariat PCIM , Kairo , Mesir

KARYA TULIS