Karya Tulis
675 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. Al-Baqarah: 48) Bab 39 - Uang Tebusan


UANG TEBUSAN


وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡـٔٗا وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا يُؤۡخَذُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ

“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”

(Qs. al-Baqarah: 48)

 

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas:

(1) Pelajaran Pertama

Ayat di atas masih ditujukan kepada Bani Israel, walaupun sebenarnya juga ditujukan kepada seluruh manusia, setelah mereka diperintahkan berkali-kali untuk mengingat nikmat Allah yang diberikan kepada nenek moyang mereka… maka kali ini Allah memerintahkan mereka untuk mengingat kematian, mengingat suatu hari di mana tiada manfaat pertolongan seseorang terhadap orang lain, tidak pula rekomendasi dan uang sogokan ataupun uang tebusan.

Seakan-akan Allah ingin mengingatkan kepada Bani Israel dan kepada seluruh manusia bahwa bagaimana pun tingginya kedudukan manusia di dunia ini, maka pada hari kiamat kedudukan tersebut tidaklah ada manfaatnya sedikit pun. Benar, pada ayat sebelumnya Allah telah menjelaskan kepada Bani Israel bahwa nenek moyang mereka adalah bangsa yang paling unggul pada waktu itu, karena mereka beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, akan tetapi kebesaran nenek moyang mereka tidaklah bermanfaat bagi anak keturunannya pada hari kiamat. Maka jangan bangga dulu wahai Bani Israel terhadap kebesaran nenek moyang kamu, selama kamu tidak bisa seperti mereka, yaitu berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Allah, maka kebanggaan itu tidak ada manfaatnya.

(2) Pelajaran Kedua

Ayat ini ditujukan juga kepada yang merasa diri mereka dari keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau di Iran atau Lebanon dikenal dengan sebutan “Sayyid”, dan kalau di Indonesia dan di Yaman terkenal dengan sebutan “Habib”, dan di beberapa tempat lain disebut “asy-Syarif”. Memang harus diakui bahwa mempunyai nasab dari keturunan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kehormatan dan nikmat yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya, sebagaimana nikmat yang diberikan kepada keturunan Nabi Ya’kub yang kemudian terkenal dengan Bani Israel. Tetapi dalam ayat di atas Allah telah menjelaskan bahwa keturunan dan nasab tersebut tidaklah bermanfaat sama sekali pada hari kiamat jika tidak disertai iman dan amal shaleh.

Lihatlah bagaimana Bani Israel yang nenek moyang mereka dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi karena anak keturunannya berbuat durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya, maka yang dulunya umat yang mulia, dan pilihan serta unggul, kini berubah menjadi umat yang paling dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu juga paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mestinya bersyukur dengan kedudukan dan kedekatan nasabnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi justru yang dikerjakan adalah sebaliknya, dia memusuhi Islam, menentang Allah dan rasul-Nya, maka akibatnya Allah melaknatnya dan menjadikannya sebagai simbol dan ikon orang-orang jahat, sangatlah tepat sekali Allah berfirman,

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.” (Qs. al-Masad: 1-3)

Bukan hanya itu saja, bahkan anak perempuan Rasulullah ahallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah bisa selamat dari adzab Allah Subhanahu wa ta’ala jika tidak mau mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh ayahnya sendiri, dalam hal ini ketika turun perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk memperingatkan kerabat dekatnya akan adzab Allah beliau segera keluar di depan umum seraya bersabda,

يا معشر قريش اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا.يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا.ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا.ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا.

“Wahai orang-orang Quraisy belilah diri kalian sendiri, saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, wahai Bani Manaf saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, wahai ‘Abbas bin Abdul Muthalib saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, wahai Shafiyah bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, wahai Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah harta sebanyak apapun dariku, saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari)

Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua kerabat dekatnya termasuk istrinya sendiri ‘Aisyah, tidak satupun dari mereka yang bisa selamat dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala hanya karena kedekatan mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan dalam hadist lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seseorang amalannya jelek, maka nasab keluarganya tidak mampu menyelamatkannya dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala,

يا فاطمة بنت محمد ، يا عباس عم رسول الله أنقذا نفسيكما من النار أنا لا أغني عنكما من الله شيئا لا يأتيني الناس بأعمالهم وتأتوني بأنسابكم من يبطئ به عمله لم يسرع به نسبه

“Wahai Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahai ‘Abbas paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selamatkan diri anda sendiri dari api neraka, karena saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, dan jangan sampai nanti orang lain datang kepadaku membawa amal shaleh, sedangkan kamu datang kepadaku dengan nasab keturunanmu, barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, maka nasab keturunannya tidaklah bisa mempercepatnya.”

Dua hadist di atas menjelaskan bahwa hubungan kerabat tidak bisa menyelamatkan dari adzab Allah di akhirat kelak. Bahkan sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini, hubungan kerabat tidaklah bisa menyelamatkan seseorang dari hukum Islam yang telah ditetapkan, jika terbukti dia melanggar dan berbuat jahat. Dalam suatu hadist disebutkan,

وأيم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطع محمد يدها

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuri, maka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya .”

(3) Pelajaran Ketiga

Bahkan jauh-jauh sebelumnya Allah telah menjelaskan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa anak, istri dan keluarga mereka tidak akan selamat dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, jika mereka tidak mau tunduk dan taat kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Kita dapatkan umpamanya Nabi Nuh ‘alaihi as-salam ketika meminta dispensasi kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyelamatkannya dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala, permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, karena itu sudah peraturan Allah bahwa seseorang tidak bisa menyelamatkan orang lain, walaupun itu anak, istri dan kerabatnya, kecuali dengan amal perbuatannya. Sungguh sangat indah dialog yang direkam al-Qur’an antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan Nabi Nuh ‘alaihi sallam,

وَنَادَى نُوحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya] perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs. Hud: 45-46)

Begitu pula yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam, ketika memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar anak keturunannya dijadikan para pemimpin di dunia ini, Allah pun menolak permintaan tersebut kecuali anak keturunannya yang shaleh dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim.” (Qs. al-Baqarah: 124)

Begitu juga Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak bisa membantu istrinya sedikitpun dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka berdua berkhianat dan menentang Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).”  (Qs. at-Tahrim: 10)

(4) Pelajaran Keempat

Dalam ayat tersebut, walaupun secara tidak langsung, Allah subhanahu wa ta’ala melarang seorang muslim untuk berbangga-bangga dengan nasab dan keturunan, serta banyaknya harta. Dan hendaknya setiap anak pejabat, pengusaha kaya, kyai, tokoh masyarakat dan lain-lainnya tidaklah usah terlalu bangga dengan kedudukan dan kekayaan orang tuanya. Karena yang diperhitungkan di sisi Allah adalah keimanan, akhlak serta ilmu. Dalam hal ini Imam Ali bin Abu Thalib pernah menyebut syair:

من كان مفتخرا بالمال والنسب وانما فخر نا بالعلم والادب

لا خير في رجل حرٍّ بلا أدب ، نعم ولو كان منسوبا إلى العرب

“Barangsiapa yang bangga dengan banyaknya harta dan nasab , maka sesungguhnya kebanggaan kami hanya dengan ilmu dan akhlak.

Tiada suatu kebaikan bagi seseorang yang merdeka jika tidak mempunyai akhlak yang mulia, iya memang begitu, walaupun dia dari keturunan Arab.”

Bahkan seorang pemuda Islam yang baik adalah yang mandiri dan mempunyai amal shaleh, bukan yang hanya bangga dengan orang tua atau nenek moyangnya, padahal dia tidak berbuat apa-apa.

Dalam suatu kisah disebutkan ketika Irak diperintah oleh Yusuf Hajjaj ats-Tsaqafi semua orang dilarang untuk keluar habis shalat Isya’. Barangsiapa yang melanggar peraturan ini, kemudian tertangkap, maka hukumnya adalah dipancung lehernya. Pada suatu malam para tentara Hajjaj mendapatkan tiga remaja, ketika ditanya alasan mereka keluar malam, masing-masing menjawab dengan syair fasih yang bunyinya seakan-akan menunjukkan mereka adalah anak para pembesar, atau anak pemberani, sehingga dibiarkan oleh tentara Hajjaj. Ketika pagi harinya ketiga remaja itu dipanggil ke hadapan Hajjaj dan ditanya tentang keadaan mereka sebenarnya, tiba-tiba jawaban mereka sangat mengejutkan semua yang hadir di situ, karena ternyata mereka bertiga masing-masing adalah anak tukang pembuatan roti, anak tukang bekam, dan anak tukang tenun. Kemudian Hajjaj berkata kepada para menterinya: “Ajarilah anak-anakmu adab, kalau bukan karena kefasihan mereka membaca syair, niscaya aku pancung leher mereka” kemudian dia mengeluarkan syairnya:

كن ابنا من شئت واكتسب أدباً ، يغنيك محموده عن النسب

إن الفتى من يقول هاأنذا ، ليس الفتى من يقول كان أبي

“Jadilah kamu anak siapa saja, tetapi hendaknya kamu belajar adab. Dengan begitu kamu sudah terpuji tanpa memerlukan nasab yang bagus lagi. Sesungguhnya seorang pemuda yang baik adalah yang mengatakan inilah saya, dan bukanlah pemuda yang baik yang mengatakan: Bahwa ayah saya adalah begini-begini. ”

Cerita di atas menunjukkan bahwa yang terpenting bagi seorang pemuda adalah ilmu dan akhlak serta keimanannya, dan bukan keturunan dan harta. Dengan bekal iman, ilmu dan akhlak seseorang bisa selamat di dunia dan di akhirat nanti, walaupun dia anak seorang tukang roti.

(5) Pelajaran Kelima

Ayat di atas juga mengingatkan kepada seorang muslim, agar segera menyelesaikan tanggungan-tanggungan ataupun hutang-hutangnya kepada saudaranya, baik yang berupa harta, seperti kalau dia mengambil uang darinya tanpa ijin (mencuri), atau meminjam darinya sesuatu dan belum dikembalikannya. Ataupun yang berupa martabat dan harga diri, seperti kalau dia mencaci, memukul, membicarakan kejelekannya dibelakang (ghibah) dan sejenisnya. Iya segera diselesaikannya sebelum datang suatu hari yang seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. Dalam suatu hadist disebutkan,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عليه

“Barang siapa yang mempunyai tanggungan terhadap saudaranya baik yang berupa harga diri maupun yang lainnya, maka hendaknya diselesaikan hari ini, sebelum datang hari yang tidak bisa ditebus dengan uang dinar dan dirham. Jika tidak, maka saudaranya tadi akan mengambil kebaikannya sebanyak tanggungan yang ada padanya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka kejelekan saudaranya itu akan dipikulkan kepadanya.” (HR. al-Bukhari, 2269)

Bahkan dalam hadist lain disebutkan bahwa hakekat merugi dan bangkrut dalam Islam, bukanlah orang yang dulunya jaya dan banyak uang kemudian jatuh usahanya sehingga disebut orang yang merugi dan bangkrut, akan tetapi hakekat merugi dan bangkrut adalah seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadistnya,

الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاة وَصِيَام وَزَكَاة ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا وَسَفَكَ دَم هَذَا وَأَكَلَ مَال هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ وَطُرِحَ فِي النَّارِ

“Seorang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan amal shaleh seperti shalat, puasa dan zakat dan pada saat yang sama dia juga pernah mencaci, membunuh, dan makan harta orang lain. Maka masing-masing yang dicaci, dibunuh dan dimakan hartanya tadi mengambil kebaikan dari pelakunya, dan jika kebaikannya sudah habis sedang tanggungannya belum terbayarkan, maka kejelekan para korban tadi dilimpahkan kepada pelakunya, kemudian dilempar ke dalam api neraka.”  (HR. Muslim)

Mudah-mudahan siapa saja yang merenungi ayat di atas, bisa segera mengetahui hakekat kehidupan dunia ini secara benar, bahwa kedudukan apapun dan kekayaan seberapapun juga yang didapatkan di dunia ini tidak akan ada manfaatnya pada hari kiamat, kecuali iman dan amal shaleh yang dia kerjakan sendiri.

Dan hendaknya setiap dari kita selalu mengingat bahwa hari itu, cepat atau lambat pasti datang dan menjemput kita. Sudahkah kita mempersiapkannya?

 

****

 Ahmad Zain An-Najah

Jakarta, Rabu, 29 Desember 2021

KARYA TULIS