Karya Tulis
792 Hits

Tafsir An-Najah (Qs.2:83) Bab 54 - Tujuh Janji Bani Israel


Tujuh Janji Bani Israel

 

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَّاَقِيْمُووَّاَ الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۗ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْكُمْ وَاَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَا

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.”

(Qs. al-Baqarah: 83)

 

 

(1) Janji di Sulbi Nabi Adam

Pada ayat ini, Allah mengambil janji yang kuat (al-mitsaqa) dari Bani Israel yang berisi tentang beberapa amal yang harus mereka laksanakan. Kapan janji yang ini diambil?

Sebagian ulama mengatakan bahwa janji ini diambil ketika Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkan seluruh keturunannya dari sulbi untuk diminta persaksian atas keesaan Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firmannya,

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".” (Qs. al-A’raf: 172)

Sebagian lain mengatakan bahwa janji itu diambil ketika mereka hidup di dunia ini melalui lisan nabi-nabi mereka.

 

(2) Tujuh Janji Bani Israel

Adapun isi janjinya yang disebutkan pada ayat di atas adalah sebagai berikut,

(a) Jangan menyembah kecuali kepada Allah.

Ini sesuai dengan ajaran nabi sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Qs. al-Anbiya’: 25)

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Qs. an-Nahl: 36)

(b) Berbuat baik kepada kedua orang tua.

Urutan dari tauhid adalah berbuat baik kepada orang tua. Hal itu karena manusia diperintahkan untuk bersyukur kepada penciptanya, kemudian kepada yang melahirkannya  ke dunia ini, yaitu kedua orang tua. Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (Qs. al-Isra’: 23)

(c) Berbuat baik kepada kerabat.

Kerabat adalah saudara yang masih ada hubungan nasab. Termasuk di dalamnya saudara, paman, keponakan walaupun di dalam warisan dibedakan antara Dzawil Arkan dan Dzawil Qurba. Adapun  Dzawil Arkan adalah mereka yang mendapatkan warisan secara langsung, sedangkan Dzawil Qurba adalah kerabat yang tingkatannya di bawah Dzawil Arkan yang tidak mendapat warisan secara langsung.

(d) Berbuat baik kepada anak anak yatim.

Anak yatim adalah anak kecil yang belum baligh, tetapi ayahnya sudah meninggal dunia. Salah satu keutamaan berbuat baik kepada anak yatim adalah apa yang tersebut di dalam hadist dari Sahal bin Sa’id radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا                  

“Aku akan bersama orang-orang yang mengurusi anak yatim dalam surga, seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah lalu beliau merenggangkan keduanya.” (HR. al-Bukhari, 4892)

Pada hadist ini dan hadist-hadist lain anak yatim selalu didahulukan dari pada orang miskin . hal itu karena anak yatim penderitaannya lebih berat daripada orang miskin. Karena penderitaan anak yatim bersifat psikologis (kejiwaan). Dia kehilangan kasih sayang ayah yang sangat dia butuhkan. Selain itu ia akan rendah diri atau tidak percaya diri di depan teman-temannya yang masih mempunyai ayah.

Sedangkan orang miskin penderitaannya bersifat materi, sedang materi bisa dicari dan seseorang kadang dalam hidup ini tidak memerlukan materi yang banyak.

(e) Berbuat baik kepada orang orang miskin.

Orang miskin di sini juga mencakup orang fakir. Adapun dalam pembagian zakat fakir dan miskin dibedakan sebagaimana dalam firman-Nya,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Qs. at-Taubah: 60)

Dalam ayat di atas dibedakan antara fakir dan miskin, menurut sebagian ulama fakir adalah seseorang yang pendapatannya tidak mencukupi separuh dari kebutuhan hidupnya. Sedangkan miskin adalah seseorang yang pendapatannya tidak mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya, tetapi sudah melebihi separuh dari kebutuhannya.

(f) Berkata baik kepada manusia.

Berkata baik mencakup banyak hal yang paling utama adalah mengucapkan kalimat tauhid, berkata yang di dalamnya terdapat al-Quran dan as-sunnah, amar ma’ruf dan nahi munkar, ajakan kepada jalan Allah (berdakwah) berkata yang dapat membuat orang lain senang, bahagia, dan sebagainya.

Diantara dalil dari pernyataan di atas adalah,

(f.1) Firman Allah,

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (Qs. an-Nisa: 114)

Ayat di atas menjelaskan bahwa perkataan yang baik adalah perkataan yang menyuruh kepada sedekah, kebaikan, dan mendapatkan orang yang berselisih.

(f.2) Firman Allah,

ومَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” ( Qs. Fushshilat: 33)

Ayat di atas menunjukkan bahwa sebaik-baik perkataan adalah  mengajak kepada jalan Allah.

(f.3) Firman Allah,

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Qs. Thaha: 44)

Ayat di atas menunjukkan bahwa berdakwah itu menggunakan perkataan yang lembut walaupun pada penguasa jahat seperti Fir’aun.

(g) Menegakkan shalat dan menunaikan zakat.

Enam hal di atas, disebut lebih dahulu daripada shalat dan zakat, dalam arti keimanan merupakan dasar orang yang menegakkan shalat dan membayar zakat, sedangkan akhlak karena berhubungan dengan orang lain. Manfaatnya langsung dirasakan orang lain sedangkan shalat untuk diri sendiri.

Tujuh perintah di atas ternyata tidak dilaksanakan oleh Bani Israel kecuali hanya sedikit seperti ‘Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya.

 

***

Jakarta, Selasa, 4 Januari 2022

KARYA TULIS