Karya Tulis
589 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 197-200) Bab ke- 96 Hukum Haji dan Umrah (2)


HUKUM HAJI DAN UMRAH BAGIAN [2]

 

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ

ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat! Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.”

( QS. Al-Baqarah [2]: 197- 200)

 

1.      Waktu Pelaksanaan Haji

 

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.”

1)     Pada ayat sebelumnya, Allah menyebutkan haji dan umrah. Maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa waktu haji dan umrah berbeda. Adapun umrah waktunya sepanjang tahun , tidak ada batasnya. Sedangkan haji waktunya pada bulan tertentu, tidak sah dilakukan di luar bulan tersebut.

2)     Maksud dari ayat diatas bahwa waktu haji pada bulan bulan yang sudah di ketahui oleh orang-orang zaman dahulu, termasuk  orang orang arab pada zaman jahiliyah.

3)     Apa yang di maksud bulan-bulan yang telah di ketahui? Para ulama berbeda pendapat.

  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah bulan syawal, bulan Dzulqo’dah dan 10 hari dari bulan Dzulhijah.
  2. Sebagian yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah semuanya.

Apa dampak dari perbedaan tersebut? Dampaknya pada amalan amalan haji yang dilakukan setelah 10 Dzulhijjah, bagi pendapat pertama  itu merupakan pelanggaran dan harus membayar, sedangkan menurut pendapat yang kedua hal itu tidak apa apa.

2.      3 Syarat Haji

 

فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ

 

“Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.”

1)     Barang siapa yang menetapkan niatnya pada bulan tersebut untuk melaksanakan ibadah haji.

Berdasarkan ayat ini para ulama mengatakan harus ada niat dalam haji. Jadi niat hukumnya lebih terdahulu ketika berihram.

Al-Qurthubi menyebutkan tiga hal yang harus di kerjakan bagi orang orang yang ingin melaksanakan haji, yaitu :

  1. Berniat haji dalam hati.

b.  Berihram.

  1. Mengucapkan talbiyah.

2)      Ayat diatas juga menunjukkan tiga hal yang dilarang ketika berihram haji :

 

a. Ar- Rafat ( bercumbu dan berhubungan badan dengan istri).

Para ulama sepakat bahwa jima’ ( berhubungan badan) merusak ibadah haji. Barang siapa yang melakukan hubungan badan  dengan istri sebelum wukuf di Arafah, maka ibadah hajinya rusak dan tidak sah. Dia harus menggantinya dengan tahun berikutnya dan menyembelih hewan kurban.

b. Fussuq ( berbuat maksiat) atau pelanggaran larangan ihram seperti berburu hewan, memotong kuku, mencukur rambut, menggunakan wewangian, dan juga memakai pakaian berjahit.

 

c. Jidal  ( perdebatan perkelahian, celaan dengan kata kata tidak pantas).

Tiga hal itu sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

عن أبي هريرة قال: قال. رسول الله صلى الله عليه وسلم: من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع كهيئته يوم ولدته أمه

 

“Barang siapa yang haji dan tidak mencampuri dengan pperkataan porno ( percumbuan) dan perbuatan maksiat , niscaya bersihlah dia dari dosa dosa seperti byi yang baru saja di lahirkan ibunya.”  ( HR. Bukhari Muslim  )

Ini dikuatkan dengan sabdanya,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّة

 

“ Haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.”

Yaitu haji yang meninggalkan tiga hal yang dilarang  sebagaimana yang di sebutkan diatas.

 

3)      FirmanNya,

وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ

“Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya”

Barang iapa yang mengerjakan keabaikan  yaitu meninggalkan tiga hal yang  terlarang dan menggatikan dengan amal saleh, maka Allah mengetahuinya ini mengisyaratkan dalam pelaksanaan ibadah haji harus selalu menyakini bahwa Allah mengawasinya .

3.      Berbekal Makanan dan Taqwa

 

وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ

 

“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”

1)     Ayat diatas memerintahkan bagi yang berhaji untuk membawa bekal, agar tidak menjadi beban orang lain dan meminta minta pada mereka.

2)     Ayat ini turun berkenaan dengan sebagian orang-orang  Arab yang pergi haji tanpa  membawa bekal dan mengatakan kami bertawakal kepada Allah, sehingga mereka menjadi beban bagi orang lain .

3)     Selain membawa bekal beruppa makanan dan sejenisnya yang di erlukan oleh para musafir, di perintahkan juga membawa bekal ketaqwaan dan inilah sebaik baik bekal.

4)     Ringkasnya  bahwa ayat diatas memerintahkan kepada orang yang melaksanakan ibadah haji untuk membawa dua bekal .

  1. Bekal dunia, berupa makanan dan sejenisnya, ini sesuatu yang lazim bagi para musafir.
  2. Bekal akhirat, berupa ketaqwaan ini tujuan dari ibadah haji supaya bertambah taqwanya kepada Allah.

Dengan demikian, ayat ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa Islam selalu mengajarkan kepada umatnya dua sisi, kebaikan dunia dan akhirat, tidak cenderung kepada salah satunya. Ayat berikutnya akan menguatkan hal ini, yaitu di dalam firman-Nya,

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201)

5)     Ayat diatas juga mengingatkan kepada kita bahwa orang yang melakukan ibadah haji sedang melakukan dua perjalanan,

a. Perjalanan dunia yang mebutuhkan bekal dunia.

b. Perjalanan akhirat yang membutuhkan bekal taqwa.

Sebagaimana seseorang yang melakukan perjalanan di dunia tanpa bekal apapun dia akan menemani kesulitan selama perjalanan bahkan akan mati dan celaka. Begitu juga seseorang yang melakukan perjalanan akhirat tanpa bekal taqwa, dia akan menemani banyak kesulitan di alam akhirat bahkan bisa berakibat celaka, yaitu masuk neraka. Semoga Allah melindungi kita darinya

6)      kemudian Allah menutup ayat ini dengan perintah untuk bertaqwa lagi, khususnya bagi orang orang yang berakal dan cerdik cendekian.

وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

“Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”

4.      Berdagang sambil berhaji

 

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ

“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu.”

1)     Ayat diatas menunjukkan kebolehan orang yang berhaji, untuk berdagang di sela- sela ibadah haji dan hal itu tidak bertentangan dengan niat ibadah haji. Ini merupakan keringanan dari Allah untuk umat Islam dan menunjukkan bahwa ajaran Islam mencakup kebaikan dunia dan akhirat.

2)     Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ukadz, Mijannah, dan Dzulnajaz adalah pasar-pasar yang dikenal pada zaman jahiliyah kemudian mereka merasa berdosa kalau berdagang pada musim haji. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam maka turunlah ayat ini.

3)     Kebolehan berdagang pada musim haji merupakan kesempatan yang diberikan Allah kepada umat Islam untuk mengembangkan dan memperkuat ekonomi umat di tingkat internasional. Karena jama’ah haji datang dari berbagai penjuru dunia, masing masing dari mereka bisa membawa barang dagangannya untuk di jual di Mekkah dan Madinah serta daerah sekitarnya. Umat Islam bisa saling menguatkan ekonomi saudaranya di berbagai belahan bumi ini.

4)      Walaupun begitu, seseorang yang pergi ke Mekkah hanya untuk melaksanakan ibadah haji saja lebih utama karena bercampur dengan niat niat lain.

 

 

5.      Wukuf di Arafah.

 

فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفَاتٍ

“Maka apabila kamu bertolak dari Arafah,”

1)     Ayat diatas menerangkan bahwa wukuf di Arafah hukumnya wajib dan merupakan salah satu rukun haji, tidak sah seseorang tanpa wukuf di Arafah. Hal ini dikuatkan dengan hadist,

“ Haji itu wukuf di Arafah”

Hadist diatas menunjukkan bahwa wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun terpenting dalam ibadah haji.

2)     Waktu wukuf di Arafah adalah mulai dari tergelincirnya matahari ( waktu Dzuhur) sampai terbitnya fajar. Lebih utamanya dia bertolak dari Arafah setelah matahari tenggelam dan awan kuning di langit hilang. Kemudian menjama’ shalat magrib dan isya  di Muzdalifah.

Maka barang siapa yang bertolak dari Arafah sebelum dzuhur, wukufnya tidak sah. Dan barang siapa yang bertolak dari Arafah sebelum tenggelamnya matahari, maka hajinya sah. Hanya saja  para ulama berbeda pendapat apakah harus membayar dam atau tidak? Sebagian mewajibkan kepadanya dam( menyembelih kurban ), sebagian lain tidak mewajibkan karena wukuf di Arafah sampai magrib yang wajib adalah wukufnya , walaupun tidak sampai waktu magrib. Ha itu berdasarkan hadist,

“Barang siapa yang datang ke Arafah sebelum fajar baik ppada malam atau siang maka telah semppurna hajinya.”

6.      Mabit di Muzdalifah.

 

فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

“berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam.”

 

1)     Setelah menyelesaikan wukuf di Arafah da’da zawal (waktu dzuhur) sampai terbenam matahari (waktu magrib), jama’ah haji di perintahkan bertolak menuju Muzdalifah untuk mabit ( menginap ) disana.

2)     Sesampainya di Muzdaifah di perintahkan untuk menjamak shalt magrib dan isya (jamak takhir). Dengan satu adzan dan dua iqomat. Kemudian mabit (tidur malam ) disana.

3)     Ketika selesai mengerjakan shalat subuh di sunahkan menuju Masy’aril Haram. Dia adalah gunung di pinggiran Muzdalifah yang bernama gunung Quzah. Dinamakan Masy’aril Haram, karena menjadi Masy’ar (tanda) untuk ibadah, dan di sifati haram karena kemuliaannya.

Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berhenti disana , lalu berdizikir dan berdoa kepada Allah sampai pagi menjadi terang sekali.

4)     Mabit di Muzdalifah hukumnya wajib tetapi tidak termasuk rukun haji. Barang siapa yang tidak mabit (bermalam) disana, maka dia harus membayar dam. Tetapi yang berada disana pada sebagian besar malam, maka tidak terkena denda apapun.

5)     Kemudian ayat ini ditutup dengan perintah unruk tetap berdzikir kepada Alah sebagaimana Allah telah memberikan petunjuk kepada umat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ

 

“Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu.”

7.      Bertolak dari Arafah

 

ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ النَّاسُ

 “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah)”

1)     Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini.

Pendapat pertama, maksudnya perintah bertolak dari Arafah secara tidak langsung  memerintahkan agar berwukuf di Arafah sebagaimana orang-orang. Hal itu karena orang orang Quraisy mereka berwukuf di pinggiran tanah halal yang terdekat, seraya mengatakan “ kami adalah keluarga Allah yang berada di Negeri-Nya dan tinggal di rumah-Nya.”

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, “Orang-orang Quraisy dan yang seagama dengan mereka berwukuf di Muzdalifah. Mereka menamakannya Al Humus. Sedangkan orang orang Arab lainnya berwukuf di Arafah. Setelah Islam datang, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk datang ke Arafah dan berwukuf disana, setelah itu bertolak darinya.” Inilah maksud  firman Allah diatas.

Pendapat kedua, maksudnya bertolak dari Muzdalifah, ini sesuai dengan urutan ayat, setelah perintah bertolak dari Arafah, disini perintah untuk bertolak dari Muzdalifah. Dan maksud “ manusia” pada ayat tersebut adalah Nabi Ibrahim. Jadi kalau diartikan “kemudian bertolaklah dari Muzdlifah menuju Mina, sebagaimana bertolaknya Nabi Ibrahim.

8.      Ditutup dengan istigfar.

وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

1)     Ayat ini memerintahkan untuk beristigfar setelah mengerjakan suatu ibadah. Disini peritah istigfar setelah selesai wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah.

2)     Sebagaimana diperintahkan beristigfar setelah selesai mengerjakan shalat. Di dalam shahih muslim disebutan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah shalat beristigfar sebanyak tiga kali.

3)     Hikmah beristigfar setelah selesai ibadah bahwa dalam beribadah sering kali seseorang banyak melakukan kekurangan, maka diperintahkan untuk meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

9.      Mengingat nenek moyang

فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرًا

 

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu.”

1)     Ayat diatas memerintahkan orang-orang yang berhaji, jika selesai mengerjakan amalan amalan haji, agar banyak berdzikir kepada Allah. Sebagaimana mereka menyebut nenek moyang nya, atau lebih banyak dari itu.

2)     Dahulu kebiasaaan masyarakat jahiliyah jika telah selesai haji, salah seorang diantara mereka berkata, “ayahku suka memberi makan, menanggung beban, dan menanggung diyat orang lain.” Mereka tidak menyebut kecuali apa yang pernah dikerjakan bapak bapak mereka. Kemudian turunlah ayat ini.

3)     Sebagian menafsirkan, sebutlah nama Allah sebagaimana seorang anak salam menyambut bapak, ibu mereka. Maksudnya mintalah pertolongan kepada Allah lebih dari permintaan anak kepada orang taunya.

4)     Sebagian lain menafsirkan “belailah Allah sebagaimana kalian membelai orang tua kalian, bahkan lebih dai itu.” Firman-Nya,

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

“Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.”

Dahulu ada suatu kaum dari masyarakat Badui datang ke tempat wukuf dan berdoa “ ya Allah jadikanlah tahun ini sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun kesuburan dan tahun kelahiran anak yang baik.” Mereka sama sekali tidak memohon untuk kebaikan akhirat. Maka turunlah ayat ini. Oleh karenanya Allah memuji orang orang yang memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

 

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201-202)

 

****

 

Jakarta, Senin 31 Januari 2022.

 

KARYA TULIS