Karya Tulis
671 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 221-223) Bab ke-105 Beberapa Masalah Wanita


BEBERAPA MASALAH WANITA

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّا رِ ۖ وَا للّٰهُ يَدْعُوْۤا اِلَى الْجَـنَّةِ وَا لْمَغْفِرَةِ بِاِ ذْنِهٖ ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

وَ يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۙ قُلْ هُوَ اَذًى فَا عْتَزِلُوْا النِّسَآءَ فِى الْمَحِيْضِ ۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِ ذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

نِسَآ ؤُكُمْ حَرْثٌ لَّـكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَ نْفُسِكُمْ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّکُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَ بَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

 

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.  Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, "Itu adalah sesuatu yang kotor." Karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman."

 (QS. Al-Baqarah [2]: 221-223 )

1.    Menikah dengan orang Musyrik

 

                وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ

 

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman.”

  1.  “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus Martsad bin Abin Martsad al-Ghanawi ke Mekkah guna membawa pergi beberapa orang muslim yang tertahan di sana. Pada masa Jahiliyah dulu ia sudah jatuh hati pada seorang perempuan yang bernama ‘Anab. Perempuan ini menemui Martsad lalu berkata : “Maukah kau berduaan denganku?” Martsad menjawab : “Sialan kamu! Islam telah menghalangi hubungan diantara kita.” Perempuan itu berkata, “Kalau begitu, bersediakah kau mengawiniku?” Ia menjawab “Ya, tetapi aku akan pulang dulu untuk meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Setelah itu ia mengutarakan keinginannya. Turunlah ayat ini ( QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 221 )

 

  1. Ayat di atas menunjukkan secara tegas haramnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik, yaitu yang tidak punya agama, nabi dan kitab. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab hukumnya boleh, bedasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 

 

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَـكُمُ الطَّيِّبٰتُ  

 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.” ( QS. Al-Maidah [ 5 ] : 5 )

 

Begitu juga menunjukkan keharaman pernikahan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik.

 

  1. Hikmah pengharaman tersebut, karena di dalam pernikahan suami istri mempengaruhi satu sama dengan yang lainnya. Pengaruh laki-laki musyrik terhadap wanita muslim akan sangat terlihat jelas dalam pernikahan walaupun pengaruh wanita musyrik lebih sedikit, tetapi tetap diharamkan. Ini semua untuk menjaga agama.

 

  1. Tujuan pernikahan adalah masuk surga. Pernikahan dengan laki-laki dan wanita musyrik akan menghalangi tujuan tersebut. Karena orang-orang musyrik mengajak pasangannya ke neraka. Sedang Allah menginginkan umat Islam mendapatkan ampunan dan surga-Nya.

 

  1. Atas dari itu, menikahi budak wanita muslimah, lebih baik dari pada menikahi wanita musyrikah yang cantik.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Rawahah dulu ia punya seorang budak perempuan berkulit hitam. Suatu saat ia marah dan menempeleng budak itu. Setelah reda amarahnya ia merasa cemas, maka ia pun menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan melaporkan kejadian itu. Ia pun berkata, “Sungguh saya akan memerdekakannya lalu menikahinya.” Hal itu benar-benar diwujudkannya. Sebagian orang lantas mencemoohnya. “Hmm, ia kawin dengan budak perempuan?!” cela mereka. Allah pun menurunkannya ayat ini. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan kisah ini dari as-Suddi secara munqathi.

 

  1. Ayat diatas menjadi dalil tidak sahnya pernikahan tanpa wali, yaitu di dalam fiman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا

“Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.”

Ini dikuatkan dengan hadits Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

عن أبي موسى رَضِيَ اللهُ عنه، أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: لا نِكاحَ إلَّا بوَليٍّ 

 

 “tidak sah pernikahan tanpa wali.” (HR. at-Timidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah)

 

2.      Menggauli Wanita Haid

 

وَ يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۙ قُلْ هُوَ اَذًى فَا عْتَزِلُوْا النِّسَآءَ فِى الْمَحِيْضِ ۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِ ذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, "Itu adalah sesuatu yang kotor." Karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri."

(QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 222 )

 

  1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dikalangan kaum Yahudi dulu ada kebiasaan kalau seorang perempuan mereka haid, mereka tidak mau menerimanya makan maupun menggaulinya di dalam rumah. Para sahabat lantas menanyai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  tentang kebiasaan itu, Allah Azza Wa Jalla pun menurunkan firman-Nya yaitu ayat di atas.

 

  1. Haid secara bahasa adalah sesuatu yang mengalir. Adapun secara istilah haid adalah darah kotor yang keluar dari pangkal rahim wanita setiap bulan, sekurang-kurangnya sehari semalam, biasanya tujuh hari dan paling lama adalah lima belas hari.

 

  1. Sikap manusia terhadap wanita haid :

a)     Kaum yahudi, Majusi dan Arab Jahiliyah. Mereka tidak mau tinggal serumah dengan wanita haid dan tidak mau makan bersamanya.

b)     Kaum Nashrani menganggap wanita haid seperti wanita yang tidak haid. Mereka menggaulinya kapan saja.

c)      Kaum Muslimin  menganggap wanita haid boleh tinggal serumah dan makan bersamanya, bahkan boleh bercumbu dengannya selama tidak berhubungan suami istri.

 

  1. (Al-Mahidh) pada ayat di atas artinya tempat tiada yang didalamnya terdapat kotoran (Al-Adza). Yang membawa mudharat bagi laki-laki yang menggaulinya, kadang mudharat itu menyenangi juga wanita haid yang digauli seperti rasa nyeri dan sejenisnya.

 

  1. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan kebolehan menjadi wanita yang sedang haidh :

Pendapat Pertama, menyatakan boleh menggauli wanita yang sedang haid di seluruh tubuhnya dengan ciuman dan cumbuan kecuali bagian antara pusar dan lutut. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seorang laki-laki yang menanyakan kepada beliau tentang istri yang sedang haid, dimana boleh menggaulinya? Beliau menjawab “Hendaknya kau pakaikan sarung kepadanya, kemudian kau boleh mencumbunya pada bagian atas tubuhnya.”

Pendapat kedua, mengatakan boleh mencumbunya dan menggauli wanita yang haid di seluruh tubuhya, kecuali berhubungan badan. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,                                                   

   

                       اِصْنَعُوْا كُلَّ سىءٍ اِلَّا النِّكَاحَ

 

“Lakukan apa saja ( terhadap wanita yang haid ) kecuali berhubungan badan.” (HR.Muslim)

  1. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan awal waktu seorang wanita haidh boleh disetubuhi.

Pendapat pertama, menyatakan jika darah haidh sudah berhenti, maka wanita tersebut boleh disetubuhi walaupun dia belum mandi. Ini pendapat Abu Hanifah.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  :

 

وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْن

 

“Jangan kalian dekati mereka ( wanita haid ) sampai mereka bersih (dari darah haid ).”

 

Pendapat kedua, mengatakan jika seorang wanita sudah berhenti haidnya dan sudah mandi junub, maka wanita tersebut boleh disetubuhi. Ini pendapat mayoritas ulama. Mereka mensyariatkan dua hal-hal bersih dari darah haidh dan mandi junub. Sedang Abu Hanifah hanya mensyariatkan bersih dari darah haidh saja.

Dalil mayoritas ulama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 

    وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِ ذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰه

 

“Janganlah kalian dekati mereka (wanita haidh) sampai mereka bersih (dari darah haidh). Jika mereka sudah mandi (membersihkan diri), maka setubuhilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepada kalian.”

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa suci ada dua macam :

 

a)     Suci jiwa dengan taubat dan istighfar serta meninggalkan dosa dan maksiat

b)     Suci badan dengan cara membersihkan badan dari hadast dan najis, termasuk didalamnya mandi jika sudah berhenti darah haid.

Allah mencintai orang-orang yang memasuki diri dari dua kotoran diatas, kotoran jiwa dan kotoran badan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 

   اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

 

Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri."

 

3.    Istri Bagaikan Ladang


نِسَآ ؤُكُمْ حَرْثٌ لَّـكُمْ  فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ  وَقَدِّمُوْا لِاَ نْفُسِكُمْ  وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّکُمْ مُّلٰقُوْهُ  وَ بَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

 

"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 223 )

 

1)     Diriwayatkan dari Jabir bib Abdillah, “Dahulu kaum yahudi punya kebiasaan, kalau laki-laki menyetubuhi istrinya dikemaluan dari arah belakang.” Ia berkata “Anak yang lahir nanti akan bermata juling.” Maka turunlah ayat ini (QS. Al-Baqarah [2]: 223 ).

 

2)     Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia suku Quraisy yang menikahi perempuan serta biasa menyetubuhinya dari arah depan maupun belakang. Setelah pindah ke Madinah, mereka menikahi perempuan-perempuan Anshar dan merekapun hendak melakukan jimak dengan cara seperti yang dulu mereka lakukan di Makkah. Perempuan-perempuan itupun mencela keinginan mereka. “Kami tidak biasa disetubuhi dengan cara seperti ini!” kata mereka. Hal ini kemudian tersebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Kemudian Allah pun menurunkan firmannya sehubungan dengan hal itu. ( Qs. al-Baqarah [ 2 ] : 223 )

 

3)     Firman-Nya

 

نِسَآ ؤُكُمْ حَرْثٌ لَّـكُمْ

"Istri-istrimu adalah ladang bagimu,”

Dalam ayat di atas Allah menyerupakan wanita (Istri) seperti ladang begi suaminya. Sperma ibarat benih dan anak ibarat tanamanyang tumbuh. Suammi yang menggauli (menyetubuhi) istrinya bagaikan petani yang sedang bercocok tanam di ladang. Dia sedang menanam bibit di ladang tersebut, dan berharap akan tumbuh tanaman yang subur.

 

4)     Firman-Nya

 

فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ    

 

“Maka datangilah ladang kalian itu kapan saja dengan cara yang kalian suka.”

  1. Maksud dari ayat itu bahwa istri itu halal untuk digauli (disetubuhi) oleh suaminya kapan saja, tidak ada batasan waktu tertentu, boleh pada waktu malam, pagi maupun sore hari.

 

  1. Begitu juga menunjukkan kebolehan menggauli istri dari arah mana saja, dari depan, samping, maupun dari arah belakang selama itu ditempatnya (dikemaluannya). Tidak boleh menggauli istri pada bagian anusnya dan dalam keadaan haid. Itulah dua tempat terlarang didalam menggauli istri. Adapun selain itu, dibolehkan berdasarkan ayat diatas.

 

5)     Firman-Nya

 

  وَقَدِّمُوْا لِاَ نْفُسِكُمْ 

“Dan beramallah untuk diri kalian.”

Para ulama berpendapat didalam menafsirkan ayat diatas

  1. Beramallah untuk hal-hal yang bermanfaat untuk masa depan kalian di akhirat. Ini sesuai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 
وَاَ قِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰ تُوا الزَّکٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَ نْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 


"Dan laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah [2]: 110 )

 

  1. Utamakan diri kalian dengan ketaatan kepada Allah

 

  1. Carilah anak ketika kalian menggauli istri, karena anak adlah bekal untuk dunia dan akhirat.

 

 

  1. Carilah istri yang salihah, agar anak yang lahir darinya menjadi anak yang saleh.

 

****

 

            Jakarta, Senin 7 Februari 2022

KARYA TULIS