Tafsir An-Najah (QS. 2: 236-237) Bab ke-112 Istri yang Belum disentuh
Istri yang Belum di Sentuh
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ
“Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 236 )
1. Mahar belum di tentukan.
1) Jika seorang laki-laki menikahi wanita tanpa menyebut mahar dalam akad nikah, kemudian dia menceraikan istrinya, sebelum menggaulinya, maka ia tidak wajib membayar maharnya. Tetapi ia wajib memberinya mut’ah ( uang pesangon).
2) Pemberian mut’ah ( uang pesangon ) bertujuan untuk menjaga perasaan istri dan memberikan semangat bahwa ia masih dihormati, walaupun sudah dicerai oleh suaminya.
3) Pemberian mut’ah (uang pesangon) ini tidak di tentukan kadarnya tetapi besar kecilnya tergantung keadaan ekonomi suami. Jika dia kaya sebaiknya memberikan uang pesangon lebih besar, semuanya dikembalikan kepada maslahat suami dan istri.
4) Masalah hukum uang pesangon dalam perceraian secara umum, para ulama berbeda pendapat di dalamnya,
a) Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa uang pesangon hanya wajib diberikan kepada wanita yang dicerai dan belum digauli serta belum disebutkan mahar dalam akad. Adapun untuk wanita yang dicerai lainnya hukumnya mustahab.
b) Syabi’I dan Ahmad mengatakan bahwa uang pesangon wajib diberikan kepada sertiap wanita yang dicerai, kecuali wanita yang dicerai dan belum digauli tetapi sudah ditentukan maharnya, maka tidak wajib diberikan kepadanya uang pesangon.
2. Mahar sudah di tentukan.
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 237 )
1) Ayat di atas menjelaskan kelompok kedua dan wanita yang dicerai dan belum digauli, yaitu mereka yang sudah ditentukan ( disebutkan ) maharnya pada akad pernikahan. Maka bagian mereka adalah setengah dari mahar tersebut.
2) Para ulama berbeda pendapat tentang maksud firman Allah,
اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاح
“atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya.”
Siapakah yang dimaksud dengan orang yang ditangannya akad nikah?
a) Abu Hanifah dan Syafi’I, bahwa maksudnya adalah suami yang berhak membebaskan setengah mahar yang telah di berikan kepada istrinya. Dia tidak mengambilnya dan di berikan sepenuhnya kepada istrinya.
Diriwayatkan bahwa Jubair bin Muthi’in pernah menikahi seorang wanita dari suku Hawazin , kemudian ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia mengirim mahar penuh kepada wanita tersebut dan berkata, “aku lebih patut untuk menafkahkan atau membebaskan hartaku daripada dia.” Kemudian dia membacakan ayat ini.
b) Imam Malik dan Syafi’I ( pendapat pertama) bahwa maksud yang di tangannya akad nikah adalah wali.
3) Firman-Nya,
وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
“Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.”
Maksudnya bahwa kebaikan suami adalah merelakan setengah mahar yang menjadi haknya untuk istri yang di ceraikannya. Dan kebaikan istri adalah merelakan setengah mahar yang menjadi haknya untuk suaminya.
Ayat ini juga menganjurkan agar pihak suami tetap menjalin hubungan dengan keluarga pihak istri yang di ceraikannya. Begitu pula sebaliknya. Karena bagaimanapun juga mereka berdua pernah menjadi suami istri, pasti ada kebaikan kebaikan yang pernah dirasakan keduanya.
****
Jakarta, Jumat, 4 Februari 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »