Karya Tulis
572 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 236-237) Bab ke-112 Istri yang Belum disentuh


Istri yang Belum di Sentuh

 

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

“Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 236 )

 

1.      Mahar belum di tentukan.

 

1)      Jika  seorang laki-laki menikahi wanita tanpa menyebut mahar dalam akad nikah, kemudian dia menceraikan istrinya, sebelum menggaulinya, maka ia tidak wajib membayar maharnya. Tetapi ia wajib memberinya mut’ah ( uang pesangon).

2)      Pemberian mut’ah ( uang pesangon ) bertujuan untuk menjaga perasaan istri dan memberikan semangat bahwa ia masih dihormati, walaupun sudah dicerai oleh suaminya.

3)      Pemberian mut’ah (uang pesangon) ini tidak di tentukan kadarnya tetapi besar kecilnya tergantung keadaan ekonomi suami. Jika dia kaya sebaiknya memberikan uang pesangon lebih besar, semuanya dikembalikan kepada maslahat suami dan istri.

4)      Masalah hukum uang pesangon dalam perceraian secara umum, para ulama berbeda pendapat di dalamnya,

a)      Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa uang pesangon hanya wajib diberikan kepada wanita yang dicerai dan belum digauli serta belum disebutkan mahar dalam akad. Adapun untuk wanita yang dicerai lainnya hukumnya mustahab.

b)      Syabi’I dan Ahmad mengatakan bahwa uang pesangon wajib diberikan kepada sertiap wanita yang dicerai, kecuali wanita yang dicerai dan belum digauli tetapi sudah ditentukan maharnya, maka tidak wajib diberikan kepadanya uang pesangon.

 

2.      Mahar sudah di tentukan.

 

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 

“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 237 )

1)      Ayat di atas menjelaskan kelompok kedua dan wanita yang dicerai dan belum digauli, yaitu mereka yang sudah ditentukan ( disebutkan ) maharnya pada akad pernikahan. Maka bagian mereka adalah setengah dari mahar tersebut.

2)      Para ulama berbeda pendapat tentang maksud firman Allah,

اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاح

 

“atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya.”

Siapakah yang dimaksud dengan orang yang ditangannya akad nikah?

a)      Abu Hanifah dan Syafi’I, bahwa maksudnya adalah suami yang berhak membebaskan setengah mahar yang telah di berikan kepada istrinya. Dia tidak mengambilnya dan di berikan sepenuhnya kepada istrinya.

Diriwayatkan bahwa Jubair bin Muthi’in pernah menikahi seorang  wanita dari suku Hawazin , kemudian ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia mengirim mahar penuh kepada wanita tersebut dan berkata, “aku lebih patut untuk menafkahkan atau membebaskan hartaku daripada dia.” Kemudian dia membacakan ayat ini.

b)      Imam Malik dan Syafi’I ( pendapat pertama) bahwa maksud yang di tangannya akad nikah adalah wali.

 

3)      Firman-Nya,

 

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

 

“Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.”

Maksudnya bahwa kebaikan suami adalah merelakan setengah mahar yang menjadi haknya untuk istri  yang di ceraikannya. Dan kebaikan istri adalah merelakan setengah mahar yang menjadi haknya untuk suaminya.

Ayat ini juga menganjurkan agar pihak suami tetap menjalin hubungan dengan keluarga pihak istri yang di ceraikannya. Begitu pula sebaliknya. Karena bagaimanapun juga mereka berdua pernah menjadi suami istri, pasti ada kebaikan kebaikan yang pernah dirasakan keduanya.

 

****

 

Jakarta, Jumat, 4 Februari 2022.

KARYA TULIS