Tafsir An-Najah (QS. 2: 278-281)Bab ke-127 Cara Menghindari Riba
Cara Menghindari Riba
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Al-Baqarah [2] : 278)
Pertama : Meninggalkan sisa riba
1) Ayat di atas memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa ( takut ) kepada Allah. Dalam hal ini penekanannya adalah meninggalkan transaksi riba. Jadi taqwa tidak terbatas pada ibadah murni seperti salat, dzikir dan membaca Al-Quran, tetapi taqwa juga mencakup bidang muamalat, salah satunya menghindari transaksi riba.
2) Diriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Bani Amr bin Auf dari Tsaqif dan Bani al-Mughiroh dari Bani Makhzum. Dikisahkan bahwa Bani Amr bin Auf memberikan pinjaman kepada Bani al-Mughirah dengan riba. Lalu ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memenangkan kota Mekkah kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka ketika itu, semua riba yang ada dibatalkan. Lalu Bani Amr bin Auf dan Bani al-Mughirah datang menemui Attab bi Usaid yang menjadi penguasa Mekkah kala itu. Kemudian Bani al-Mughirah berkata : “ kenapa kami dijadikan orang-orang yang paling sengsara dengan adanya riba, padahal riba telah dihapskan dari orang-orang selain kami.” Lalu Bani Amr bin Auf berkata : “ kita telah sepakat dengan pinjaman riba.” Lalu Attab bin Usaid melapporkan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, lalu turunlah ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya.
3) Firman-Nya,
وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا
“dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)”
Maksudnya jika dua orang sepakat dengan sebuah transaksi yang mengandung riba. Kemudian mereka mengatakan bahwa riba haram, maka keduanya tidak boleh meneruskan transaksi tersebut. Jika ada hutang yang harus dibayar, hendaknya dia membayar pokoknya saja dan tidak membayar bunganya. Begitu juga pemilik modal (yang megurangi) tidak boleh darinya kecuali pokok hutangnya saja dan tidak boleh mengambil darinya kecuali pokok, hutangnya saja dan tidak boleh mengambil bunganya (tambahannya). Hal itu tergambar jelas di dalam atsar Zaid bin Arqam dan di dalam peristiwa Bani Amr bin Auf dan Bani al-Mughirah yang telah disebutkan di atas.
4) Firman-Nya,
اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“jika kamu orang beriman.”
Inilah syarat bagi yang mengakui dirinya beriman, harus meninggalkan riba sampai akar-akarnya.
Kedua: Takut terhadap ancaman
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah [2]: 279)
1) Ayat ini merupakan peringatan keras kepada orang yang masih melakukan riba, padahal dia sudah mengatakan bahwa riba hukumnya haram.
2) Ayat ini menunjukkan bahwa melakukan transaksi riba atau memakan riba termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ غَيْرَ أَنَّ لَفْظَ النَّسَائِيّ
“ Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakili transaksi riba, dua saksinya dan orang yang menuliskannya.”
Di dalam hadist Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ ؟
لشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian 7 hal yang membinasakan.” Maka para Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa 7 hal tersebut?” Maka Nabi yang mulia mengatakan : “Dosa kesyirikan kepada Allah, dosa sihir, dosa membunuh seorang jiwa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan dengan alasan yang hak, dosa memakan harta riba, dosa memakan harta anak yatim, dosa berpaling dari medan perang dan dosa menuduh seorang wanita Muslimah yang terhormat dengan tujuan yang keji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3) Ibnu Abbas berkata, maksud ayat di atas bahwa barang siapa yang masih melakukan transaksi riba dan tidak mau meninggalkannya, maka wajib atas pemimpin kaum muslimin (ulil amri) untuk memintanya bertaubat, jika mau berhenti maka selamatlah dia. Tetapi jika menolak untuk berhenti, maka pemimpin (ulil amri) menghukumnya dengan hukuman mati.
Ketiga : Boleh mengambil pokok harta
وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْن
“Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah [2]: 279)
1) Ayat di atas menjelaskan bahwa barang siapa bertaubat dari memakan riba, maka tidak berdosa baginya untuk mengambil pokok hartanya yang di tangan orang lain. Dengan demikian, dia tidak menzalimi orang lain, karena tidak mengambil bunga atau tambahan darinya. Dan tidak dizalimi, karena hartanya tidak berkurang tetapi utuh seperti sediakala.
2) Sebagian menafsirkan bahwa maksud “kalian tidak dizalimi.” Bahwa orang yang berhutang tidak mengulurkan pembayarannya, karena perbuatan itu termasuk bentuk kezaliman di dalam hadist disebutkan,
مطل الغني ظلم
“Mengulurkan pembayaran hutang padahal dia punya uang, adalah perbuatan zalim.”
3) Jika seseorang mengambil bunga ( riba ) dari orang lain, kemudian bertaubat dari perbuatannya, maka dia harus mengembalikan bunganya tersebut kepadanya. Jika tidak menemukan orangnya atau keluarganya, hendaknya ia infakkan di masjid atau lembaga-lembaga sosial lainnya mengatasnamakan orang yang diambil bunga darinya. Jika dia lupa jumlah uang riba yang dia ambil dari para peminjam, maka dia perkirakan jmlahnya sebaiknya dia lebihkan, agar lebih aman dari keragu-raguan.
Keempat : Memberi tangguh
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
1) Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa para pemodal mendapatkan uang pokoknya. Maka pada ayat ini Allah menjelaskan para peminjam yang kesulitan mengembalikan pinjaman karena belum ada uang, diharapkan para pemilik modal menunggu sampai peminjam mempunyai uang.
2) Firman-Nya ( ذُوْ عُسْرَةٍ) artinya orang yang mempunyai kesulitan dan belum mempunyai uang (harta) untuk membayar hutang. Kata ( العسرة) pernah disebutkan juga dalam firman Allah,
لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ
“Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka,” (QS. At-Taubah [9]: 17)
( سَاعَةِ الْعُسْرَةِ) Pada ayat di atas artinya dalah masa-masa sulit. Oleh karenanya tentara yang disiapkan pada masa-masa sulit disebut ( جيش العسرة) “ Jaisyu al-usrah.”
Kelima : Bersedekah
وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
1) Pada ayat ini Allah memberikan motivasi kepada pemilik modal agar merelakan saja hutang yang belum bisa dibayar oleh orang yang berhutang yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, dan hal itu diniatkan sedekah, karena sebenarnya uang yang dalam tanggungan peminjam menjadi hak pemilik modal. Jika dia merelakannya seakan-akan telah menyedekahkan hartanya.
2) Ayat ini juga menunjukkan bahwa bersedekah itu lebih baik daripada menunggu orang yang berada dalam kesulitan ini, mempunyai uang (harta) lagi.
3) Banyak dalil yang menunjukkan keutamaan orang yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan. Diantaraya,
a) Hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- عن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- قال: مَن نَفَّسَ عن مؤمنٍ كُرْبَةً من كُرَبِ الدُّنيا نَفَّسَ اللهُ عنه كُرْبَةً من كُرَبِ يومِ القِيَامَة، ومن يَسَّرَ على مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخرةِ، ومن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ في الدُّنيا والآخرةِ
"Siapa yang melapangkan seorang mukmin dari kesusahan dunia, niscaya Allah melapangkan baginya kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang dilanda kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutup (aibnya) di dunia dan akhirat.” ( HR. Muslim )
b) Hadist Muhammad bin Ka’ab al-Quraisyi, “ bahwasannya Abu Qatadah pernah mempunyai piutang kepada seseorang, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya namun orang tersebut bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali kemudian keluarlah seorang anak lalu Abu Qatadah bertanya kepada anak tersebut mengenai keberadaan orang itu dan si anak itu menjawab, ‘ya ia berada di rumah.’ Maka Abu Qatadahpun memanggilnya seraya berucap, ‘hai fulan, keluarlah, aku tahu bahwa engkau ada di dalam.’ Maka orang orang itu pun keluar menemuinya. Dan Abu Qatadah bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau sembunyi dariku?’ orang itu menjawab, ‘Sesungguhnya aku benar-benar dalam kesulitan da aku tidak mempunyai sesuatu apapun.’ ‘ya Allah, apakah engkau benar-benar dalam kesulitan?’ tanya Abu Qatadah, ‘ya’ jawabnya. Maka Abu Qatadah pun menangis . lalu menceritakan aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
من نفَّس عن غريِمه ، أو محا عنه ، كان في ظلِّ العرشِ يومَ القيامةِ
“Barang siapa yang memberi kelonggaran kepada penghutang atau menghapuskannya, maka ia berada dalam naungan Arsy pada hari kiamat kelak.” ( HR. Muslim )
c) Hadist Hudzaifah bin al-Yaman bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “ Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya pada hari kiamat . dia bertanya, ‘Apa yang telah engkau kerjakan di dunia untukku?’ ia menjawab, ‘Aku tidak mengerjakan suatu apapun untuk-Mu, yaa Rabb ku, meski hanya sebesar biji atom pun di dunia , yang dengannya aku berharap kepada-Mu.’ Dia ucapkan hal itu tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya hamba itu berucap, ‘Ya Rabb ku sesungguhnya Engkau telah memberikan kelebihan harta dan aku adalah seorang yang berdagang dengan orang-orang. Diantara tabiatku adalah mempermudah urusan. Maka aku berikan kemudahan kepada orang yang mampu dan memberi tangguh kepada orang yang dalam kesulitan.’ Setelah itu Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak memberikan kemudian hal itu, masuklah ke dalam Surga.’” ( HR. Bukhari dan Muslim )
d) Dalam riwayat lain disebutkan,
أَنَّ رَجُلًا مَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ فَقِيلَ لَهُ مَا كُنْتَ تَعْمَلُ قَالَ فَإِمَّا ذَكَرَ وَإِمَّا ذُكِّرَ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَكُنْتُ أُنْظِرُ الْمُعْسِرَ وَأَتَجَوَّزُ فِي السِّكَّةِ أَوْ فِي النَّقْدِ فَغُفِرَ لَهُ
“Bahwa seorang laki-laki meninggal dunia kemudian dia dimasukkan ke syurga, lantas dikatakan kepadanya, 'Apa amalanmu (sewaktu di dunia)? ' -ia menyebutkan atau disebutkan- dia berkata : "Sesungguhnya dahulu saya memberi tangguh kepada orang yang kesusahan dan mempermudah dalam urusan keuangan atau dalam pembayaran.” Maka orang tersebut dosanya diampuni." (HR..Muslim: 2919)
Keenam : Ingat mati
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah [2]: 281)
1) Para ulama berbeda pendapat tentang ayat di atas,
a) Ibnu Juraij berkata “ ayat ini turun sembilan malam sbelumnya wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”
b) Ibnu Jubair berkata, tujuh malam sebelum wafat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
c) Tiga malam.
d) Abdullah bin Abbas berkata tiga puluh satu hari sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
2) Rasulullah memerintahkan agar ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat riba dan ayat-ayat utang piutang.
3) Setelah turun ayat ini Rasulullah wafat pada hari senin 2 Rabi’ul Awal.
4) Ayat yang terakhir turun ini mengingat seluruh manusia, khususnya umat Islam bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, dan semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah terhadap apa yang dikerjakan selama hidupnya di dunia.
5) Diceritakan bahwa seorang ulama besar pada zaman ini menulis tafsir “ Adhawaul Bayan” secara rutin mengajarkan tafsir di masjid Nabawi ba’da magrib hingga Isya. Ketika beliau membaca dan menafsirkan ayat ini, Allah memanggilnya untuk dikembalikan kepada-Nya, selamanya. Subhanallah, semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang sangat luas. Aamiin.
****
Jakarta, Senin 21 Februari 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »