Karya Tulis
542 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 282-283)Bab ke-128 Ayat Utang Piutang


 

Ayat Utang Piutang

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2]:282)

 

 Pertama : Harta sebagai tonggak kehidupan

 

1)      Beberapa ayat sebelumnya, Allah menjelaskan seputar masalah harta yaitu tentang  infak, keutamaannya, penyalurannya dan pembagiannya. Kemudian berbicara masalah riba dan bahayanya pada ayat ini Allah menerangkan tentang utang piutang, anjuran untuk menulisnya, serta persaksian atas akad ini.

 

2)      Ayat ini juga memberikan pesan kepada kaum muslimin bahwa harta bukanlah sesuatu yang dibenci Allah dan bukanlah sesuatu yang harus dijauhi atau dihindari justru harta dijadikan oleh Allah sebagai tonggak kehidupan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”  (QS. An-Nisa [4]: 5)

 

3)      Bahkan harta adalah salah satu sarana seseorang untuk masuk surga. Betapa banyak dari para sahabat dan generasi sesudahnya yang masuk surga karena menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Diantaranya Ustman bin Affan dan Abdurrahmanbin Auf. Di dalam hadist ‘Amru bin Ash bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda,

 

- نِعمَ المالُ الصَّالحُ للرَّجلِ الصَّالحِ

 

“Sebaik-baik harta adalah milik orang yang saleh.”

 

Kedua : Akad salam

 

1)     Firman-Nya,

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan,”

 

Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun secara khusus berkaitan dengan salam walaupun secara khusus membahas semua bentuk akad yang dilakukan secara tidak tunai (berhutang).”

 

Akad salam adalah adalah akad pesanan dimana seseorang memesan hasil bumi ( Buah-buahan atau sayur-sayuran ) kepada orang lain dengan kriteria tertentu, dengan jumlah takarannya, batas waktu penyerahannya dan dengan harga yang disepakati dan diserahkan di muka sebelum mereka berdua berpisah dari majelis.

 

Akad salam ini sesuai dengan hadist Ibnu Abbas beliau berkata, “Bahwa Nabi Muhammad ketika datang ke Madinah ternyata masyarakat di sana sudah terbiasa melakukan akad salam ini, yaitu memesan buah-buahan dalam tempo satu, dua atau tiga tahun. Maka beliau bersabda,

 

عن عبد الله بن عباس -رضي الله عنهما- قال: قدم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المدينة، وهم يُسلفون في الثمار: السنة والسنتين والثلاث، فقال: من أسلَفَ في شيء فليُسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم، إلى أجل معلوم.

 

“Siapa yang memberi pinjaman dalam sesuatu, hendaknya ia memberi pinjaman dalam takaran yang sudah diketahui dan timbangan yang sudah diketahui sampai masa tertentu." 

 

2)     Firman-Nya,

فَلْيَكْتُبْۚ 

     “Maka tulislah.”

 

            Ayat di atas memerintahkan untuk menulis akad utang-piutang, termasuk di dalamnya akad salam ( pemesanan ). Perintah untuk menuliskan ini harus disertai saksi. Karena kalau tidak ada saksi tulisan tersebut tidk mempunyai kekuatan hukum.

            Pada dasarnya menulis utang-piutang itu hukumnya wajib karena adanya perintah. Akan tetapi kewajiban ini menjadi gugur dan berubah hukumnya menjadi sunah, karena pada ayat selanjutnya menunjukkan kebolehan untuk tidak menulis utang-piutang jika kedua belah pihak yang bertransaksi saling percaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَه

“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

 

3)     Firman-Nya,

 

وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ

 

“Hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”

 

Ayat di atas menunjukkan anjuran untuk mencari penulis akad utang-piutang dari orang ketiga yang amanah di luar dua orang yang sedang melakukn akad. Hal itu untuk menghindari potensi kecurangan jika yang menulis adalah salah satu dari dua pihak yang menjalankan akad.

 

(بِالْعَدْل) Maksudnya penulisnya harus mencatatnya dengan adil, tidak boleh menambah atau mengurangi dari apa yang sudah disepakati. Begitu juga penulisnya tidak boleh cenderung kepada salah satu dari kedua blah pihak sehingga membuatnya tidak jujur kepada yang lainnya.

 

Ketiga : Hukum menjadi notaris

1)     Firman-Nya,

وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ

 

“Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya.”

 

a)      Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mencatat bagi orang mengerti tulis menulis. Apalagi jika kedua belah pihak yang melakukan akad menunjukknya sebagai pencatat. Pendapat yang lebih kuat hukumnya adalah sunah, karena pencatat boleh disewa dan dibayar, tidak akan menjadi suatu kewajiban seseorang. Contohnya, menjadi pegawai negri atau swasta hukumnya tidak wajib, karena dia digaji negara atau swasta.

 

b)      Pencatat sebuah akad pada zaman sekarang mirip dengan notaris. Akad-akad yang terkait utang-piutang, hibah (pemberian), jual beli dan akad-akad yang berhubungan dengan keuangan dalam jumlah besar biasanya dicatatkan di notaris. Seperti jual beli tanah, rumah, hibah rumah dari seorang suami kepada istri atau anak dan lain-lainnya. Notaris tersebut juga mendapatkan upah dari jasa pencatatan tersebut.

 

c)      Seorang petugas pencatatan (notaris) tidak boleh menolak untuk mencatat akad jika sudah ditunjuk oleh kedua belah pihak sedangkan tidak ada pencatat di daerah tersebut selain dia.

 

2)     Firman-Nya,

 

فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ

“maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan,”

a)      Hendaknya orang yang mempunyai utang menulis utangnya jika dia bisa menulis sendiri, dan jika dia tidak bisa hendaknya mendiktekan kepada petugas pencatatan (notaris) jumlah utang yang menjadi tanggungannya secara jujur.

 

b)      (وَلْيُمْلِلِ) dari (امل) atau  (املى) masdarnya (الاملا) (الملاء) ini disebutkan di dalam firman-Nya,

 

وَقَالُوْٓا اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلٰى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

 

“Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS. Al-Furqan [25]: 5)

 

3)     Firman-Nya,

 

الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا

 

“dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya.”

 

Ayat ini menjelaskan keharusan bertaqwa kepada Allah dalam penulisan utang piutang. Ini menunjukkan bahwa taqwa kepada Allah tidak terbatas perlu ibadah mahdha seperti salat, doa, membaca Al-Qur’an, dan puasa. Tetapi justru taqwa kepada Allah di tekankan pada saat dimana manusia sering lupa atau mengabaikan ajaran agama dan lengah terhadap pengawasan Allah, terutama pada bidang muamalah. Ini mirip dengan firman Allah.

 

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

 

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah [62]: 10)

 

4)     Firman-Nya,

 

فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ

 

“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.”

 

Orang yang berhutang keadaannya berbeda-beda diantaranya,

a)      (سَفِيْهًا) adalah orang yang belum mampu mengatur keuangan dengan baikkarena lemah akalnya. Ini mencakup anak kecil dan orang yang sudah dewasa. Ibnu Katsir berkata, “ hal itu sebagai upaya mencegahnya dari tindakan penghamburan uang.

(سَفِيْهًا) jama’nya (سفهاء).

Juga disebutkan di dalam firman Allah,

 

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”  (QS. An-Nisa [4]: 5)

 

b)      ( ضَعِيْفًا) artinya lemah akal karena karena sudah lanjut usia. Bisa juga diartikan lemah ingatan atau pikun atau mempunyai penyakit tertentu sehingga lemh dalam masalah tulis menulis.

 

c)      Orang yang tidak mampu mendikte dan menulis, karena masih terlalu kecil atau karna suatu udzur.

 

Tiga golongan di atas mendiktenya diwakili olehwalinya dan dia juga harus adil di dalam mendiktekannya.

 

Keempat : Persaksian dalam akad

1)     Firman-Nya,

وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ

 

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu.”

Hendaknya dua belah pihak yang melakukan akad utang piutang ketika menulis akad, mendatangkan dua saksi dari kalangan laki-laki. Para ulama menjelaskan bahwa saksi di dalam masalah keuangan harus memenuhi beberapa syarat :

a)      Harus dua orang saksi.

b)      Harus dari kalangan laki-laki, dalam hal ini saksi wanita dan anak kecil tidak diterima.

c)      Harus muslim, sehingga saksi non muslim tidak diterima.

 

2)     Firman-Nya,

فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ

 

“Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan”

 

Kesaksian dua wanita pada ayat ini khusus pada masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah harta dan keuangan. Dua wanita mewakili satu laki-laki, karena emosional wanita lebih dominan daripada akalnya. Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

 

 “Wahai para wanita, shadaqahlah! Sungguh saya telah menyaksikan kalianlah lebih banyaknya penghuni neraka’. Sontak mereka berkata ‘kenapa ya Rasulallah?’. Nabi bersabda ‘kalian sering melaknat dan mengkufuri suami. Saya belum pernah mengerti orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih menghilangkan lubb (akal yang bersih dari hawa-nafsu dan emosi) daripada seorang kalian’Mereka bertanya ‘bagaimana kurangnya agama dan akal kami, ya Rasulallah?’. Nabi bersabda ‘bukankah (Allah menentukan) persaksian seorang wanita semisal setengah persaksian seorang pria?’. Mereka menjawab ‘betul’. Nabi bersabda ‘itu karena kurangnya akalnya. Bukankah jika haid tidak shalat dan tidak berpuasa?’. Mereka berkata ‘betul’. Nabi shollallohu 'alaihi wasallam bersabda ‘itu karena kurangnya agamanya’.” (Shohih Bukhori, no.304 dan Shohih Muslim, No.132)

 

3)     Firman-Nya,

مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ

 

“di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada),”

 

Ayat ini menguatkan bahwa saksi harus adil. Karena maksud ayat di atas adalah saksi yang kalian ridhai dalam agamanya dan sikap adilnya.

 

4)     Firman-Nya,

اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ

 

“agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya.”

Maksudnya jika salah satu saksi wanita lupa atau salah, maka yang lainnya bisa mengingatkannya. Hal itu karena kebiasaan kaum wanita, mereka tidak memiliki perhatian terhadap masalah-masalah transaksi, utang piutang dan akad-akad lainnya. Kadang mereka pun kurang jeli dan suka lupa.

5)     Firman-Nya,

 

وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ

“Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”

 

a)      Ini menunjukkan larangan menolak untuk mnjadi saksi dan memberikan kesaksian ketika dibutuhkan.

b)      Di dalam hadist disebutkan,

 

 عن زيد بن خالد الجهني أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: ألا أُخبِرُكُم بخير الشُّهَدَاء الذي يَأتي بِشَهادَتِهِ قبل أن يُسْأَلَهَا.

 

Dari  Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Maukah saya memberi tahu Anda tentang para syuhada terbaik yang membawa kesaksiannya sebelum dia memintanya?"

 

Kelima : Pentingnya pencatatan.

 

1)     Firman-Nya,

وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ

“Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu)                 kecil maupun besar.”

Ayat Ini menunjukkan larangan untuk bermalas-malasan aau meras jenuh untuk menulis utang-piutang walaupun jumlahnya sedikit. Begitu juga menulis waktu pembayaran.

2)     Firman-Nya,

ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْا

     “Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan,”

       Ayat di atas menyebutkan tiga manfaat penulisan transaksi utang-piutang :

a)      Lebih adil di sisi Allah, dan lebih menjamin kebenaran dalam pelaksanaan hukum Allah.

b)      Lebih menguatkan persaksian sehingga lebih dekat dengan kenyataan.

c)      Lebih menghilangkan keraguan di dalam menentukan jenis, jumlah dan waktu pembayaran.

 

3)     Firman-Nya,

 

اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ

 

“kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.”

 

Pada ayat di atas Allah memberikan keringanan pada akad jual beli yang disaksikan dan dibayar tunai tidak masalah untuk tidak dicatat. Karena transaksi jual beli yang dibayar tunai sangatlah banyak terjadi, jika diharuskan untuk dicatat akan memberatkan bagi kedua belah pihak. Selain itul hal seperti ini membutuhkan kecepatan, khususnya pada barang-barang yang sepele dan kecil-kecil. Jika harus dicatat, akan menghambat dan merepotkan mereka.

 

4)     Firman-Nya,

 

وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ

“Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli,”

 

Berkata Ibnu Katsir, “ menurut mayoritas ulama, masalah ini ( persaksian dalam jual beli ) diartikan bimbingan dan anjuran semata buka sebagai suatu hal yang wajib.”

 

5)     Firman-Nya,

 

وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ

 

“dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu.”

 

a)      tidak boleh pencatat transaksi (notaris) dan saksi berbuat yang bisa merugikan salah astu tau kedua pihak yang melakukan transaki dengan cara mengurangi, menambah atau menyembunyikan hal-hal yang terkait dengan transaksi. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh kedua pihak yang melakukan hal-hal yang merugikan pencatat (notaris) atau saksi.

 

b)      (فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُم) artinya maksiat. Jadi fasik di sini artinya maksiat. Saling memberikan madharat kepada orang lain dalam hal ini dianggap sebagai bentuk maksiat kepada Allah.

 

6)     Firman-Nya,

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْم

 

“Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

Berkata al-Qurthubi, “Ini janji dari Allah bahwa barang siapa yang bertaqwa kepada-Nya, niscaya dia akan mengajarinya. Yaitu : menjadikan di dalam hatinya cahaya. Sehingga bisa memahami apa yang disampaikan kepadanya. Kadang juga Allah menjadikan di dalam hatinya kemampuan untuk membedakan antra kebenaran dan kebatilan. Dan ini dikuatkan dengan firman Allah,

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 29)

 

 

Keenam : Hukum pegadaian.

 

1)     Firman-Nya,

 

 

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ

 

     “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Qs. Al-Baqarah [2]: 283)

 

a)      Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai dibolehkan pada waktu safar dengan dalil ayat di atas. Dan juga pada waktu mukim dengan dalil hadist Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu,,

 

عن ابن عباس قال: توفي النبي صلى الله عليه وسلم ودرعه مرهونة بعشرين صاعاً من طعام أخذه لأهله

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia, sementara baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi, dengan imbalan 30 wasaq gandum. Beliau menggadaikannya untuk memberi makan keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

b)      Gadai adalah suatu barang yang ditahan untuk dijadikan sebagi jaminan atas suatu pinjaman. Jika pinjaman tersebut tidak bisa dikembaikan, maka akan dibayar dari harga barang yang ditahan atau dengan harga manfaat barang tersebut.

 

2)     Firman-Nya,

فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ

“Maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang”  

Dari ayat ini, sebagian ulama menetapkan bahwa syarat sah akad pegadaian adalah barang jaminan harus di tangan pihak yang meberikan pinjaman. Dan jika barang jaminan lepas dari tangannya atau dikembalikan oleh pihak yang meminjamkan, maka  akad pegadaian menjadi batal.

 

3)     Firman-Nya,

 

فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ

 

“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian,”

 

a)      Ayat ini menjelaskan bahwa jika prang yang memberikan pinjaman percaya kepada orang yang meminjam, sehingga dia tidak mengambil darinya barang jaminan dan tidak pula menulis akad tersebut serta tidak mendatangkan saksi, maka pihak yang meminjam harus menjaga kepercayaan tersebut dan menunaikan amanatnya dengan cara mengembalikan utang sesuai kesepakatan. Hendaknya dia bertaqwa kepada Allah di dalam menjaga hak amanah yang ada serta tidak mengkhianatinya.

 

b)      (وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّه) menunjukkan bahwa ketaqwaan kepada Allah harus terus dipegang dan ditingkatkan, terutama dalam bidang muamalat dan utang piutang diman kebanyakan manusia cenderung lupa kepada Allah. Oleh karenanya, dilarang juga untuk menyembunyikan persaksian, karena Allah maha melihat dan mengetahui setiap perbutan manusia, walaupun dia berusaha menutupinya.

 

4)     Firman-Nya,

وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ

“karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa).”

 

a)      Ayat di atas menunjukkan bahwa hati seseorang yng mnanggung dosa, padahal yang berbuat dan bermaksiat adalah anggota badan, seperti tangan, kai, mata, dan telinga. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berdosa itu jika ada unsur kesengajaan dari hati. Jika ada suatu perbuatan yang tidak disengaja dan hatinya tidak turut di dalamnya, maka tidak dianggap sebuah dosa.

 

b)      Salah satu contohnya adalah apa yang terdapat di dalam firman Allah,

 

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

 

                “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 255)

 

Begitu juga apa yang jug terdapat di dalam firman-Nya,

 

فَادْخُلُوْٓا اَبْوَابَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗفَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِيْنَ

 

                “Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Pasti itu seburuk-buruk tempat orang yang menyombongkan diri” (QS. An-Nahl [16]: 106)

 

****

 

 Jakarta, Rabu 23 Februari 2022.

 

 

 

 

 

KARYA TULIS