Karya Tulis
567 Hits

Tafsir An-Najah (QS.3: 134-136) Bab ke-175 4 Sifat Muttasin


4 Sifat Muttasin

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”

(QS. Ali-Imran [3]: 134)

Ayat ini dan ayat berikutnya menjelaskan sifat sifat orang-orang yang bertakwa yang dijanjikan masuk surga. Yaitu.

Sifat pertama : Menginfakkan hartanya dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit,”

Berinfak dalam ayat ini didahulukan daripada amal yang lain karena 2 hal.

1)      Berinfak menfaatnya lebih luas untuk orang lain dan lenbih langgeng.

2)      Seseorang ketika dalam kondisi sakaratul maut, amal yang paling diingat adalah berinfak, bahkan dia meminta tambahan umur agar bisa berinfak. Hal seperti ini disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.’”

(QS. Al-Munafiqun [63]: 10)

Sifat kedua : Menahan Amarah.

وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ

“dan orang-orang yang menahan  amarahnya”

1)      Sifat pertama adalah menginfakkan hartanya di jalan Allah. Artinya dia menahan diri untuk tidak membelanjakan pada sesuatu yang tidak bermanfaat atau untuk sesuatu yang mengandung maksiat. Makanya pada sifat kedua adalah menahan diri untuk tidak marah. Hal itu karena marah berasal dari setan, sebagaimana di dalam hadits,

إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

"Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api, sementara api akan mati dengan air, maka jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berwudhu." ( HR Abu Daud dan Ahmad )

2)      Maksud menahan amarah disini adalah menahan marah padahal dia mampu melampiaskannya, sepeti seorang atasan kepada bawahannya, atau seorang suami terhadap istrinya, atau seorang bapak kepada anaknya. Walaupun dia mampu melampiaskannya tetapi ia memilih untuk tidak marah.

Adapun orang yang marah kemudian menahan amarahnya karena dia seorang bawahan yang sedang marah kepapa atasanya atau seorang istri kepada suaminya, atau seorang anak kepada bapaknya. Maka menahan amarah dalam kondisi seperti ini teidak masuk dalam sifat orang-orang bertakwa. Hal itu karena menahan amarahnya tidak diniatkan karena Allah tetapi karena tidak berani terhadap atasan.

3)      Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan kautamaan menahan amarah diantaranya,

a)      Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah bersabda,  

ليس الشديد بالصُّرَعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب

“Orang yang kuat bukanlah orang yang bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah.”

b)      Hadits riwayat Anas bin Malik, bahwa Nabi bersabda,

 

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وهوَ قادِرٌ على أنْ يُنْفِذَهُ ؛ دعاهُ اللهُ سبحانَهُ على رُؤوسِ الخَلائِقِ ( يومَ القيامةِ حتى يُخَيِّرَهُ مِن الحُورِ العِينِ ما شاءَ

“Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- akan menyerunya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sehingga orang itu dipersilakan untuk memilih bidadari yang ia sukai.”

 

c)      Diriwayatkan dari Haritsah bin Qudamah As-Sa’di berkata, “Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku!” maka beliaupun bersabda, “ Janganlah marah” orang itu berkata, “Lalu aku renugkan perkataan beliau itu ternyata benarlah, bahwa marah itu menghimpun seluruh keburukan.” (HR. Ahmad)

Sifat ketiga : Mudah memaafkan.

وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ

”dan memaafkan (kesalahan) orang lain.”

1)      Sifat mudah memaafkan menunjukkan bahwa hatinya bersih dari sifat dendam dan hasad. Sifat ini meniru sifat Allah yang Maha Pemaaf. Dalam doa malam Lailatu Qodar dari Aisyah bahwa Nabi bersabda,

 

اللهم انك عفو تحب العفو فاعف عني

 

"Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku,".

 

2)      Sifat mudah memaafkan yang ada pada diri seseorang menyebabkan hatinya bersih dan tenang dan bisa meningkatkan imun tubuhnya, sehingga membuatnya sehat wal’afiat.

 

3)      Orang yang mudah memaafkan akan mudah dicintai orang-orang yang berada disekitarnya dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”

Orang yang mudah memaafkan orang lain masuk dalam kaegori Al-Muhsinin.

4)      Allah juga memuji orang-orang yang mudah memaafkan orang lain, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَاِذَا مَا غَضِبُوْا هُمْ يَغْفِرُوْنَ ۚ

“ dan apabila mereka marah segera memberi maaf,” (QS. Asy-Syura [42]: 37)

5)      Di dalam hadits Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu, Rasulullah bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُشْرَفَ لَهُ الْبُنْيَانُ ، وَتُرْفَعَ لَهُ الدَّرَجَاتُ فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ ، وَلْيُعْطِ مَنْ حَرَمَهُ ، وَلْيَصِلْ مَنْ قَطَعَهُ

 

“Barangsiapa yang ingin dibangunkan baginya rumah  di Surga, hendaknya ia memafkan orang yang mendzaliminya, memberi orang yang bakhil padanya dan menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya.” (HR. Thabrani).

6)      Berkata Ibnu Mubarak, “ Suatu hari saya berada di samping khalifah Al-Manshur. Beliau memerintahkan untuk memberikan hukuman mati kepada seseorang. Maka saya berkata kepadanya, ‘ Wahai amirul mukmini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika pada hari kiamat, seseorang menyeru di  hadapan Allah, ‘Barang siapa yang  mempunyai tangan di sisi Allah, hendaknya dia maju ke depan. maka tidak ada yang maju kedepan kecuali orang yang mudah memberikan maaf atas kesalahan.’ Mendengar hadits tersebut, khalifah Al-Manshur melepas orang tersebut.”’

 

7)      Firman-Nya,

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”

Al-Muhsinin dalam ayat ini mencakup tiga golongan,

a)      Orang-orang yang berinfak dalam keadaan lapang atau sempit

b)      Orang-orang yang menahan amarahnya.

c)      Orang-orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain.

 

8)      Jika Allah mencintai hamba-Nya maka Dia akan menjadikan mansia mencintainya juga.

 

Sifat Keempat : Bertaubat dari Maksiat.

 

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali-Imran [3]: 135)

 

1)      Inilah sifat orang-orang yang bertakwa yang keempat, yaitu segera beristigfar dan bertaubat ketika terjatuh dalam kemaksiatan atau dosa.

Berkata Al-Qurthubi, “ Pada ayat ini Allah menyebutkan satu golongan yang bukan golongan pertama, tetapi memasukkan golongan ini kepada golongan yang pertama dengan rahmat dan karunianya mereka adalah orang-orang yang bertaubat.”

 

2)      Di dalam riwayat Atha disebutkan bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “ Ayat ini turun berkenaan dengan Nabhan, seorang penjual kurma yang memiliki julukan Al-Kunyah Abu Muqbil, suatu ketika seorang wanita cantik jelita datang kepadanya untuk membeli kurma. Lalu Abu Muqbil mendekap wanita cantik tersebut dan menciuminya. Kemudian ia menyesali perbuatan tersebut, lalu ia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengadukan hal tersebut kepada beliau, lalu turunlah ayat ini.

 

3)      Perbedaan antara fahisyah dan menzalimi diri sendiri pada ayat di atas disebutkan dua istilah, Fahisyah dan menzalimi diri sendiri. apa perbedaan antara keduanya ? terdapat beberapa pendapat.

 

  1. Fahisyah adalah perbuatan keji atau dosa besar, seperti berzina, membunuh, merampok, dan mencuri. Sedangkan menzalimi diri sendiri adalah dosa secara umum atau dosa kecil.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 

وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِّنْكُمْ ۚ فَاِنْ شَهِدُوْا فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰىهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا

“Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan (yang lain) kepadanya.” (QS.An-Nisa [4]: 15)

Kata “Al-Fahisyah” pada ayat di atas artinya zina. Begitu juga pada ayat-ayat lain dalm Al-Qur’an.

  1. Al-Fahisyah adalah dosa secara umum sedangkan menzalimi diri sendiri adalah dosa besar. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]:13)

Ayat di tas menunjukkan bahwa syirik adalah perbuatan zalim. Menzalimi diri sendiri termasuk dalam kategori ini , yaitu dosa besar.

 

  1. Al-Fahisyah (Pebuatan keji) dan menzalimi diri sendiri adalah dua sisi dosa yang tidak bisa dipisahkan. Setiap perbuatan keji berakibat perbuatan menzalimi diri sendiri, begitu juga sebaliknya.

 

4)      Hubungan anatara sifat Al-Muttaqin

  1. Sifat Al-Muttaqin terbagi menjadi dua,
    1. Sikap dalam mengahadapi orang lain, ini ada tiga : berinfak, menahan marah, dan memaafkan orang lain.
    2. Sikap dalam mengahadapi diri sendiri, bertaubat dari perbuatan dosa.

 

  1. Sikap mengahadapi orang lain, terdapat tiga tingkatan,
    1. Menahan marah, artinya mamrahnya masih dipendam dan masih memenuhi hatinya, tetapi dia tahan dan tidak dilampiaskan dengan kata-kata buruk dan negative.
    2. Memberikan maaf artinya menghapus bekas luka ang ada di dalam hatinya akibat oerbuatan orang lain terhadapnya, seakan-akan tidak pernah terjadi kesalahan tersebut. Sifat ini lebih tinggi tingkatannya dari sifat sebelumnya.
    3. Orang-orang yang berbuat baik ( Al-Muhsin), yaitu aktif memberikan sesuatukeoada orang lain, tidak sekedar menahan marah atau memaafkan kesalahan. Seperti memberikan bantuan materi, menolong dari musibah yang menimpanya dan ain-lain.

 

5)      Shalat taubat.

ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ

“(segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya,”

Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda,

 

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ، ثُمَّ يُصَلِّي، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: ( وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُون(

 “Tidak ada satupun seorang hamba yang berbuat suatu dosa, kemudian berdiri untuk bersuci, kemudian melakukan sholat dan beristighfar untuk meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuni dosanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam membaca surat Ali Imran , ayat : 135, yang artinya: “ Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. “ ( Hadits Hasan Riwayat At-Tirmidzi no : 3009, Abu Daud, no : 1521 )

Hadits di atas menunjukkansyariat shalat taubat, yaitu shalat yang dikerjakan setelah melakuakn suatu maksiat atau dosa, sebagai bentuk taubat seorang hamba kepada Tuhannya. Beristigfar dan bertaubat setelah berbuat dosa juga disebut di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 110)

Juga terdapat di dalam firman-Nya,

 

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”(QS. An-Nisa [4] : 17)

 

6)      Tidak melanjutkan maksiat.

 

وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.”

 

  1. Ayat ini menunjukkan saah satu syarat diterimanya taubat, yaitu tidk meneruskan perbuatan dosanya. Jadi tidak sekedar mengucapkan istigfar tetapi dia terus mengerjakan dosanya. Istigfar seperti ini adalah istigfar yang membutuhkan istigfar lagi.

Berkata Al-Hasan Al-Basri, “ Istigfar kita membutuhkan istigfar lagi.”

 

Berkata Al-Qurthubi, ‘ itu yang terjdi pada masa Al-Hasan Al-Basri, apalagi pada masa kita sekarang (yaitu sekitar abad ke 8 H), dimana banyak terlihat orang yang bergelimangan di dalam perbuatan zalim, tidak mau meninggalkannya sedangkan tasbih sealu menempel ditangannya, dan menganggap dirinya sudah beristigfar kepada Allah. Hal seperti ini termasuk perbuatan mengolok olok agama Allah, sebagaimana yang di dalam firman-Nya,

 

وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اٰيٰتِ اللّٰهِ هُزُوًا

“Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 231)

 

 Berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Astqalani di dalam Fathu al-Bari (11/99): 

          فيه إشارة إلى ان من شرط قبول الاستغفار ان يقلع المستغفر عن الذنب والا فالاستغفار باللسان مع التلبس بالذنب كالتلاعب

“Hadist tersebut mengisyaratkan bahwa salah satu syarat diterimanya al-istighfar adalah bahwa orang yang beristighfar harus meninggalkan dosa yang dilakukannya, karena kalau tidak begitu, maka beristighfar dengan lisan tetapi masih saja melakukan dosa, hanya perbuatan main-main saja..”

  1. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa orang yang bertaubat pasti tidak mengulangi pebuatan dosanya lagi. Tetapi maksudnya, jika seseorang mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut. Kemudian di beristigfar dan bertaubat kembali. Maka Allah akan mengampuninya dan menerima taubatnya dan dia bukan termasuk orang-orang yang etrus-meneru mengerjakan dosa.

Di dalam hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

 

ما أصر من استغفر ، وإن عاد في اليوم سبعين مرة

“Tidak ada seorang pun yang tetap memohon ampun, meskipun dia mengulanginya tujuh puluh kali sehari” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

7)      Firman Allah,

 

وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“sedang mereka mengetahui.”

 

Maksudnya mereka mengetahui apa yang mereka lakukan tersebut adakah dosa (kemaksiatan), dan mereka ingat kepada dosa-dosa mereka, kemudian bersungguh-sungguh untuk meninggalkannya.

 

8)      Balasan orang-orang muttaqin.

 

اُولٰۤىِٕكَ جَزَاۤؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَجَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَۗ

“Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (QS. Ali-Imran [3]: 136)

Ayat di atas menunjukkan dua hal,

1)      Ampunan Allah didahulukan sebelum surga, karena syarat mask surga harus mendapatkn ampunan dari Allah terlebih dahulu.

2)      Orang-orang yang selalu beristigfar dan bertaubat kepada Allah setiap berbuat dosa dikategorikan orang-orang yang beramal dan berjuang ( Al-‘amilin)

 

 

****

 

Jakarta, Kamis 31 Maret 2022.

KARYA TULIS