Karya Tulis
472 Hits

Tafsir An-Najah (QS.4: 2) Bab ke-200 Berbuat Adil kepada Anak Yatim.


Berbuat Adil kepada Anak Yatim.

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّه كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisa [2]: 2).

Pelajaran (1): Anak Yatim orang yang lemah

1)      Setelah perintah bertaqwa didalam membina keluarga dan kewajiban untuk bersilaturahmi, pada ayat terdapat perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim yang ditinggal mati bapaknya dengan memberikan hak-haknya secara penuh tanpa dikurangi sedikitpun.

2)      Surah An-Nisa yang berarti wanita adalah gambaran makhluk Allah yang lemah. Di awal surah, seorang laik-laki diperintahkan untuk menjaga keluarganya, salah satunya dengan terus menerus menjalin silaturahmi. Pada ayat ini, seorang wali juga diperintah untuk berlaku lemah lembut terhadap anak yatim, yang merupakan makhluk terlemah, apalagi kalau anak yatim tersebut seorang perempuan.

3)      Ayat ini turun berkenaan seorang laki-laki dari suku Ghathfan yang di amanah untuk memegang harta banya milik putra saudaranya (keponakan) yang yatim. Ketika anak yatim ini mencapai usia baligh, ia meminta hartanya yang ada pada pamannya tersebut. Namun pamannya tidak mau menyerahkannya. Lalu turunlah ayat ini. Kemudian pamannya menyerahkan harta tersebut kepada anak yatim yang sudah baligh tersebut seraya berkata “Aku berlindung kepada Allah dari dosa besar (Hubah Kabira)

4)      Firman-nya

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim”

a)      Maksud anak yatim dalam ayat ini adalah anak yatim yang sudah baligh, menyebut seseorang dengan sifat yang menempel sebelumnya. Cara seperti ini sering digunakan oleh Al-Qur’an.

Seperti firman Allah tentang tukang sihir Fir’aun yang sudah bertaubat,

وَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَۙ

“Dan para pesihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud.” (QS. Al-Ara’f [7]: 120).

Maksud ayat ini adalah tukang sihir yang sudah bertaubat, karena kalau masih menjadi tukang sihir tidak mungkin mau bersujud.

b)      Memberikan harta kepada anak yatim bisa melalui salah satu dari du acara,

  1. Memberikan kepadanya makan, minum dan pakaian serta keperluan-keperluan lainnya dari hartanya yang disimpan. Ini ketika dia masih kecil dan belum dewasa.
  2. Memberikan hartanya secara penuh kepadanya jika dia sudah menginjak dewasa.

Pelajaran (2): Mengganti yang Baik dengan yang Buruk.

وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ

“janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk”

1)      Maksudnya bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, mereka tidak berhati-hati dengan harta anak yatim bahkan mereka memperlakukannya sesuai dengan keinginannya. Jika seorang anak yatim memilih kambing yang besar dan gemuk, maka ditukarkan dengan kambing yang kecil dan kurus milik walinya. Kalau di masa sekarang, seorang anak yatim mewarisi motor baru dari ayahnya, kemudian walinya menggantikan motor yang sudah rusak miliknya, walinya akan mengatakan. Ini sama-sama kambing atau sama-sama motor, jadi ditukar tidak apa-apa.

Ayat ini melarang perbuatan tersebut, yaitu menukar yang baik (milik anak yatim) dengan yang buruk (milik walinya).

2)      Mencampur harta anak yatim

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ

“dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.”

a)      Ayat diatas melarang para wali untuk mencampur harta mereka dengan harta anak yatim, kemudian mereka memakannya. Hal ini, karena sebagian dari wali, menganggap bahwa yang mereka makan adalah harta mereka padahal di dalamnya terdapat harta anak yatim.

b)      Kemudian larangan ini dihapus, karena memberatkan para wali, mereka kadang merasa susah untuk memisahkan antara kedua harta tersebut. Maka turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَاَعْنَتَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 220).

3)      Memakan harta anak yatim adalah dosa besar.

اِنَّه كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا

Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”

a)      Kata (حُوْبًا) artinya dosa, asalnya kata ini digunakan untuk melarang atau menghalangi unta, kemudian digunakan untuk menyebut suatu “dosa”, karena dosa adalah sesuatu yang dilarang. Didalam suatu doa disebutkan

 

b)      Ayat ini menunjukan bahwa memakan harta anak yatim dengan cara zalim adalah dosa besar.

 

Pelajaran (3): Adil dalam berpoligami.

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

 

1)      Diriwayatkan bahwa Urwah bin Zubair bertanya kepada bibinya yaitu Sayidah ‘Aisyah Radhiyallahu Anhu tentang ayat ini. Lalu beliau berkata “wahai putra dari saudara perempuanku (Asma Binti Abu Bakar yang dinikahi oleh Zubair bin al-Awam), ada seorang anak yatim perempuan dibawah asuhan walinya. Si wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim tersebut. lalu si wali ternyata tertarik kepada harta dan kecantikannya, kemudian dia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di dalam memberikan mahar seperti layaknya wanita lain. Sikap seperti itu dilarang dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lainnya yang mereka senangi dua, tiga atau empat.

2)      Arti menikah sampai empat.

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ

maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”

a)      Kata (فَانْكِحُوْا) ”maka nikahilah” ini kata berbentuk perintah, tetapi pertintah yang tidak wajib dikerjakan, karena artinya “boleh”. Jadi maksudnya “maka boleh kalian menikahi wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.

Kata perintah disini, seperti kata perintah dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

 وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

b)      Sebagian ulama mengatakan bahwa kata perintah dalam (فَانْكِحُوْا) mengandung arti wajib, tetapi wajib yang dimaksud disini adalah wajib terbatas pada empat istri, tidak boleh lebih dari itu. Yaitu jika mau berpoligami tidak boleh lebih dari empat, wajib mengikuti aturan itu.

c)      Jumlah dua, tiga dan empat adalah pilihan yaitu menikahi dua wanita atau tiga atau empat dalam satu waktu. Tidak boleh lebih dari itu. “Dan” dalam ayat tersebut artinya badal (pengganti) bukan tambahan. Maka sangat salah orang yang memahami bahwa “dan” didalam ayat ini artinya tambah. Jika demikan maka wanita yang boleh dinikahi jumlahnya Sembilan. Ini pemahaman yang keliru dan sesat, karena tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian dan tidak ada satu pun sahabat yang mempunyai istri lebih dari empat.

d)      Didalam hadits disebutkan bahwa Ghoilah bin Umayah As-Tasaqabi masuk Islam, sedang dia mempunyai sepuluh istri, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “pilihlah empat, dan cerai yang lain”

e)      Begitu juga Harits bin Qais Al-Asadi dulu mempunyai delapan istri, ketika turun ayat ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh untuk menceraikan yang empat.

Pelajaran (4): Makna Adil.

فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ

Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.”

1)      Ayat diatas menjelaskan jika seseorang takut tidak dapat berlaku Adil, dalam berpoligami, maka hendaknya dia menikah dengan satu istri saja atau mengambil budak (hamba sahaya).

2)      Adapun yang dimaksud “adil” dalam ayat ini adalah adil dalam nafkah dan giliran bermalam, bukan adil dalam cinta dan kecondongan hati. Karena adil dalam cinta dan kecondongan hati di luar batas kemampuan manusia. Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak bisa melakukannya. Beliau lebih mencintai Aisyah disbanding dengan istri-istri lainnya. Di dalam hadits disebutkan,

عن عائشة، قالت: كان رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ, ويقول: «اللهمَّ هذا قَسْمِي، فَيما أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْني، فِيما تَمْلِكُ، ولا أَمْلِكُ».

 

Dari Aisyah, ia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membagikan (malam untuk para istrinya) dan bertindak adil serta bersabda, "Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku mampu. Janganlah Engkau mencelaku (menyiksaku) terkait hal yang Engkau miliki dan aku tidak aku miliki." 

3)      Disebutkan dalam ayat diatas ‘jika tidak mampu berbuat adil, maka cukup menikah dengan satu istri atau hamba sahaya yang kamu miliki. Hal itu karena hamba sahaya tidak dibatasi jumlahnya dan tidak harus digilir secara adil seperti istri.

4)      Firman-Nya

ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

a)      Supaya kalian tidak berlaku zalim.

b)      Supaya kalian tidak jatuh miskin ini seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٢٨

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwanya). Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini.322) Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 28)

Kata (وَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً) dalam ayat ini adalah miskin.

c)      Supaya kalian tidak banyak keluarga yang harus ditanggung.

 

****

Jakarta, Jum’at 15 april 2022

KARYA TULIS