Karya Tulis
498 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 4:4-6) Bab ke-203 Hak Wanita dan Anak Yatim


Hak Wanita dan Anak Yatim

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا ٤

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa [4]: 4)

Pelajaran (1): Memberikan Mahar.

1)      Ayat ini masih melanjutkan ayat sbelumnya, bahwa pernikahan membutuhkan mahar. Maka Allah perintahkan kepada laki-laki yang ingin menikahi wanita untuk memberikan kepadanya mahar dengan penuh kerelaan.

2)      Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini ditunjukan kepada para wali wanita, bukan kepada suami. Karena dahulu para wali jika menikahkan anak wanitanya, maka wali tersebut mengambil maharnya dan tidak memberikannya kepada wanita tersebut. Lalu Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat ini.

3)      Ayat ini menunjukan bahwa mahar milik wanita yang dinikahi (istri) bukan milik ayah, paman, atau walinya. Oleh karenannya, istri boleh memberikan maharnya kepada suaminya lagi jika hal itu dibutuhkan.

4)      Kata (نِحْلَةً) artinya pemberian yang didasarkan pada ketulusan atau pemberian yang didasarkan pada ketulusan atau pemberian yang didasarkan pada perintah agama atau pemberian yang bersifat wajib.

Oleh karenanya, dari ayat ini disimpulkan bahwa mahar hukumnya wajib, boleh diberikan pada saat akad pernikahan dan boleh diberikan sesudah itu. Tetapi mahar bukan termasuk rukun atau syarat nikah artinya jika suatu pernikahan sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan tersebut sah, walau tidak disebutkan mahar di dalamnya. Tetapi bagi suami wajib memberikan makan kepada istrinya kapan saja dan mejadi tanggungannya sampai dibayar.

5)      Firman-Nya

فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

“Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

a)      Ayat ini menunjukan bahwa mahar milik istri (wanita yang dinikahi) bekan milik wali. Karena istri boleh memberikannya kembali kepada suaminya, dari kerelaan hatinya, tanpa ada paksaan dari suami. Jika ada paksaan dan tekanaan dari suami untuk memberikan mahar kepadanya lagi, padahal istri tidak rela, maka haram bagi suami untuk mengambil dan memanfaatkannya. Tetapi jika istri memberikannya kepada suami dari kerelaan hati yang tulus, maka suami boleh memakai dan memanfaatkannya dengan leluasa tanpa takut dosa.

b)      Kata (فَكُلُوْهُ) maka “makanlah” disini bukan berarti perintah untuk memakan mahar, tetapi maksudnya adalah memanfaatkannya, makan hanyalah salah satu cara memanfaatkannya.

c)      Kata (هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا) “Hani’” adalah sesuatu yang enak dimakan “mari’” adalah sesuatu yang berakibat baik jika dimakan, atau sesuatu yang lancar ketika dimakan tanpa ada hambatan.

d)      Ayat ini juka menunjukan bahwa masing-masing dari suami dan istri mempunyai harta dimana salah satu dari keduanya tidak boleh mengambil harta milik pasangannya tanpa seizinnya.

Pelajaraan (2): Harta Tonggak Kehidupan.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ٥

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa [4]: 5)

1)      Pada ayat (2), Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim ketika dia sudah menginjak umur baligh, kemudian pada ayat (4), Allah memerintahkan seorang laki-laki memberikan mahar kepada istrinya, begitu juga sebaliknya, istrinya pun boleh memberikan maharnya kembali kepada suaminya jika dari hati yang tulus.

Tetapi pada ayat ini (5), justru Allah melarang memberikan harta kepada orang-orang yang belum bisa mengelola harta dengan baik.

2)      Firman-Nya

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu.”

a)      Kata (السُّفَهَاۤءَ) jamak dari السَّفِيه artinya orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan baik dan benar, menghambur-hamburkannya pada hal-hal yang tidak perlu dan bermanfaat. Ini mencakup laki-laki, perempuan dan anak-anak. Kata ini berasak dari kata (السَّفَيه) yang berarti akal yang belum sempurna. Atau kekacauan dalam akal. Sebagian orang yang menyebutkannya orang yang bodoh atau belum sempurna akalnya atau belum dewasa.

b)      Kata (اَمْوَالَكُمُ) artinya harta kalian. Maksudnya di sini adalah harta milik anak yatim atau orang safih yang berada dalam pengawasan para wali. Dalam ayat harta ini disandarkan kepada para wali agar mereka menjaganya sebagaimana menjaga harta mereka sendiri.

c)      Kata (قِيٰمًا) artinya tonggak atau penegak. Maksudnya di sini bahwa harta adalah tonggak kehidupan, sesuatu yang bisa menegakkan kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidup manusia,

Oleh karenanya, Allah memerintahkan setiap muslim untuk menjaga harta tersebut, dan melarangnya untuk menghambur-hamburkan pada hal-hal yang kurang bermanfaat.

Pelajaraan (3): Mengambangkan Harta.

وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

“Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

1)      Terdapat tiga perintah pada ayat diatas kepada para wali terhadap harta anak yatim atau harta safih yaitu,

a)      Memberikan rezeki kepada mereka. Maksudnya keperluan hidup, termasuk di dalamnya makanan.

b)      Memberikan pakaian kepada mereka.

c)      Menyatakan kepada mereka perkataan yang baik.

Tiga hal yang disebutkan di atas mencakup kebutuhan materi dan non materi.

2)      Kalimat (وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا) maksudnya hendaknya para wali yang diserahi harta anak yati atau orang safif mengembangkan harta tersebut dengan cara diinvestasikan pada hal-hal yang menguntungkan, sehingga harta tersebut bisa bertambah dan berkambang. Dan jangan sampai dibiarkan saja atau ditumpuk atau disimpan begitu saja, yang akhirnya habis untuk memenuhi kebutuhan anak yatum atau orang safih.

Ayat ini menunjukan bahwa yang diberikan untuk menafkahu anak yatim atau orang safih adalah keuntungan atau laba dari pengembangan modal atau harta pokok mereka.

Berbeda jika kalimat dalam ayat itu berbunyi وَّارْزُقُوْهُمْ مِيْهَا maka artinya “berikan nafkah kepada mereka dari harta pokok (modal) mereka”

3)      Kalimat (وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” Maksudnya bahwa para wali hendaknya mengatakan kepada anak yatim atau orang safih yang di bawah pengasuhannya dengan perkataan yang baik dan janji yang menyenagkan, seperti “jika kamu sudah dewasa, dan mampu mengelola uang dengan baik, maka harta milikmu yang ada padauk akan aku serahkan kepadamu”

Pelajaran (4): Menguji Anak Yatim.

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا ٦

“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa [4]: 6)

1)      Pada ayat sebelumya, terdapat larangan memberikan harta kepada anak yatim yang belum baligh atau kepada orang safih. Tetapi larangan tersebut tidak berlangsung terus menerus. Maka pada ayat ini, Allah memerintahkan para wali untuk menguji (Al-Ibtila’) mereka sampai mereka baligh dan mampu mengelola harta dengan baik. Jika mereka sudah mampu, maka tidak mengapa para wali memberikan kepada mereka harta.

2)      Diriwayatkan bahwa yata ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Rifa’ah. Rifa’ah bapak dari Tsabit meninggal dunia, ketika anaknya (Tsabit) masih kecil. Lalu paman Tsabit datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, “Sesungguhnya putra saudaraku (Tsabit) adalah anak yatim di bawah asuhan saya, apa yang halal untukku dan hartanya dan kapan saya harus menyerahkannya kepada Tsabit?” lalu turunlah ayat ini.

3)      Firman-Nya

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى

“Dan ujilah anak-anak yatim itu”

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan para wali untuk menguji anak yatim, yaitu menguji kelayakan sikap dan tindakan mereka terhadap harta. Uji kelayakan ini dilakukan sebelum mereka menginajak usia dewasa (akil baligh).

Pelajaraan (5): Tanda-Tanda Baligh.

حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ

“Sampai mereka cukup umur untuk menikah”

1)      Maksudnya sampai mereka menginjak umur akil baligh, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ

“Apabila anak-anak di antaramu telah sampai umur dewasa” (QS. Nur [24]: 59)

            Diantara tanda-tanda seseorang mencapai umur akil baligh adalah,

-          Bagi laki-laki, mengalami mimpi basah, atau genap usia 15 tahun, atau tumbuhnya rambut kemaluan.

-          Bagi perempuan, mengalami haidh (datang bulan) atau genap berusia 15 tahun, atau tumbuhnya rambut kemaluan.

2)      Firman-Nya

فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا

“Jika menurut pendapat kalian, mereka telah cerdas (pandai mengelola harta)”

Selain mencapai usia baligh, untuk diserahkan kepadanya harta, seseorang harus memiliki “Rusydu”

Adapun pengertian “Rusydu” adalah,

  1. Orang yang baik akal dan agamanya.
  2. Orang yang baik akal dan pandai menjaga dan mengelola harta.

3)      Firman-Nya

فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ

“Maka serahkan kepada mereka hartanya”

Ayat ini memerintahkan para wali untuk menyerahkan harta milik anak yaim atau orang safih, jika mereka memenuhi dua syarat,

a)      Mereka menginjak usia baligh dengan tanda-tanda yang sudah dijelaskan di atas.

b)      Mereka sudah memeliki “Ar-Rusydu”

Pelajaran (6): Orang Kaya dan Miskin.

وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا

“Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa.”

1)      Ayat ini melarang para wali untuk memakan harta anak yatim secara berlebihan, padahal tidak ada hajat yang mendesak. Dan tergesa-gesa di dalam memakannya sebelum anak yatim tersebut mencapai usia baligh.

2)      Kata (اَنْ يَّكْبَرُوْا) artinya anak-anak yatim menginjak usia baligh dan pada dirinya terdapa Ar-Rusydu (kemampuan mengelola uang). Ar-Rusydu di sini diungkap dengan kata rata-rata orang yang sudah mencapai usia dewasa, dia sudah Ar-Rasyid (mampu mengelola uang).

3)      Firman-Nya

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ

“Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik”

a)      Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anhu bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wali anak yatim yang mengurusi keperluannya, jika dia orang yang butuh, maka boleh makan dari harta tersebut. (HR. Muslim).

b)      Sebagian ulama berpendapat bahwa sesuatu yang dimakan oleh wali dari harta anak yatim adalah upah. Maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara wali yang msikin dengan wali yang kaya. Mereka sama-sama boleh memakan dari harta anak yatim sedangkan jumlah upah tersebut disesuaikan dengan upah standar.

Dengan demikian, perintah bagi wali yang kaya untuk menahan diri dari memakan harta anak yatim sifatnya sunah dan bukan sesuatu yang wajib.

4)      Firman-Nya

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ

“Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu”

Kata (الففة) “Iffah” adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak layak dan tidak patut.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan kaya “Iffah” dalam beberapa ayat diantaranya,

a)      Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣٣

“Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” (QS. An-Nur [24]: 33)

b)      Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ اَنْ يَّضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجٰتٍۢ بِزِيْنَةٍۗ وَاَنْ يَّسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٦٠

“Para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak lagi berhasrat menikah, tidak ada dosa bagi mereka menanggalkan pakaian (luar), dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. Akan tetapi, memelihara kehormatan (tetap mengenakan pakaian luar) lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur [24]: 60)

5)      Firman-Nya,

 

وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ

 

“maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik”

a)      Di dalam hadits disebutkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu berkata “saya adalah seorang fakir yang tidak memiliki harta, sedangkan saya memelihara anak yatim yang memiliki harta. Bolehkah saya memakan hartanya” Beliau bersabda “Makanlah secukupnya dan jangan berlebihan” (HR. Abu Daud)

b)      Berkata Al-Hasan Al-Bashari “Memakan secara patut adalah sebatas yang bisa menghilangkan rasa lapar dan bisa menutupi auratnya”.

Pelajaran (7): Allah yang Mencukupi.

فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ

Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi.”

1)      Ayat ini berisi perintah kepada para wali untuk mencari saksi ketika melakukan penyerahan harta kepada pemilikinya (anak yatim). Ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan dan untuk melindungi munculnya berbagai tuduhan.

2)      Sebagian ulama mengatakan bahwa persaksian ini hukumnya sunah, karena wali adalah orang yang dipercaya (Al-Amin), maka pengakuannya terhadap harta anak yatim yang di bawah asuhan bisa diterima.

3)      Firman-Nya

وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

“cukuplah Allah sebagai pengawas”

a)      Maksudnya, cukuplah Allah sebagai pengawas dan saksi bagi para wali dalam pemeliharaan dan penyerahaan harta anak yatim, apakah di jujur atau tidak di dalamnya. Allah mengetahui semua itu.

b)      Ayat diatas mempunyai dua arti:

Pertama, kata (حَسِيْبًا) “Hasiba” artinya penghitung. Allah Maha Penghitung, yang akan menghitung amal saleh dan amal buruk manusia dengan sangat teleti, kemudian akan dibalasnya sesuai dengan amal yang dikerjakan selama hidup di dunia.

hal ini dinyatakan di dalam firman-Nya,

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حٰسِبِيْنَ ٤٧

“Kami akan meletakkan timbangan (amal) yang tepat pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun dirugikan walaupun sedikit. Sekalipun (amal itu) hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS.Al-Anbiya [21]: 47)

Allah juga sangat cepat penghitungan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا نَأْتِى الْاَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ اَطْرَافِهَاۗ وَاللّٰهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهٖۗ وَهُوَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ٤١

“Apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah (orang yang ingkar kepada Allah), lalu Kami kurangi (daerah-daerah) itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya) tanpa ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, Dia Mahacepat perhitungan-Nya.” (QS. Ar’Ra’ad [13]: 41).

Kedua, kata (حَسِيْبًا) artinya yang Maha Mencukupi, yaitu Allah mencukupi kebutuhan makhluknya. Jika berkenaan dengan ayat diatas, maka Allah lah yang mencukupi kebutuhan anak yatim ketika ditinggal mati oleh ayahnya. Dan Dia-lah yang mencukupi para wali yatim, ang miskin dan tidak punya harta, sehingga dibolehkan mengambil dari hartanya sesuai dengan kebutuhan pokoknya. Dan Dia-lah yang mencukupi para wali yatim yang kaya, sehingga diperintahkan untuk menahan diri dari mengambil hartanya, karena Allah sudah mencukupinya dengan kekayaan yang dilimpahkan kepadanya.

            Allah juga yang mencukupi kebutuhan seluruh makhluk-Nya di alam semesta ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ ٦

“Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS. Hud [11]: 6)

Ketika Allah menciptakan makhluk, maka Dialah yang menanggung segala keperluannya, dan memberikan petunjuk bagaimana mencari makan dan mempertahankan hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ رَبُّنَا الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى ٥٠

“Dia (Musa) menjawab, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah menganugerahkan kepada segala sesuatu bentuk penciptaannya (yang layak), kemudian memberinya petunjuk’ “ (QS. Taha [20]: 50)

Allah juga berfirman,

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَىۙ ١

الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوّٰىۖ ٢

وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدٰىۖ ٣

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS. Al-A’la [87]: 1-3).

***

Jakarta, 16 April 2022

 

KARYA TULIS