Karya Tulis
537 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 4: 7-10) Bab ke-204 Generasi yang Lemah


Generasi yang Lemah

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا ٧

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa [4]: 7)

Pelajaran (1): Hak Waris Wanita dan Anak Kecil.

1)      Pada ayat sebelumnya, Allah menetapkan hak-hak khusus bagi orang-orang yang lemah yaitu anak yatim, wanita dan orang safih. Maka pada ayat ini, Allah menjelaskan hak-hak mereka dalam masalah warisan. Karena pada zaman jahiliyah kaum wanita dan anak-anak tidak mendapatkan warisan. Harta warisan hanya diberikan kepada laki-laki yang dewasa saja.

2)      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia berakata “Dahulu orang-orang jahiliyah tidak memberi hak waris kepada anak perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil sebelum mencapai usia baligh. Lalu suatu ketika, ada seorang laki-laki dari Anshar yang bernama Aus bin Tsabit meninggal dunia dengan meninggalkan dua anak perempuan dan satu anak laki-laki yang masih kecil. Lalu dua putra pamannya Suwaid dan Arfajah yang merupakan ahli waris shabah datang dan mengambil semua harta pusaka milik Aus bin Tsabit. Lalu istri Aus bin Tasabit, Ummu Kajjah datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mencerikan hal tersebut. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata ‘Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan’, lalu turunlah ayat ini.”

3)      Ayat ini turun untuk menjelaskan secara global bahwa wanita, anak yatim laki-laki semuanya mendapatkan bagian dari warisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuannya, ayah dari ibu serta para kerabat mereka. Jadi tujuan utama ayat ini adalah menghapus secara tegas terhadap tradisi jahiliyah yang tidak memberikan hak waris bagi wanita dan anak-anak. Maka penjelasaan hak masing-masing dari wanita, anak-anak dan laki-laki masih bersifat global. Adapun rinciannya akan dijelaskan pada ayat 11-12.

4)      Kata (لِلرِّجَالِ) dalam ayat ini diartikan laki-laki secara umum, baik yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak. Begitu juga kata (لِلنِّسَاۤءِ) diartikan wanita secara umum, baik yang sudah dewasa, maupun yang masih anak-anak.

5)      Firman-Nya (مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ) ayat diatas menunjukan bahwa semua harta warisan baik yang banyak maupun yang sedikit, selama bisa dibagi, wajib dibagi kepada ahli waris. Jika tidak bisa dibagi seperti rumah, mobil, sepeda, maka harus dijual terlebih dahulu, kemudian hasilnya dibagi kepada seluruh ahli waris yang berhak.

Dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa barang-barang peninggalan si mayat, seperti baju, celana, cincin, jam tangan, bullpen, buku, potongan maka tetap harus dibagi kepada seluruh ahli waris.

6)      Firman-Nya

نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

“Bagian yang telah ditetapkan (diwajibkan)”

Kata (مَّفْرُوْضًا) artinya sesuatu yang difardhukan. Fardu lebih tinggi dari wajib, karena fardhu ditetapkan dengan dalil yang tegas, sedangkan wajib kadang ditetapkan dengan dalil yang tidak tegas atau bersifat dhanni. Seperti salat lima waktu disebut dengan salat fardhu.

Begitu juga ilmu warisan disebut faraidh, karena membahas jatah ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tegas. Maka dalam masalah faraidh tidak ada alasan untuk menolaknya.

Pelajaran (2): Menghadiri Pembagian Warisan

وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ٨

“Apabila (saat) pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, berilah mereka sebagian dari harta itudan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa [4]: 8)

1)      Ayat ini menjelaskan bahwa jika dalam majilis pembagian warisan datang tiga golongan,

a)      Kerabat, yaitu para kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat atau karena termasuk kerabat jauh yang memang tidak mendapat bagian warisan sama sekali.

b)      Anak-anak yatim yang bukan kerabat.

c)      Orang-orang miskin yang buka kerabat.

Maka hendaknya para ahli waris yang dewasa memberikan kepada mereka bagian dari harta warisan tersebut walau hanya sedikit. Dan ini sifatnya sunah dan tidak wajib.

Namun jika jumlah harta warisan tersebut sedikit atau bentuknya harta yang tidak bergerak seperti rumah, maka ahli waris hendaknya meminta maaf kepada yang hadir karena belum bisa memberikan sesuatu kepada mereka dan mengatakan kepada mereka dengan perkataan yang baik dan tidak menyinggung perasaan mereka.

2)      Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini ayat 8) telah dihapus dan diganti dengan ayat warisan yaitu ayat 11 dan 12. Tetapi pendapat yang lebih kuat bahwa ayat 8 tidak dihapus karena sifat anjuran, sehingga tidak bertentangan dengan ayat warisan 11 dan 12. Semuanya bisa diamalkan dalam satu waktu. Wallahu A’alam.

Pelajaran (3): Generasi yang Lemah.

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا ٩

“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”  (QS. An-Nisa [4]: 9).

1)      Terdapat beberapa pendapat tentang penafsiran ayat diatas’

Pendapat pertama, Ayat ini ditujukan kepada mereka yang berada di sekeliling orang yang sedang sakit menjelang kematiannya, dimana mereka sering menasehati orang yang sakit menjelang kematiannya, dimana mereka sering menasehati orang yang sakit tersebut agar memebrikan wasiat kepada orang-orang tertendur dari sebagian harta yang akan ditinggalkannya, yang kadang menyebabkan anak-anaknya sendiri terbengkalai, dan tidak mendapatkan harta darinya kecuali sedikit. Ayat ini memberikan nasehat kepada mereka dan agar membayangkan seandainya mereka mempunyai anak-anak yang lemah ekonominya atau masih kecil, dan dikhawatirkan nasib mereka di masa mendatang.

            Jika demikian keadaannya, apakah mereka akan menerima nasehat yang mereka berikan kepada orang-orang yasng sakit tersebut?. Makanya hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan meyatakan perkataan yang benar dan tepat.

 

Pendapat kedua, Ayat ini ditujukan kepada mereka yang sedang berada di sekeliling orang yang sakit menjelang kematiannya dan memberikan nasehat kepadanya supaya meninggalkan semua hartanya untuk anak-anaknya, dan melarangnya berwasiat untuk orang lain. Sehingga kerabatnya, anak-anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan tidak mendapatkan jatah dari wasiat.

            Ayat ini menasehatinya agar juga memikirkan orang lain, sebagaimana dia memikirkan masa depan anak-anaknya.

 

Pendapat ketiga, Ayat ini bekenaaan dengan seseorang laki-laki yang mau meninggal dunia, kemudian seseorang mendengar bahwa dia memberi wasiat yabg membahayakan ahli warisnya. Maka Allah memerintahkan orang yang mendengar itu untuk bertaqwa kepada Allah serta mebimbing dan mengarahkan orang yang sakit itu kepada kebenaran. Maka hendaknya dia menjaga ahli waris orang tersebut, sebagaimana dia melakukannya kepada ahli warisnya sendiri, apabila takut mereka akan disia-siakan.

 

            Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika beliau menjenguknya saat sakit. Beliau ditanyai “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memilik banyak harta dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak putri. Apakah aku boleh bersedekah dengan dua sepertigs hartaku?. Maka Rasulullh bersabda “Tidak” Ia bertanya “Setengah?” Beliau menjawab “Tidak” Dia bertanya lagi “Bagaimana kalau sepertiga?” Beliau pun menjawab,

(kurang hadits)

 

            Berkata Ibnu Abbas “Seandainya orang-orang mau mengurangi lagi dari sepertiga, tentunya lebih baik lagi karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan bahkan sepertiga itu banyak”

 

Pendapat keempat, Ayat ini ditujukan kepada para wali anak yatim agar memperlakukan anak yatim tersebut, seperti perlakuan yang mereka harapkan kepada anak-anak mereka yang lemah jika mereka meniggal dunia. Oleh karena itu allah melarang untuk memakan harta anak yatim.

2)      Ayat ini oleh sebagian ulama dijadikan dalil di dalam Pendidikan anak. Orang tua harus mendidik anak-anaknya supaya di masa mendatang tidak menjadi generasi yang lemah. Lemah di sini mencakup banyak hal,

a)      Lemah dalam aqidah.

Maka harus ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada mereka (QS. Al-Baqarah [2]: 132-133).

b)      Lemah dalam ilmu.

Maka harus didorong untuk menuntut ilmu sejak dini. Terutama ilmu agama (QS. Al-Mujadilah [22]: 11) (QS.Al-Anbiya [21]: 7).

c)      Lemah dalam fisik.

Maka harus didorong untuk berolahraga dan latihan fisik (QS. Al-Anfal [8]: 60) (QS.Al-Baqarah [2]: 247).

d)      Lemah dalam ekonomi.

Maka harus didorong untuk berniaga dan mencari rezeki yang halal (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10) (QS.Al-Mulk [67]: 15).

Termasuk memberikan harta warisan kepada anak-anak adalah bentuk penguatan ekonomi mereka supaya tidak menjadi beban di masyarakat.

 

Pelajaran (4): Memakan Harta Anak Yatim.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ ١٠

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa [4]: 10).

1)      Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. Dan ayat ini tidak untuk menakut-nakuti orang yang sedang mengurusi anak yatim, karena selama mereka belaku jujur dan benar serta mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya, termasuk kebolehan memakan dari harta mereka secara hal dan sesuai kebutuhan serta tidak berlebih-lebihan, maka itu tidak termasuk dalam ancaman ayat ini.

2)      Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari suku Ghathafan yang bernama Martsad bin Zaid. Dia menjadi wali anak yatim dari saudaranya, kemudian mengambil seluruh harta milik anak yatim tersebut. Maka turunlah ayat ini.

3)      Kata (يَأْكُلُوْنَ) artinya mereka memakan. Maksudnya memanfaatkan dan menggunakan kata anak yatim termaksud di dalamnya adalah memakannya. Disebut “memakan” di sini karena itulah yang sering dilakukan kebanyakan orang.

4)      Kata (بُطُوْنِهِمْ) artinya perut mereka. Penyebutan perut disini untuk menujukan bahwa perbuatan ini sangat buruk dan untuk menggambarkan bahwa api yang mereka makan telah memenuhi perut mereka.

5)      Yang dimakan adalah “api” maksudnya makanan tersebut akan menjadi api pada hari kiamat. Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّاۗ اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۗ اِنّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَفْعَلُوْنَ ٣٦

“Kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna menyangkut (perolehan) kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan.” (QS. Yunus [10]: 36).

Maksud ayat di atas, bukan memeras khamr, tetapi maksudnya adalah memeras anggur yang nantinya akan menjad khamr.

6)      Firman-Nya

وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ

“dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

Orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim akan masuk nereka jika dia seorang muslim, dia tidak kekal di dalamnya. Berbeda dengan orang kafir, mereka masuk nereka kekal di dalamnya.

7)      Di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-muubiqaat).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?” Beliau bersabda, “(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, (4) makan riba, (5) makan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, (7) qadzaf (menuduh wanita mukminah yang baik-baik dengan tuduhan zina).” (HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89)

***

Jakarta, Sabtu 16 April 2022

KARYA TULIS