Karya Tulis
569 Hits

Tafsir An-Najah (QS.4: 11-14) Bab ke- 205 Ayat-Ayat Waris


 

Ayat-Ayat Waris

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١١

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

(QS.An-Nisa [4]: 11)

Pelajaran (1): Pentingnya Ilmu Waris.

1)      Pada ayat sebelumnya (ayat 7), telah dijelaskan hak waris bagi laki-laki dan wanita secara global. Pada ayat ini, hak-hak tersebut dijelaskan secara lebih terperinci. Dan ini menunjukan kebolehan mengakhirkan penjelasan ketika ada suatu pertanyaan.

2)      Ayat 11,12, dan 176 dalam surah An-Nisa ini adalah dasar dalam ilmu faraidh. Ilmu faraidh sendiri termasuk ilmu yang sangat penting di dalam Islam. Ilmu ini menenmpat sepertiga dari seluruh ilmu agama yang ada. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash.

Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

قَالَ الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ

Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dalam sunannya no 2499)

 

 

Pelajaran (2): Bagian Anak Laki-Laki dan Perempuan.

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu,”

1)      Dalam ayat ini, pembicaraan masalah faraidh di mulai dengan penjelasaan tentang hak waris anak laki-laki dan perempuan atau sering dikenal dengan istilah al-furu’ (cabang). Hal ini menunjukan bahwa merekalah yang harus diutamakan dan diperhatikan dalam masalah warisan.

2)      Adapun yang dimaksud anak disini adalah anak kandung yang beragama Islam (Muslim). Oleh karena yang tidak termasuk dalam kategori anak kandung muslim adalah sebagai berikut,

  1. Anak kandung kafir, ini berdasarkan hadits,

لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ، ولا يَرِثُ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ

 “Orang muslim tidak bisa wewarisi orang kafir (begitu juga sebaliknya) orang kafir tidak bisa mewarisi  orang muslim,” (HR Bukhari dan Muslim).

 

  1. Anak angkat.
  2. Anak tiri.
  3. Anak kandung yang membunuh ayahnya sendiri, ini berdasarkan kaidah fikih


مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

“Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia akan diberi sanksi dengan tidak mendapatkan sesuatu yang dikejarnya.”

  1. Anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari anak perempuan

لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ

“Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”

a)      Maksud ayat diatas, apabila ada seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan atau dengan istilah lain, bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan.

Pembagian ini berdasarkan pertimbangan bahwa laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah, bekerja, membayar makan,serta bertanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan perempuan tidak mempunyai kewajiban menafkahi kepada siapapun, baik dia sebagai ibu, istri, anak maupun saudara.

Hidupnya selalu ditanggung oleh laki-laki. Ketika belum menikah, nafkahnya menjadi tanggung jawab ayahnya, dan ketika sudah menikah nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya.

b)      Jika yang tinggal hanya satu anak laki-laki, makai a mendapatkan seluruh harta warisan. Jika anak laki-laki lebih dari satu, maka warisan di bagi rata antara anak laki-laki tersebut.

c)      Namun jika yang ditinggal oleh si mayit hanya anak perempuan saja, dan tidak ada anak laki-laki, jika jumlah anak perepuan lebih dari dua, maka mereka mendapatkan dua pertiga dari harta waris. Jika jumlah anak perepuan hanya satu, maka dia mendapatkan setengah dari harta warisan.

d)      Para ulama berbeda pendapat ketika jumlah anak perempuan hanya dua,

Pertama, pendapat Ibnu Abbas mereka berdua mendapatkan setengah harta warisan, sebagaiamna bagian satu anak perepuan, dalilnya adalah zhahir ayat ini,

فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ

“ Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua”

Kedua, pendapat mayoritas ulama, mereka mendapatkan dua pertiga dati harta warisan sebagaimana bagian tiga anak perempuan. Dalilnya adalah mengqiyaskan kepada bagian dua saudara perempuan yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ

“ Adapun saudara laki-lakinya mewarisi (seluruh harta saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa [4]: 176)

Pendapat mayoritas ulama ini lebih kuat.

e)      Cucu laki-laki dari jalur laki-laki ke bawah jatahnya sama dengan jatah anak laki-laki. Tetapi yang lebih tinggi derajatnya meghalangi yang dibawahnya. Tetapi jika yang lebih tinggi adalah perempuan, seperti anak perempuan dengan cucu laki-laki dari jalu laki-laki, maka anak perempuan mendapatkan setengah, sedangkan sisanya milik cucu laki-laki tersebut.

f)       Jatah dua anak perempuan dua pertiga dari harta warisan terdapat dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, bahwa ia berkata,

“Istri Sa’ad bin Rabi’ datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu ia berkata: ‘wahai Rasulullah, ini ada dua putri Sa’ad bin Rabi’ yang gugur di medan perang Uhud bersamamu, paman kedua putri ini mengambil semua harta keduanya dan sama sekali tidak memberi keduanya bagian dari harta tersebut, padahal keduanya tidak dinikahi kecuali jika keduanya memiliki harta.’ Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, berkata ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara ini.’ Lalu turunlah ayat warisan (Yuushilkumullaahu fii aulaadikum). Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus seseorang kepada si paman keduanya untuk menyampaikan kepadanya ‘Berilah kedua putri Sa’ad dua pertiga, istri nya seperdelapam dan sisanya untukmu.’ Mereka berkata ‘ini adalah harta pusaka pertama yang dibagi pada masa Islam.’”

Pelajaran (3): Bagian Ayah dan Ibu.

وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَه

“Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,”

1)      Ayah dan ibu si mayit, masing-masing dari keduanya mendapatkan seperenam dari harta warisan. Ini berlaku jika si mayit mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan. Jumlahnya satu atau lebih.

Kedua orang tua tetap mendapatkan warisan, walaupun si mayit mempunyai anak adalah bentuk penghormatan dan kemulian kepada keduanya. Juga karena mereka berdualah yang menyebabkan lahirnya si mayit sampai dia mempunyai harta dan anak. Maka sangat layak kalau keduanya tetap mendapatkan jatah warisan.

2)      Jika anak si mayit adalah satu perempuan, maka ayah dan ibunya mendapatkan seperenam. Dan ayah selain mendapatkan seperenam, dia mendapatkan sisa harta juga (Ashabah).

3)      Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ

“Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga.”

Jika si mayit tidak memiliki anak sama sekali dan yang mewarisi hanya kedua orang tuanya, maka si ibu mendapatkan bagiian sepertiga, sedangkan ayahnya mendapatkan sisa harta yaitu dua pertiga atau sering disebut (ashabah)

4)      Firman-Nya

فَاِنْ كَانَ لَه اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ

 

“Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam.”

Jika si mayit memiliki saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara kandung, atau saudara seibu atau saudara seayah, maka ibu mendapakan bagian seperenam. (اِخْوَةٌ) artinya dua saudara atau leboh. Keberadaan mereka mengubah bagian ibu yang sepertiga menjadi seperenam.

5)      Yang tidak disebut dalam ayat ini adalah jika si mayit meninggalkan ayah, ibu dan suami atau ayah, ibu dan istri. Dua keadaan diatas oleh para ulama disebut dengan “mas’alah al-umariyah” atau “mas’alahu al-gharra.”

Keterangannya:

Pada masalah pertama (ayah, ibu dan suami). Maka suami mendapatkan setengah, ayah mendapatkan sisa (yashabah), sedang ibu mendapatkan sepertiga dari yang tersisa,

 

Suami

½

Ayah

Sisa

Ibu

1/3 dari yang tersisa, setelah diambil suami ½.

 

Adapun pada masalah kedua (ayah,ibu dan istri.) maka istri mendapatkan seperempat, ayah mendapatkan sisa, sedangkan ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta.

 

Istri

¼

Ayah

Sisa

Ibu

1/3 dari sisa harta.

 

Pelajaran (4): Wasiat dan Utang.


مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya.”

1)      Ayat ini menjelaskan bahwa ayat sebelum membagi warisan kepada ahli waris, utang-utang si mayit harus dibayar dulu dari hatya yang ditinggalkan. Begitu jika ada wasiat dari si mayit dan si mayit harus dipenuhi atau dilaksanakan terlebih dahulu.

2)      Dalam ayat ini penyebutan wasiat lebih didahulukan daripada penyebutan utang, padahal seharusnya utang dilunasi terlebih dahulu sebelum pelaksanaan wasiat. Hikmahnya bahwa wasiat harus menjadi perhatian juga. Selama ini masyarakat tidak terlalu memperhatikan soal wasiat. Adapun utang, masyarakat selama ini memaklumi bahwa setiap utang harus di bayar, sehingga kedudukannya sangat kuat. Tidak banyak pengaruh, jika disebut terlebih dahulu, atau disebutkan terakhir.

3)      Diantara ketentuan wasiat yang disebutkan para ulama, diantaranya adalah.

a)      Wasiat tidak boleh di tujukan kepada ahli waris, karena mereka sudah mendapatkan bagian warisan. Ini berdasarkan hadits,

 

لا وصية لوارث

“Tidak ada wasiat untuk ahli waris.”

 

b)      Wasiat tidak boleh sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan si mayit. Ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqash di atas.

 

الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

“Sepertiga, dan sepertiga banyak, lebih baik bagimu untuk meninggalkan ahli warismu daripada meninggalkan mereka sendirian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

c)      Wasiat ini baru bisa dilaksanakan setelah pemilik harta meninggal dunia.

 

Pelajaran (5) : Hubungan Orang Tua dan Anak.

 

اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.

1)      Dalam ayat ini Allah menekankan kemabli manfaat dari orang tua dan anak. Dan manusia tidak mengetahui secara pasti berapa besar manfaat orang tua untuk anak dan manfaat anak untuk orang tua.

2)      Kemudian para ulama menyebutkan secara global hubungan kemanfaatan antara anak dan orang tua di dunia dan akhirat, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah.

 

  1. Manfaat orang tua dan anak di dunia.

Adapun manfaat orang tua dan anak di dunia terlihat dalam masalah-masalah di bawah ini.

a)      Mereka saling mewarisi. Sebagaimana sudah dijelaskan dalam ayat ini bahwa jika si orang tua ( ayah atau ibu) meninggal dunia, maka anaknya pasti akan mendapatkan harta warisan darinya.

Begitu sebaliknya jika seorang anak meninggal dunia, maka orang taunya ( ayah atau ibu) pasti akan mendapatkan harta warisan darinya.

b)      Mereka akan saling membantu dan memberikan kasih sayangnya kepada yang lain. Kasih sayang ini kan bersifat lebih jelas ketika anak masih kecil dan ketika orang tua sudah mulai lanjut usia.

c)      Harta masing-masing dari anak dan orang tua akan di jaga karena kesalehan keduanya atau salah satunya. Dalilnya adalah firman Allah.

 

 

وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚفَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًاۗ ࣖ

“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 82)

Ayat di atas menyebutkan bahwa harta kedua anak yatim dipelihara oleh Allah karena kesalehan kedua orang tuanya. Begitu juga sebaliknya.

d)      Mereka saling mendoakan satu sama lainnya ketika di dunia. Orang tua selalu mendoakan anaknya. Begitu juga sebaliknya anak selalu mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya.

  1. Menfaat orang tua dan anak di akhirat.

Menfaat orang tua dan anak di akhirat terlihat pada ayat dan hadits di bawah ini.

a)      Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۚ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

(QS. At-Thur [52]: 21)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang tua yang saleh akan membawa anak-anaknya yang kurang kepada derajatnya di surga.

b)      Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,


إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia meninggal maka semua amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskna bahwa anak saleh bermanfaat bagi orang tua pada hari kiamat dengan istigfarnya yang ditujukan untuk orang tuanya.

c)      Tinggi derajatnya di akherat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda :

إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ "

 “Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat seorang hamba sholeh di syurga. Hamba tersebut bertanya kepada Allah : ” Wahai Rabb ! kenapa derajat saya jadi terangkat ? Allah berfirman : Itu, karena anakmu memohonkan ampun atas dosa-dosamu.” ( HR Ahmad dan Al-Baihaqi dari hadist Abu Hurairah,  Berkata al-Munawi : Berkata Adz-Dzahabi di dalam Al-Muhadzab : Sanadnya kuat. Berkata al-Haitsami : “ Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan AthThabari dengan sanad yang para perawinya adalah perawi shahih, kecuali ‘Ashim bin Bahdalah dia adalah hasan haditsnya).

  Berkata al-Munawi di dalam Faidhu Al-Qadir Syarh Al-Jami Ash-Shaghir (2/429):

          دل به على أن الاستغفار يحط الذنوب ويرفع الدرجات وعلى أنه يرفع درجة أصل المستغفر إلى ما لم يبلغها بعمله فما بالك بالعامل المستغفر ولو لم يكن في النكاح فضل إلا هذا لكفى ….وقيل إن الابن إذا كان أرفع درجة من أبيه في الجنة سأل أن يرفع أبوه إليه فيرفع وكذلك الأب إذا كان أرفع وذلك قوله سبحانه وتعالى (آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (

Dikatakan bahwa jika seorang anak lebih tinggi derajatnya dari bapaknya di syurga, maka anak itu akan meminta kepada Allah, agar bapaknya diangkat setara dengannya, dan demikian juga jika derajat bapaknya lebih tinggi dari anaknya. Itulah yang dimaksud di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:

آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا

 “Bapak-bapak dan anak-anak laki-laki kalian, tidaklah kalian mengetahui siapa diantara mereka yang lebih bermanfaat bagi kalian.” ( QS. An-Nisa [4] : 11 ).

Hadits di atas, secara tidak langsung memerintahkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan orang tuanya, memohonkan ampun atas dosa-dosanya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Pelajaran (6) : Bagian Suami dan Istri.

 

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa [4]: 12)

1)      Ayat di atas menjelaskan bahwa suami mendapatkan setengah dari harta peninggalan istri jika istri tidak mempunyai anak, baik darinya maupun dari suami yang lain. Baik laki-laki maupun perempuan, jumlah satu maupun lebih dari satu. Dalam hal ini tidak diisyaratkan suami harus sudah menggauli istri tersebut, tapi cukup adanya akad pernikahan.

2)      Firman-Nya,


فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ

 

 

“Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.”

Namun jika istri mempunyai anak baik darinya maupun dari suami lain, maka suaminya mendapat seperempat harta peninggalan istri.

3)      Firman-Nya,

مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

“setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya.”

Pembagian harta warisan tersebut dilakukan setelah ditunaikan wasiat dan di bayarkan utang.

4)      Firman-Nya,

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.”

Adapun seorang istri mendapatkan seperempat dari harta peninggalan suami jika suami tidak memilki anak. Namun jika suami memiliki anak baik darinya maupun dari istri yang lain, maka istrinya mendapat seperdelapan dari harta peninggalan suami.

Jika istri lebih dari satu, maka mereka para istri mendapatkan hal yang sama dari seperempat atau seperdelapan yang disebut di atas. Itu semua dilaksanakan setelah wasiat dilaksanakan dan utang dibayarkan.

Pelajaran (7) : Bagian Saudara Seibu.

وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ

“Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan”

1)      Para ulama berbeda pendapat tentang arti ‘Kalalah’ secara bahasa dan secara istilah.

Arti ‘Kalalah’ secara bahasa.

a)      Al-Kalalah ( كَلٰلَةً) adalah sesuatu yang mengelilingi. Al-Iklil ( الاكليل ) adalah sesuatu yang mengelilingi seluruh bagian kepala seperti mahkota.

b)      Adapun ‘Al-Kalalah’ secara istilah adalah seseorang yang meninggal dunia tetapi tidak mempunyai ahli waris dari orang tua maupun dari anak. Ahli warisnya hanya dari saudara dan kerabatnya saja. Disebut ‘kalalah’, karena saudara dan kerabatnya mengelilinginya. Padahal mereka bukan berasal darinya dan dia bukan berasal dari mereka.

c)      Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Al-Kalalah” secara bahsa adalah sesuatu yang lemah. Kemudian digunakan untuk menyebut kekerabatan yang jauh. Hal itu hubungan keluarga yang tidak melalui jalur kelahiran (hubungan orang tua dan anak) adalah ikatan keluarga yang lemah.

d)      Oleh karenanya mereka juga berpendapat bahwa ‘Al-Kalalah’ secara istilah adalah ahli waris selain anak dan kedua orang tua.

Pendapat pertama mengatakan ‘Al-Kalalah’ adalah orang yang memberikan warisan (mayit), maka pendapat kedua ini mengatakan bahwa ‘Al-Kalalah’ adalah orang yang mendapatkan warisan.

2)      Jika si mayit yang tidak mempunyai ahli waris dari orang tua dan anak tersebut mempunyai saudara laki-laki atau perempuan ( yaitu saudara seibu), maka bagian masing-masing dari saudra seibu itu adalah seperenam. Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka mendapat bagian sepertiga.

3)      Yang dimaksud saudara di dalam ayat ini (ayat 12) adalah saudara seibu. Ini berdasarkan dua dalil.

a)      Berdasarkan bacaan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash yang berbunyi,

من ام وَّلَهٗ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ

Dalam bacaan ini ada tambahan ( من ام ) yang artinya dari ibu.

b)      Bagian saudara dalam ayat 12 ini ada;ah seperenam atau sepertiga sama dengan bagian ibu.

4)      Tiga kelompok ahli waris.

Dari dua ayat ( 11 dan 12) dari surah An-Nisa di atas, disimpulkan bahwa ahli waris ada 3 kelompok.

a)      Ahli waris yang terhubung langsung dengan si mayit tanpa ada perantara, yaitu anak-anak dan kedua orang tua.

b)      Ahli waris yang memiliki hubungan dengan si mayit karena pernikahan, yaitu suami dan istri.

c)      Ahli waris yang terhubung dengan si mayit melalui perantara, yaitu saudara. Sebagian ulama menyebut mereka kalalah.

Pelajaran (8) : Motivasi dan Ancaman.

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ࣖ

“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa [4]: 13-14)

a)      Setelah menjelaskan rincian bagian-bagian yang mendapatkan warisan pada ayat 11 dan 12, pada ayat ini Allah memberikan dorongan, sekaligus ancaman. Dorongan untuk taat kepada aturan Allah yang telah ditetapkan dalam pembagian harta warisan.  Karena batasan dan aturan tersebut tujuannya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia itu sendiri. Maka barangsiapa mentaatinya dan melaksanakannya dalam pembagian harta warisan, Allah akan memasukkannya ke dalam surga.

b)      Selain itu Allah juga mengancam orang-orang yang bermaksiat dan tidak mau mentaati aturan ini, tapi justru membagi harta warisan sesuai dengan hawa nafsunya atau adat istiadat masyarakatnya, maka akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya dan akan mendapatkan siksa yang menghinakan.

c)      Ancaman bagi orang yang tidak mentaati aturan warisan dalam Islam adalah neraka, karena dia makan harta orang lain atau memberi kesempatan orang untuk memakan harta orang lain secara zalim (tanpa hak).

d)      Perlu diketahui ancaman ini mirip dengan ancaman bagi orang yang memakan harta anak yatim secara zalim yaitu neraka. Karena keduanya termasuk di dalam memakan harta orang lain tanpa hak.

e)      Sebenarnya dosa mereka sama dengan dosa pencuri, perampok, dan koruptor. Hanya saja dalam masalah warisan dan harta anak yatim, kejahatan yang dilakukan tidak kelihatan oleh kasat mata. Justru ini lebih rawan untuk disalahgunakan, maka ancamannya pun dijelaskan secara gamblang yaitu neraka.

 

****

Jakarta, Ahad 17 April 2022.

 

 

KARYA TULIS