Karya Tulis
505 Hits

Tafsir An-Najah (QS.4 :19-21) Bab ke-207 4 Larangan Terhadap Wanita.


 

4 Larangan Terhadap Wanita.

 

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

(QS. An-Nisa [4]: 19)

Ayat ini masih berbicara tentang hak-hak wanita dalam Islam. Melengkapi pembahasan pada ayat-ayat sebelumnya. Paling tidak terdapat tiga hak perempuan yang disebut oleh ayat ini keterangannya sebagai berikut.

Pertama : Larangan Mewarisi Diri Wanita.

لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ

“Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.”

1)      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallau Anhu, “ Dahulu, jika ada seorang laki-laki meninggal dunia, maka para wali laki-laki tersebut lebih berhak terhadap istri laki-laki tersebut. Jika ada sebagian dari mereka yang ingin menikahinya, maka ia menikahinya dan jika ingin maka mereka yang menikahkannya. Karena para wali tersebut memang lebih berhak terhadap si janda tersebut daripada para wali si janda itu sendiri. lalu turunlah ayat ini berkaitan dengan kebiasaan tersebut.

2)      Pada zaman jahiliyah di kota Madinah, jika ada seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka putra laki-lakinya dari istri lain datang menutup pakaiannya kepada istri ayahnya yang menjadi orang yang paling berhak terhadap diri si wanita tersebut. Dia bisa menikahinya tanpa mahar atau menikahkannya dengan orang lain.

3)      Disebutkan bahwa Qois bin Al-Aslat Al-Anshari meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang bernama Kubaisyah binti Ma’an. Lalu putra Qois yang bernama Hisa menikahinya, tetapi ia menelantarkannya. Lalu Kubaisyah mengadukannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Lalu turunlah ayat ini.

Kedua : Larangan Menghalanginya-halanginya untuk Menikah.

 

وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ

“dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.”

Ayat ini ditujukan kepada :

1)      Para suami.

2)      Para wali si mayit yang mewarisi istrinya.

3)      Para wali wanita secara umum.

Agar mereka jangan meghalangi wanita yang diceraikan, atau ditinggal mati suaminya untuk menikah lagi dengan suami lain dengan tujuan agar wanita tersebut menyerahkan mahar yang pernah diberikan oleh suaminya kepada kerabat atau wali yang sudah meninggal dunia.

Intinya bahwa ayat ini melarang laki-laki baik mantan suaminya, atau saudara suami, atau wali perempuan untuk mnekan dan mempersulit gerak wanita yang sudah menjanda ini dengan tujuan mendapatkan harta darinya.

Jika istri tersebut terbukti melakukan perbuatan zina atau sejenisnya. Maka si suaminya atau si walinya boleh meminta kembali mahar tersebut, sebagaimana di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)

 

Ketiga : Larangan Memperlakukannya Secara Tidak Patut.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ

“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.”

1)      Ayat ini memerintahkan ara suami untuk memerlakukan istrinya-istri mereka menuut cara yang patut. Menurut cara yang patut disini menggunaan kata (بِالْمَعْرُوْفِ) yang artinya “ Sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia atau masyarakat.” Yaitu memperlakukan istri sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat ketika memperlakukan istri-istri mereka.

2)      Ini menunjukkan bahwa ma’ruf ( yang patut) di suatu wilayah berbda dengan ma’ruf di wilayah lain. Umpama seorang suami menempatkan istrinya di rumah yang patut. Rumah yang patut di Mesir berbeda dengan rumah yang patut di Indonesia.

3)      Cara yang patut juga harus disesuaikan dengan kondisi suami. Suami yang kaya memperlakukan istrinya dengan kekayaannya tentunya berbeda dengan suami yang ekonominya lemah atau pas-pasan. Cara yang patut suami yang tinggal di kota tentu berbeda dengan cara yang patut dengan suami yang tinggal di desa. Dan begitu pun seterusnya.

4)      Dalam hal ini terdapat suatu kaidah fikih yang disebutkan oleh As-Suyuti di dalam buku “Al-Asybah wa An-Nadhair.”

 

كل ما لا ضابط له في الكتاب ولا في السنة ولا في اللغة فيرجع الى العروف

“Segala sesuatu yang tidak ditentukan kriterianya di dalam Al-Qur’an, dan tidak pula di dalam As-Sunnah, serta tidak pula di dalam bahasa Arab, maka kriterianya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat.”

 

Memperlakukan istri dengan cara yang patut harus disesuaikan dengan kaidah fikih di atas.

 

5)      Di balik kekurangannya terdapat kebaikan.

 

فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

Ayat ini menerangkan bagaimana memperlakukan istri secara patut. Yaitu, jika seorang suami mendapatkan kekuarangan pada istrinya, seperti kekurangan dalam akhlaknya atau kekuarangan dalam fisiknya. Hendaknya dia bersabar, karena dibalik kekuarangan tersebut biasanya terdapat kelebihan di bidang lain atau pada bagian fisik lainnya.

Di dalam hadits,

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعاً: «لاَ يَفْرَك مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَة إِنْ كَرِه مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر»، »

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, banwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah seorang suami Mukmin itu membenci seorang Mukminah. Sebab, jika ia tidak senang satu perangai wanita itu, tentunya ia menyukai perangai lainnya." (HR. Muslim)

 

Hal ini dikuatkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

 

Keempat : Larangan Mengambil Maharnya.

 

وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisa [4]: 20)

1)      Dalam surah Al-Baqarah ayat 229, disebutkan bahwa perceraian yang disebabkan oleh istri (gugatan cerai), seorang suami boleh mengambil mahar yang telah diberikan kepadanya, maka pada ayat ini dijelaskan bahwa cerai yang disebabkan oleh suami, seorang suami tidak boleh mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya.

2)      Di sisi lain, pada ayat sebelumnya, seorang suami diperintahkan untuk mempertahankan istri dan pernikahannya secara patut serta bersabar atas kekurangannya. Maka pada ayat ini terdapat bimbingan jika perceraian itu akhirnya terjadi juga.

3)      Di sisi lain juga, pada ayat 19 seorang suami dibolekan mengambil kembali mahar yang diberikan kepada istrinya, jika terbukti dia melakukan perzinaan, maka pada ayat ini suami dilarang untuk mengambil mahar tersebut kembali, ketika terjadi perceraian yang tidak disebabkan karena istri berbuat zinaa.

4)      Firman-Nya,

 

وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain.”

Ayat di ats menunjukkan kebolehan seorang laki-laki menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita lain.

5)      Firman-Nya,

وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا

 “sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak,”

Ayat di atas menunjukkan kebolehan seorang suami memberikan mahar yang banyak kepada istrinya. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada batas maksimal di dalam memberikan mahar. Kata (قِنْطَارً) artinya harta yang bnayak. Dahulu kata ini digunakan untuk menyebut harta yang disimpan dalam kulit sapi yang sudah di samak. Harta itu biasanya banyak. Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut setiap harta yang banyak.

Dahulu, Umar bin Al-Kahttab pernah melarang memberikan mahar yang banyak. Beliau berkata, “ Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mahar wainita. Karena seandainya mahar itu kemuliaan di dunia dan ketakwaan di sisi Allah, maka Rasulullah lebih utama di dalam melakukan hal itu daripada kalian. Padahal beliau tidak memberikan kepada istri-istrinya atau untuk anak-anak putrinya lebih dari 12 uqiyah.”

Tiba-tiba seorang wanita berdiri dan berkata, “ Wahai Umar, Allah membolehkannya sedang kau mengharamkannya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا

Kemudian Umar berkata, “ Benar apa yang dikatakan wanita ini, dan umar ternyata salah.”

Setelah itu Umar menarik kembali larangan memberikan mahar yang banyak.

6)      Firman-Nya,

فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ

“maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.”

Ayat di atas menunjukkan larangan suami mengambil mahar yang sudah diberikan kepada istrinya, ketika ia ingin menceraikannya.

7)      Firman-Nya,

اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”

a)      Suami ketika mau menceraikan istrinya seringkal menuduh istrinya dengan tuduhan-tuduhan ppalsu atau ancaman tertentu dengan maksud mau meminta kembali mahar yang telah diberikan kepadanya.

b)      Mengambil kembali mahar istri tanpa hak dianggap sebuah dosa yang nyata (وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا).

8)      Bercampur dan mengambil janji.

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 21)

a)      Ayat ini menunjukkan larangan untuk mengambil kembali mahar yang sudah dibayarkan kepada istri dengan alasan sudah terjadnya hubungan badan antara suami dan istri.

b)      Firman-Nya,

وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ

“padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri).”

 

Kata (الافضاء) pada ayat ini menurut mayritas para ulama diartikan jima’ (hubungan badan). Sedangkan menurut Abu Hanifah diartikan berkhalwat, dan tidur bersama, walau tidak harus berhubungan badan.

 

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan lainny bahwa, “Seorang suami jik sudah berduaan dengan istrinya, dan menutup pintu kamar, serta melihat aurat istrinya, maka wajib baginya membayar mahar.

 

Maksudnya walaupun melakukan hubungan badan suami sudah wajib membayar mahar dan tidak boleh diambilnya lagi.

 

c)      Firman-Nya,

 

وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

“Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”

 

Maksud “Mitsaqon Ghalizan” pada ayat ini adalah akad pernikahan.

 

Di dalam hadits Jabir bin Abdullah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

 

استَوْصوا بالنِّساءِ خيرًا فإنَّهنَّ عَوانٌ في أيديكُم أخذتموهنَّ بأمانةِ اللهِ واستحللْتُم فروجَهنَّ بكلمةِ اللهِ

“Nasihatilah yang baik-baik kepada para wanita, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah, dan menghalalkan kehormatan ( kemaluan) mereka dengan kalimat Allah.”

 

****

 

Jakarta, Senin 18 April 2022.

KARYA TULIS