Tafsir An-Najah (Qs. 4: 34-35) Bab 215 Laki-laki Pemimpin Keluarga
Laki-laki sebagai Pemimpin Keluarga
(Ayat 34-35)
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
(Qs. an-Nisa’: 34)
Pelajaran (1) Sebab Turunnya Ayat
Ayat ini turun berkenaan dengan Sa’ad bi Rabi salah satu pemimpin orang Anshar saat istrinya Habibah binti Zaid bin Kharijah melakukan nusyuz (membangkang) kepadanya. Kemudian Sa’ad menamparnya. Hal ini diadukan kepada Rasulullah ﷺ dan baliau meminta agar Sa’ad diqisash atas perbuatannya.
Ketika Habibah dan ayahnya hendak pergi ke rumah Sa’ad untuk melaksanakan qisash, Rasulullah bersabda, “Kembalilah kalian, Jibril telah datang kepadaku dan memberitahuku bahwa Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Pelajaran (2) Pemimpin Keluarga
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri).”
(1) Kata (قَوَّامُوْنَ) jamak dari (قَوَّامٌ) yang artinya menegakkan secara terus-menerus, sering diterjemahkan sebagai “pemimpin.” Laki-laki disebut “qawwam” bagi wanita, karena dialah yang secara terus menerus memimpin, membimbing, mengarahkan dan meluruskan wanita.
(2) Wanita perlu diluruskan tabi’atnya bengkok dalam artian dirinya didominasi oleh perasaan daripada akal atau logika. Maka perlu pendamping yang selalu membimbingnya. Hal ini dijelaskan Rasulullah ﷺ di dalam sabdanya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah bersabda: "Berwasiatlah (dalam kebaikan) pada wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya. Jika kamu coba meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka dia bisa patah. Namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasihatilah para wanita". (HR. al-Bukhari dan Muslim)
(3) Hadits di atas menunjukkan bahwa perempuan atau wanita tidak boleh diperlakukan secara kasar. Laki-laki sebagai pemimpin harus membimbingnya secara pelan-pelan dan terus menerus.
Pelajaran (3) Dua Bekal Pemimpin
بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
“Dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Dua hal yang menyebabkan laki-laki dipilih menjadi pemimpin keluarga (wanita).
(1) Laki-laki mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh wanita. Di antara kelebihan laki-laki adalah:
(a) Kekuatan fisik.
Laki-laki biasa mempunyai kekuatan fisik yang lebih dibanding kekuatan fisik perempuan. Kekuatan fisik ini sangat diperlukan oleh laki-laki sebagai pemimpin keluarga untuk melindungi istri dan anak-anaknya yang lemah dari marabahaya.
(b) Kekuatan akal.
Untuk menghadapi problematika hidup yang lebih luas diperlukan kekuatan akal untuk menyelesaikannya. Tidak cukup hanya mengandalkan emosional sebagaimana yang ada pada kebanyakan wanita. Akal disini tidak identik dengan kepintaran, tetapi akal disini lebih cenderung pada penggunaan nalar dan logika.
Kalau soal kepintaran dan kecerdasan, barangkali banyak wanita yang lebih cerdas daripada laki-laki. Salah satu buktinya berkali-kali juara olimpiade matematika dimenangkan oleh wanita. Juara kelas di sekolah-sekolah banyak didominasi oleh pelajar wanita.
(c) Kekuatan ilmu.
Laki-laki biasanya mempunyai keunggulan ilmu daripada wanita, terutama dalam ilmu agama. Hal itu karena wanita banyak disibukkan dengan hal-hal kecil dan sepele. Begitu juga wanita banyak sibuk di dapur mengurusi anak dan rumah tangga, sehingga waktu untuk menuntut ilmu agama sangat kurang. Di sinlah rahasia, mengapa para ulama sejak zaman dahulu hingga saat ini, mayoritas dari kalangan laki-laki. Bahkan yang menguasai ilmu yang berhubungan dengan wanita, seperti: darah haid, nifas, istihadzah, kehamilan dan sejenisnya justru lebih banyak laki-laki. Ilmu inilah yang menjadi bekal untuk memimpin keluarga.
(d) Kekuatan mental.
Laki-laki lebih cenderung melakukan kegiatan yang menantang, seperti olahraga, berburu dan berpetualang. Mental laki-laki biasanya lebih kuat dalam menghadapi bahaya dan tantangan dibandingkan mental wanita.
(2) Laki-laki berkewajiban memberkan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Kekuatan finansial inilah yang menjadikan laki-laki berhak menjadi pemmpin daam keluarga. Dia bertanggung jawab terhadap nasib dan masa depan anak-anaknya. Oleh karenanya Allah membekali laki-laki dnegan berbagai kekuatan, seperti kekuatan fisik, akal, ilmu dan kekuatan mental agar dia mampu mencari nafkah sebagik-baiknya.
Jika seorang laki laki tidak bisa memenuhi kebutuhan materi secara penuh kepada istri dan keluarga kecuali harus meminta bantuan dari istri, maka “Qawamnya” (kepemimpiannya) menjadi lemah.
Kedua faktor inilah yang menyebabkan laki-laki menjadi pemimpin terhadap wanita dan dianjurkan secara umum lebih tinggi daripada wanita. Allah ﷻ berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ
“Dan bagi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.” (Qs. al-Baqarah: 228)
Pelajaran (4) Dua Sifat Wanita Salihah
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
“Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
Ayat di atas menyebutkan dua sifat wanita ( istri) salihah, yaitu:
(1) Taat (قٰنِتٰتٌ)
(a) Salah satu sifat istri yang salihah adalah taat. Yaitu taat kepada Allah, Rasul-Nya, serta taat kepada suaminya dalam hal-hal yang baik dan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Jika suami memeritahkan Istri untuk bermaksiat maka istri tidak boleh taat kepada suaminya. Di dalam hadits disebutkan.
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah (Sang Pencipta).”
(b) Seorang istri juga wajib taat kepada suami dalam hal-hal yang tidak diatur rinciannya di dalam al-Qu’an dan Sunnah, termasuk dalam masalah-masalah teknis dan kebijakan-kebijakan dalam mengatur rumah tangga, selama hal itu diniatkan untuk kemaslahatan bersama. Bahkan salah satu pakar psikologi menyimpulkan bahwa wanita lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain.
(c) Termasuk di dalam ketaatan istri kepada suami adalah taat ketika diajak ke tempat tidurnya, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
عن أبي هريرة -رضي الله عنه-، قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عليها لَعَنَتْهَا الملائكة حتى تصبح
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolak sehingga suami melalui malam itu dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat istrinya itu hingga pagi.” (HR. Muslim)
(d) Pahala besar bagi wanita yang mau taat kepada suaminya, sebagaimana di dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إذا صلَّت المرأةُ خمسَها وصامت شهرَها وحفِظت فرجَها وأطاعت زوجَها قيل لها ادخُلي الجنَّةَ من أيِّ أبوابِ الجنَّةِ شئتِ
“Jika seorang wanita shalat lima waktu, puasa di bulannya (bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, dia akan diberitahu, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan’.” (HR. Ahmad).
(2) Menjaga diri (حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ)
Ciri kedua wanita salihah adalah menjaga dirinya dan menjaga harta suami, ketika suaminya sedang tidak berada di rumah. Maksud menjaga di sini mencakup empat hal, yaitu:
(a) Tidak keluyuran, yaitu tidak keluar rumah baik di siang hari maupun malam hari tanpa ada keperluan dan tanpa seizin suami.
(b) Tidak pacaran, yaitu tidak menjalin cinta kasih dengan lelaki lain.
(c) Tidak boncengan, yaitu tidak berduaan dengan lelaki lain yang bukan mahramnya, baik ketika sedang duduk maupun mengadakan perjalanan.
(d) Tidak boros, yaitu tidak membelanjakan harta suami untuk sesuatu yang tidak penting.
Termasuk dalam hal ini adalah tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah suaminya kecuali atas izinnya. Di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
خيرُ النِّساءِ امرأةٌ إذا نظرتَ إليها سرَّتكَ ، وإذا أمرتَها أطاعتْكَ ، وإذا غِبتَ عنها حفِظتْكَ في نفسِها ومالِكَ . ثمَّ قرأَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ هذِهِ الآيةَ الرِّجالُ قوَّامونَ علَى النِّساءِ إلى آخرِها
“Sebaik-baik istri adalah apabila kamu melihatnya, dia menyenangkanmu, jika kamu perintah dia mentaatinya, jika kamu pergi, dia akan menjaga hartamu, dan kehormatan dirinya. Kemudian Rasulullah membaca ayat ini.” (HR. al-Baihaqi)
Di dalam hadits Abu Hurairah yang lain, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
خيرُ نساءٍ رَكِبْنَ الإبِلَ نساءُ قريشٍ أرْعاهُ على زوجٍ في ذاتِ يَدِه وأحناهُ علَى ولَدٍ في صِغَرِهِ
“Sebaik-baik wanita yang menunggangi unta adalah wanita Quraisy yang mengasuhnya di atas suami yang ada di tangannya, dan mereka mengasuh seorang anak laki-laki.” (HR. al-Bukhari)
Pelajaran (5) Menghadapi Wanita yang Nusyuz
وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.”
(1) Kata (نُشُوْزَهُنّ) artinya merasa “lebih tinggi” berasal dari kata (النشز) artinya segala sesuatu lebih tinggi (nampak) dari permukaan bumi. Ini seperti firman Allah ﷻ,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Mujadilah: 11)
Berati wanita yangmelakukan nusyuz adalah wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, dengan meninggalkan perintahnya, berpaling darinya serta membencinya. Sebagian ulama menyatakan bahwa nusyuz adalah kebencian suami istri terhadap pasangannya. Berkata Ibnu Faris, “Nusyuz dari istri berarti tidak mau taat kepada suaminya. Sedang nusyuz dari suami berarti memukulnya atau mencuekinya, dan tidak memperhatikannya. Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ,
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Qs. an-Nisa’: 128)
(2) Tiga langkah untuk mengatasi istri yang nusyuz. Dalam ayat ini disebutkan tiga langkah untuk mengatasi istri yang melakukan nusyuz terhadap suaminya. Tiga langkah tersebut adalah:
(a) Menasehatinya (فَعِظُوْهُنَّ)
Langkah pertama adalah menasehati istri dan mengingatkan kewajibannya untuk taat kepada suami dan menakut-nakutinya dengan siksa Allah bagi yang membangkang kepada suaminya. Mengingatkannya juga terhadap hak-hak suami yang begitu besar terhadap istri. Di antaranya dengan menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لو كنتُ أمِرًا أحدًا أن يسجدَ لأحدٍ ، لأمرتُ المرأةَ أن تسجدَ لزوجِها
“Jika saya menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, Aku akan memerintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi)
(b) Pisah ranjang (وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ)
Jika langkah pertama dengan menasehati istri, belum berhasil menyadarkannya. Maka langkah selanjutnya adalah memisahkan ranjang darinya, yaitu tidak tidur bersamanya, mendiamknnya, serta tidak mengajaknya berbicara.
Para ulama membatasi pisah ranjang ini maksimal satu bulan lamanya. Hal ini berdasarkan apa yang dilakukan Rasulullah terhadap Aisyah dan Hafshah yang membuat susah Rasulullah sebagaimana ynag disebut di dalam surah at-Tahrim.
(c) Memukulnya (وَاضْرِبُوْهُنَّ)
Jika langkah kedua, yaitu pisah ranjang juga belum mampu menyadarkan istri dari kesalahannya, maka langkah ketiga yang harus diambil oleh suaminya adalah memukulnya. Maksud memukul disini adalah memukul pada bagian yang tidk membahayakan dengan alat yang tidak keras. Seperti memukul tangannya dengan siwak, atau dengan bantal guling atau dengan kain. Pukulannya harus ringan dan tidak menyakitkan serta tidak meninggalkan bekas.
Tujuannya adalah mengingatkan istri agar kembali kepada jalan yang benar. bukan bertujuan menyakitinya apalagi melukainya. Oleh karenanya suami dilarang memukul dengan tongkat, atau cambuk atau benda-benda keras lainnya. Dan tidak boleh memukul di tempat-tempat yang membahayakan dari bagian tubuh istri, seperti: wajah dan dada.
Meskipun dibolehkan memukul, para ulama menganjurkan untuk tidak menggunakan cara ini.
(3) Tidak berbuat zhalim.
فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
(a) Ayat ini memerintahkan suami agar menerima taubat istri dan mamaafkannya jika dia mulai mau taat kembali kepada suami. Dengan demikian seorang suami tidak boleh lagi mencari-cari alasan untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya atau bertindak sewenang-wenang kepadanya setelah dia bertaubat.
(b) Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar yang telah menetapkan hukum-hukum-Nya dengan adil dan bijak. Oleh karena itu seorang suami tidak boleh mengandalkan kekuatannya dan kekuasaannya untuk berbuat semena-mena terhadap istri.
Pelajaran (6) Mengangkat Hakim
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” (Qs. an-Nisa’: 35)
(1) Pada ayat selanjutnya mengisyaratkan langkah keempat untuk menyelesaikan perselisihan suami istri. Langkah ini ditempuh, setelah tiga langkah yang disebutkan pada ayat sebelumnya tidak berhasil.
Mengangkat hakim di sini, maksudnya adalah mengangkat satu hakim dari pihak suami dan satu hakim dari pihak istri. Kedua hakim tersebut dianjurkan dari kerabat kedua suami dan istri, tetapi dibolehkan juga dari orang di luar keluarga.
(2) Adapun tugas utama kedua hakim tersebut adalah untuk meneliti akar masalah yang menyebabkan sami istri berselisih, kemudian mencari solusi yang terbaik sehingga keduanya bisa kembali akur, damai dan humoris.
(3) Kedua hakim dari kerabat suami istri tersebut tidak berhak memisahkan atau memutuskan cerai untuk kedua mempelai tersebut, kecuali mereka mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak.
(4) Firman-Nya,
اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ
“Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.”
Maksud dari kedua belah pihak pada ayat di atas adalah dua hakim. Yaitu jika kedua hakim trsebut mempunyai niat yang tulus untuk mengadakan perbaikan, maka Allah akan memberikan taufik kepada keduanya. Sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan bisa mendamaikan kedua suami istri tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dua pihak pada ayat di atas adalah: suami istri kalau mereka berdua mempunyai niat tulus untuk mengadakan perbaikan, maka, Allah akan memberikan taufik dan kemudahan untuk bisa rukun kembali.
***
Jakarta, Ahad, 24 April 2022
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »