Tafsir An-Najah (Qs. 4: 43) Bab 218 Syariat Tayammum
Syariat Tayammum
(Ayat 43)
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْ
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
(Qs. an-Nisa’: 43)
Pelajaran (1) Shalat dalam Keadaan Mabuk
لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى
“Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk.”
(1) Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Hakim yang bersumber dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu mengundang makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamar (arak, minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru: “Qul ya ayyuhal kafirun, laa a’budu maa ta’budun, wanahnu na’budu maa ta’budun”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an-Nisa’: 43) sebagai larangan shalat ketika sedang waktu mabuk.
(2) Larangan ini langsung dipatuhi para sahabat, mereka tidak meminum khamar, kecuali setelah shalat Isya’. Suatu ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamar ini dengan keterangan yang memuaskan,” maka turunlah firman Allah,
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
(3) Larangan melakukan shalat dalam keadaan mabuk adalah tahapan ketiga dari tahapan pengharaman khamar. Perlu dijelaskan disini bahwa pengharaman khamar melalui empat, sebagai berikut:
(a) Tahapan pertama: Penjelasan bahwa khamar bisa dibuat dari buah kurma dan anggur, dari keduanya terdapat rezeki yang baik, sebagaimana di dalam firman Allah ﷻ,
وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَالْاَعْنَابِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.” (Qs. an-Nahl: 67)
(b) Tahapan kedua: Penjelasan bahwa di dalam khamar terdapat manfaat dan dosa tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana di dalam firman-Nya,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan’.” (Qs. al-Baqarah: 219)
(c) Tahapan ketiga: Larangan untuk mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk, sebagaimana dalam firman-Nya,
لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى
“Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk.” (Qs. an-Nisa’: 43)
(d) Tahapan keempat: Larangan minum khamar secara tegas, sebagaimana dalam firman-Nya,
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
Pelajaran (2) Orang Junub Masuk Masjid
وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ
“Dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).”
(1) Pendapat pertama, mengatakan maksud ayat di atas adalah larangan orang junub melakukan shalat sampai dia mandi janabah, kecuali dalam perjalanan. Menurut pendapat ini maksud “shalat” pada ayat ini,
لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى
“Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk.”
adalah shalat hakiki, bukan majaz. Sehingga dalam ayat ini, terdapat dua larangan, yaitu:
(a) Larangan shalat dalam keadaan mabuk sampai mengetahui apa yang dibaca.
(b) Larangan shalat dalam keadaan junub sampai mandi janabah, kecuali dalam perjalanan.
Jadi makna (عَابِرِيْ سَبِيْلٍ) di sini adalah dalam perjalanan.
(2) Pendapat kedua, mengatakan maksud ayat di atas adalah larangan mendekati “tempat shalat”, yaitu masjid dalam keadaan junub sampai mandi janabah, kecuali orang yang junub hanya melewati masjid tetapi tidak duduk di dalamnya. Menurut pendapat ini, maksud “shalat” pada ayat ini adalah “tempat shalat”. Mereka mengatakan bahwa tidak ada orang melewati shalat, yang ada adalah orang melewati tempat shalat, yaitu masjid. Jadi maka (عَابِرِيْ سَبِيْلٍ) di sini adalah melewati masjid.
Pelajaran (3) Empat Golongan yang Bertayammum
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا
“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan debu.”
(1) Sebab turunnya ayat tayammum: diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid, bahwa turunnya ayat ini (an-Nisa’: 43) berkenaan dengan seorang kaum Anshar yang sakit dan tidak kuat berdiri untuk berwudhu. Dia tidak mempunyai khadam (pembantu) yang menolongnya. Hal itu diterangkan kepada Rasulullah ﷺ. Turunnya ayat tersebut di atas (an-Nisa’: 43) sebagai tuntunan tayammum bagi yang sakit dan tidak mampu berwudhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibrahim an-Nakh’i, bahwa beberapa sahabat Rasul terluka parah hingga infeksi, dan diuji oleh Allah dengan junub (karena mimpi). Mereka mengadu kepada Rasulullah ﷺ. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an-Nisa’: 43) sebagai kelonggaran bagi yang sakit parah dan wajib junub, untuk bertayammum saja.
(2) Ayat ini menyebutkan empat sebab dibolehkannya tayammum, yaitu: sakit, dalam perjalanan, hadats dan memegang peremuan (menggauli perempuan).
(a) Pertama: sakit (مَّرْضٰى)
Orang yang sakit boleh bertayammum jika tidak mendapatkan air, atau ketika mendapatkan air tetapi khawatir jika bersuci dengan air, sakitnya akan bertambah parah. Dalilnya adalah hadist ‘Amru bin al-‘Ash yang bertayammum ketika bermimpi basah (junub karena jika mandi janabah takut akan mnyebabkan bahaya baginya).
(b) Kedua: safar (عَلٰى سَفَرٍ)
Dibolehkan bagi musafir untuk bertayammum jika tidak mendapatkan air, baik safarinya jarak dekat maupun jarak jauh. Orang yang mukim juga diperbolehkan tayammum jika tidak mendapatkan air, atau mendapatkan air tetapi takut jika terkena air akan sakit.
Adapun ayat ini disebutkan bahwa syarat tayammum adalah sakit dan musafir, itu karena pada umumnya orang yang sakit dan musafir tidak mendaatkan air atau kesulitan mendapatkan air.
(c) Ketiga: hadast (جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ)
Menurut ayat ini bahwa hadats termasuk sebab dibolehkannya seseorang utnuk bertayammum. Dengan demikian tayammum juga dibolehkan bagi yang mukim jika dia berhadats kemudian tidak mendapatkan air. Kata (الْغَاۤىِٕطِ) artinya “tempat yang rendah.” Dahulu orang Arab jika ingin buang air kecil atau besar, mereka mencari tempat yang rendah supaya tidak kelihatan oleh orang lain. Kemudian kata ini digunakan untuk menyebut orang buang air kecil atau besar.
(d) Keempat: menyentuh wanita (لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ)
Yang dimaksud menyentuh wanita di sini adalah melakukan hubungan intim dengan wanita. Sebagian ulama mengartikan dengan menyentuh kulit wanita yang bukan mahram secara langsung dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Jika seseorang menggauli istrinya, maka wajib baginya mandi janabah. Jika tidak mendapatkan air, maka boleh diganti dengan tayammum.
Pelajaran (4) Debu yang Suci
فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ
“Mala bertayammumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.”
(1) Kata (فَتَيَمَّمُوْا) “Tayammum” secara bahasa artinya sengaja atau menghendaki. Adapun secara istilah adalah sengaja mencari debu untuk diusapkan ke wajah dan tangan sebagai pengganti wudhu atau mandi besar.
(2) Kata (صَعِيْدًا) artinya hamparan permukaan bumi baik di atasnya terdapat debu atau tidak. Sebagian ulama mengartikan hamparan permukaan bumi yang terdapat debu di atasnya, yaitu debu yang menjadi tempat tumbuhnya tanaman. Ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهٗ بِاِذْنِ رَبِّهٖۚ وَالَّذِيْ خَبُثَ لَا يَخْرُجُ اِلَّا نَكِدًاۗ كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّشْكُرُوْنَ
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Qs. al-A’raf: 58)
Kata (at-Thayyib) pada ayat ini menunjukkan tanah yang menjadi tempat tumbuhnya tanaman.
(3) Kata (طَيِّبًا) artinya suci atau halal. Oleh karenanya sebagian ulama melarang bertayammum dengan tanah hasil curian.
(4) Cara bertayammum adalah dengan mengusapkan debu ke wajah dan tangan sebagaimana yang tersebut di dalam ayat. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang maksud dengan tangan pada firman-Nya (اَيْدِيْكُمْ), sebagai berikut:
(a) Sebagian ulama berpendapat bahwa ketika bertayammum harus mengusap tangan hingga siku tangan sebagaimana ketika berwudhu. Dalilnya adalah hadits Jabir dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ajma’in.
(b) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ketika bertayammum harus mengusap tangan sampai kedua pergelangan tangan saja. Dalilnya adalah hadits Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu.
(5) Allah Maha Maaf dan Maha Pengampun.
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
“Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
Kata (عَفُوًّا) artinya Allah menghapus kesalahan hamba-Nya sampai tidak ada bekasnya. Sedangkan (غَفُوْرًا) artinya Allah menutupi kesalahan hamba-Nya, sehingga tidak diberikan sanksi atasnya.
Berarti (al-‘Afwu) lebih tinggi daripada (al-Ghufran). Oleh karenanya doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada Lailatul Qadr adalah,
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
(6) Hikmah Tayammum.
Beberapa hikmah di balik syariat tayammum, antara lain:
(a) Menunjukkan tinggi dan mulianya kedudukan shalat, karena salah satu syaratnya adalah bersuci.
(b) Ketika tidak ada air, diperintahkan untuk meletakkan kedua telapak tangan di bumi, yang merupakan tempat keluarnya air, sebagai bentuk upaya mencari air.
(c) Tanah adalah salah satu sarana yang digunakan manusia untuk membersihkan barang-barang mereka. Juga untuk menutupi kotoran-kotoran yang mempunyai bau yang tidak sedap.
(d) Dari tanah manusia diciptakan dan ketika mati manusia akan dikembalikan ke tanah, serta darinya manusia akan dibangkitkan kembali. Allah ﷻ berfirman.
مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى
“Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.” (Qs. Thaha: 55)
***
Jakarta, Selasa, 26 April 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »