Karya Tulis
702 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 4: 71-73) Bab 227 Bersikap Waspada


Bersikap Waspada

(Ayat 71-73)

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا خُذُوْا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوْا ثُبَاتٍ اَوِ انْفِرُوْا جَمِيْعًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok, atau majulah bersama-sama (serentak).”

(Qs. an-Nisa’: 71)

 

Pelajaran (1) Tidak Bertentangan dengan Tawakkal

(1) Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan pahala besar yang akan mereka dapat. Pada ayat ini Allah memerintahkan mereka (orang-orang taat) untuk menyiapkan diri untuk berjihad menegakkan kalimat Allah.

(2) Firman-Nya,

خُذُوْا حِذْرَكُمْ

“Ambil-lah kewaspadaan (Bersiapsiagalah kamu).”

Kata “ambil-lah” mengesankan bahwa sesuatu itu tidak di tangan seseorang atau terletak jauh dari seseorang, sehingga diperintahkan untuk mengambilnya. Artinya kadang-kadang seseorang itu bisa lengah, lupa, tidak hati-hati, tidak waspada, maka diperintahkan untuk mengambil kewaspadaan, mengambil kehati-hatian, dan mengambil persiapan.

(3) Bersikap waspada dan hati-hati tidak bertentangan dengan tawakkal kepada Allah. Justru salah satu bentuk tawakkal adalah bersikap hati-hati dan waspada. Allah ﷻ berfirman,

وَهُزِّيْٓ اِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ۖ

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Qs. Maryam: 25)

Ayat di atas memerintahkan Maryam yang waktu itu masih dalam keadaan lemah karena melahirkan anak, untuk menggoyangkan pangkal pohon kurma agar buah kurmanya jatuh dan bisa dimakan padahal beliau masih dalam keadaan lemah dan tidak mempunyai tenaga yang cukup. Di sini Allah ingin mengajarkan bahwa tawakkal bukan berarti diam berpangku tangan, tidak berusaha sedikitpun, tetapi tawakkal adalah berupaya sesuai dengan kemampuan. Adapun hasilnya diserahkan kepada Allah.

(4) Oleh karenanya, firman Allah dalam (Qs. an-Nisa’: 71) di atas dikuatkan penjelasannya oleh firman Allah di dala surah al-Anfal ayat 60 untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi musuh sesuai dengan kemampuan masing-masing, Allah ﷻ berfirman,

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (Qs. al-Anfal: 60)

(5) Ayat di atas tidak menunjukkan bahwa kehati-hatian atau kewaspadaan akan bisa mengubah takdir. Atau dengan kata lain tidak menunjukkan bahwa orang yang berhati-hati pasti akan selamat. Tidak, ayat tersebut tidak menunjukkan hak itu, karena kemenangan dalam perang atau keselamatan dari bahaya yang menentukan Allah.

Di dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

لا يغنى حذر من قدر

“Kewaspadaan tidak akan mengubah takdir.”

(6) Kalau begitu apa tujuan mempersiapkan diri dan mengambil kewaspadaan? Tujuannya adalah untuk melaksanakan perintah Allah yang menyuruh kita untuk selalu waspada dan agar hati kita tenang serta manjauhi larangan Allah, agar kita tidak menceburkan diri dalam kebinasaan, sebagaimana di dalam firman-Nya,

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Baqarah: 195)

 

Pelajaran (2) Secara Kelompok atau Serentak

فَانْفِرُوْا ثُبَاتٍ اَوِ انْفِرُوْا جَمِيْعًا

“Dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok, atau majulah bersama-sama (serentak).”

(1) Kata (فَانْفِرُوْا) dari asal kata (نفر- ينفر) yang artinya bangkit dan berlari. Maksudnya di sini adalah bangkitlah dan bersegeralah untuk berperang. Sebagian ulama mengatakan bahwa makna aslinya adalah menjauhi. Allah ﷻ berfirman,

وَّجَعَلْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اَكِنَّةً اَنْ يَّفْقَهُوْهُ وَفِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرًاۗ وَاِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِى الْقُرْاٰنِ وَحْدَهٗ وَلَّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا

“Dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci).” (Qs. al-Isra’: 46)

(2) Kata (ثُبَاتٍ) jamak dari bentuk tunggal (ثبة) yang artinya sekelompok manusia. Maksudnya adalah pergi berperang dalam kelompok kecil-kecil.

(3) Kata (جَمِيْعًا) artinya secara serentak dan pergi berperang dengan pasukan besar yang dipimpin oleh Rasulullah ﷺ.

Berperang secara kelompok atau secara serentak tergantung pada kondisi medan perang yang dihadapi.

Pelajaran (3) Tiga Sifat Munafik dalam Perang

وَاِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَّيُبَطِّئَنَّۚ فَاِنْ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالَ قَدْ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيَّ اِذْ لَمْ اَكُنْ مَّعَهُمْ شَهِيْدًا

“Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, ‘Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka’.” (Qs. an-Nisa’: 72)

(1) Ayat ini dan sesudahnya menjelaskan sifat-sifat orang-orang munafik ketika diajak perang.

Pertama: Enggan berjihad (لَّيُبَطِّئَنَّۚ).

Kata (لَّيُبَطِّئَنَّ) mempunyai dua makna, yaitu:

(a) Enggan ikut berjihad dan berlambat-lambat jika diajak untuk membela agama Islam.

(b) Melemahkan semangat jihad dan mempengaruhi orang lain supaya tidak ikut berjihad.

Hal ini terbukti ketika terjadi Perang Uhud, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul mampu mempengaruhi 300 orang sehingga mereka pulang ke Madinah sebelum terjadi perang.

Kedua: Senang dengan kekalahan kaum muslimin.

فَاِنْ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالَ قَدْ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيَّ اِذْ لَمْ اَكُنْ مَّعَهُمْ شَهِيْدًا

“Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, ‘Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka’.”

Jika kaum muslimin mendapatkan musibah, yaitu banyaknya yang terbunuh di dalam perang, atau kalah dalam perang, orang munafik berkata, “Sungguh Allah memberikan kenikmatan kepada saya, karena tidak ikut berperang bersama mereka.”

(a) Menurut pandangan orang munafik bahwa terluka dan mati dalam perang adakah musibah, sedangkan duduk di rumah dan tidak ikut berperang adalah bentuk kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya.

(b) Pandangan dengan sesat ini sudah dijawab oleh Allah di dalam surat Ali ‘Imran ketika kaum muslimin mengalami kekalahan perang. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ لَّوْ كُنْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِيْنَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ اِلٰى مَضَاجِعِهِمْ ۚ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh’.” (Qs. Ali ‘Imran: 154)

(c) Ayat di atas menjelaskan bahwa kematian itu tidak harus terjadi di medan perang; orang yang duduk di rumah, kalau sudah takdirnya mati atau ajalnya sudah tiba, maka dia akan mati juga. Diriwayatkan bahwa setelah ayat ini turun, orang-orang munafik yang duduk di rumah, dan tidak ikut berperang, sebagian dari mereka meninggal dunia.

(d) Jawaban lain bahwa selamatnya seseorang, atau panjangnya umur orang munafik atau orang kafir bukanlah nikmat dari Allah, tetapi lebih kepada “Istidraj” (penguluran waktu) supaya bertambah dosanya dan bertambah siksanya pada hari kiamat. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ خَيْرٌ لِّاَنْفُسِهِمْ ۗ اِنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ لِيَزْدَادُوْٓا اِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

“Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat azab yang menghinakan.” (Qs. Ali ‘Imran: 178)

Ketiga: Sedih dengan kemenangan kaum muslimin.

وَلَىِٕنْ اَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ اللّٰهِ لَيَقُوْلَنَّ كَاَنْ لَّمْ تَكُنْۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهٗ مَوَدَّةٌ يّٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَاَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, ‘Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula)’.” (Qs. an-Nisa’: 73)

(a) Kemenangan adalah anugrah dari Allah. Kalimat (فَضْلٌ مِّنَ اللّٰهِ) “anugrah dari Allah”. Maksudnya adalah kemenangan dalam perang dan harta rampasan perang. Dalam ayat ini diungkap dengan “anugrah dari Allah” untuk menunjukkan bahwa kemenangan yang diraih bukan karena hebat atau strategi kaum muslimin atau lengkapnya peralatan mereka atau karena keberanian para prajuritnya. Tetapi semata-mata karena pemberian, karunia dan anugrah dari Allah semata.

Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ,

وَمَا جَعَلَهُ اللّٰهُ اِلَّا بُشْرٰى لَكُمْ وَلِتَطْمَىِٕنَّ قُلُوْبُكُمْ بِهٖ ۗ وَمَا النَّصْرُ اِلَّا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِۙ

“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Qs. Ali ‘Imran: 126)

Juga dengan firman Allah ﷻ,

وَمَا جَعَلَهُ اللّٰهُ اِلَّا بُشْرٰى وَلِتَطْمَىِٕنَّ بِهٖ قُلُوْبُكُمْۗ وَمَا النَّصْرُ اِلَّا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ

“Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Qs. al-Anfal: 10)

(b) Firman-Nya,

لَيَقُوْلَنَّ كَاَنْ لَّمْ تَكُنْۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهٗ مَوَدَّةٌ يّٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَاَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, ‘Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula)’.”

Ungkapan ini menunjukkan celaan Allah kepada mereka, seakan-akan tidak ada hubungan antara orang munafik dengan kaum muslimin selama ini. Padahal hakikatnya sudah ada selama ini. Bahkan orang-orang munafik sering bermuka manis di depan kaum muslimin.

 

(c) Firman-Nya,

يّٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَاَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula).”

Inilah hakikat isi hati orang munafik, yaitu takut mati dan cinta dunia. Tidak mau ikut berjihad karena takut mati. Maka ketika kaum muslimin banyak yang terbunuh atau kalah dalam perang, orang munafik tetap bergembira dan senang serta merasa beruntung karena dirinya selamat, masih hidup dan tidak ikut berperang. Sedangkan ketika kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan memperoleh harta rampasan perang yang banyak, orang munafik merasa sedih. Kesedihan mereka bukan karena tidak ikut berjihad, namun karena tidak mendapatkan jatah harta rampasan perang. Ini diungkapkan dengan bahasa al-Qur’an,

فَاَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا

“Aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula).”

Maksudnya adalah mendapatkan harta rampasan perang yang banyak, menurut orang munafik, itu adalah kemenangan. Hal itu diungkap dengan “aku” mengesankan harta rampasan perang akan dia nikmati sendiri. Padahal dalam ayat al-Qur’an pada ayat-ayat lain kata (الفوز) “kemenangan” diartikan dengan kemenangan akhirat atau keberuntungan akhirat, diantaranya:

1. Firman Allah ﷻ,

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (Qs. Ali ‘Imran: 185)

2. Firman Allah ﷻ,

لَا يَسْتَوِيْٓ اَصْحٰبُ النَّارِ وَاَصْحٰبُ الْجَنَّةِۗ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ

 “Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga; para penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (Qs. al-Hasyr: 20)

Kesimpulannya: bahwa keberuntungan dan kemenangan menurut orang mukmin adalah masuk surga dan dihindari dari api neraka, sedangkan menurut orang munafik adalah mendapatkan harta yang banyak.

 

***

Jakarta, Ahad, 1 Mei 2022.

KARYA TULIS