Karya Tulis
760 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 4: 83) Bab 232 Mengelola Informasi


Mengelola Informasi

(Ayat 83)

 

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”

(Qs. an-Nisa’: 83)

 

Pelajaran (1) Sikap Kaum Munafiqin

(1) Ayat ini masih berbicara tentang sifat orang-orang munafik. Pada ayat-ayat sebelumnya telah diterangkan sikap mereka terhadap beberapa hal:

(a) Sikap mereka terhadap ajakan untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya (Qs. an-Nisa’: 60-65).

(b) Sikap mereka ketika diperintah untuk berjihad di jalan Allah (Qs. an-Nisa’:72-73).

(c) Sikap mereka terhadap kehidupan dunia (Qs. an-Nisa’: 77).

(d) Sikap mereka terhadap kebaikan dan keburukan (Qs. an-Nisa’: 78).

(e) Sikap mereka di hadapan Nabi ﷺ dan dibelakangnya (Qs. an-Nisa’: 81).

(f) Sikap mereka terhadap al-Quran (Qs. an-Nisa’: 82).

(g) Sikap mereka terhadap sebuah berita atau informasi (Qs. an-Nisa’: 83).

 

Pelajaran (2) Berita Keamanan dan Ancaman

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya.”

(1) Informasi yang datang kepada mereka ada dua bentuk.

(a) Informasi tentang keamanan (الْاَمْنِ), seperti kemenangan terhadap kaum muslimin dalam perang dan kalahnya orang-orang kafir.

(b) Informasi tentang ketakutan (الْخَوْفِ), seperti berita kedatangan musuh yang akan menyerang kota Madinah. Kalau pada zaman sekarang, seperti berita akan terjadi gunung meletus, gempa bumi, tsunami, menyebarnya penyakit menular yang sangat berbahaya.

Berita-berita tersebut berhubungan dengan masyarakat luas dan tidak jelas sumbernya.

(2) Orang-orang munafik tersebut jika menengar berita-berita semacam itu, mereka langsung menyebarkannya dengan tujuan untuk membuat kekacauan, kepanikan, dan kesalah pahaman diantaranya kaum muslimin.

Contoh beberapa berita yang mereka sebutkan pada zaman Rasulullah ﷺ, adalah peristiwa sebagai berikut:

(a) Hadits al-Ifki (berita bohong) yang memfitnah sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berselingkuh dengan salah seorang sahabat.

(b) Diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwa ketika Nabi Muhammad (menjauhi) istri-istrinya, ‘Umar bin al-Khaththab masuk ke masjid. Pada saat itu orang-orang sedang kebingungan sambil bercerita bahwa Rasulullah ﷺ telah menceraikan istri-istrinya.

‘Umar berdiri di pintu masjid dan berteriak, “Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya, dan aku telah menelitinya.” Maka turunlah ayat ini (Qs. an-Nisa’: 83) berkenaan dengan peristiwa tersebut agar tidak menyiarkan berita sebelum diselidiki.

 

Pelajaran (3) Serahkan kepada Ahlinya

وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ

“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka.”

(1) Di dalam ayat ini Allah memberikan arahan bagaimana sikap yang benar dalam menerima informasi yang berhubungan dengan masyarakat umum, khusus masalah keamanan atau ancaman yang menakutkan.

(2) Arahan tersebut menyetakan bahwa jika mendapatkan informasi yang sifatnya disebutkan di atas, hendaknya dikembalikan atau disampaikan atau dikonfirmasikan kepada Rasulullah terlebih dahulu. Jika Rasulullah tidak ada maka hal itu dikembalikan kepada Ulil Amri, atau orang yang berwenang dalam bidang yang terkait.

(3) Ini juga menunjukkan bahwa segala sesuatu harus dikembalikan kepada ahlinya. Kalau hal ini dilanggar maka akan terjadi kerusakan di muka bumi.

(a) Allah ﷻ berfirman,

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. al-Anbiya’: 7)

Ayat ini menunjukkan kewajiban bertanya kepada prang berilmu (sesuai dengan bidangnya) jika seseorang tidak mengetahui.

(b) Di dalam hadits disebutkan,

إذا ضُيِّعَتِ الأمانَةُ فانْتَظِرِ السَّاعَةَ قالَ: كيفَ إضاعَتُها يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: إذا أُسْنِدَ الأمْرُ إلى غيرِ أهْلِهِ فانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

“Jika amanah itu disia-siakan, maka tunggulah waktunya, Beliau berkata: Bagaimana kamu menyia-nyiakannya wahai Rasulullah? Dia berkata: Jika masalah itu dibebankan kepada orang lain selain keluarganya, maka tunggulah Hari Kiamat.”

(4) Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Ulil Amri bertugas mengganti Rasulullah ﷺ, jika bukan udzur atau tidak ada. Ulil Amri di sini mmepunyai dua makna sebagaimana yang telah dibahas pada penafsiran ayat 59 yang lalu.

(a) Pertama: Ulil Amri adalah pemimpin politik (pemerintahan) mereka adalah yang mengambil kebijakan apakah suatu informasi layak disebarkan di masyarakat atau tidak. Di sini pemerintah berhak menyaring informasi yang akan membawa mudharat bagi masyarakat luas, seperti memblokir situs-situs yang tidak mendidik dan merusak generasi.

(b) Kedua: Ulir Amri adalah Ulama. Ulama yang mewakili Rasulullah dalam bidang agama. Mereka adalah pewaris para nabi di dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah.

Di dalam hadits disebutkan,

العلماء ورثة الانبياء

“Ulama adalah pewaris para nabi.”

Para ulama-lah yang mengetahui ajaran-ajaran Islam. Mana yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum dan ajaran mana yang hanya disampaikan kepada orang-orang khusus.

(5) Di dalam hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,

كفي بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع

“Cukup bagi seseorang dikatakan berdosa, kalau dia menyampaikan seluruh apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Hal ini dikuatkan oleh Imam Bukhari yang menyebutkan dalam Kitab Shahih-nya satu bab yang berjudul: “Siapa yang mengkhususkan pengajaran suatu ilmu bagi kalangan tertentu, karena khawatir sebagian kalangan tidak bisa memahaminya”. Kemudian beliau menukil perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah kalian senang jika Allah dan Rasul-Nya didustakan. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Kitab Fathu al-Barri menjelaskan masalah di atas, sebagai berikut:

‘Di dalam hadist tersebut terdapat pelajaran bahwa sesuatu yang masih samar (al-Mutasyabih) tidak boleh diungkap di depan orang awam. Ini sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud, “Tidaklah engkau berbicara dengan sebuah komunitas dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka, kecuali akan membuat fitnah bagi sebagian mereka.”

Kemudian beliau memberikan contoh bagaimana para ulama dahulu, seperti Khudzaifah dan al-Hasan al-Bashri sangat mengingkari seseorang yang menyampaikan hadits al-‘Arayinin kepada Hajjaj Tsaqafi karena dijadikan dalil untuk menumpahkan darah kaum muslimin hanya karena karena masalah-masalah yang sepele.

 

Pelajaran (4) Istinbath Hukum

لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ

“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”

(1) Kata (يَسْتَنْۢبِطُوْنَه) artinya mengeluarkannya dari kata (اِسْتَنْبَطَ) artinya air yang keluar dari tanah. Maksudnya di sini adalah menyimpulkan sesuatu dari suatu kejadian atau suatu masalah. Orang sekarang menyebutnya dengan mengistinbath-kan. Dari sini dipahami bahwa salah satu tugas Rasul dan Ulil Amri adalah menyimpulkan suatu informasi atau hanya untuk konsumsi kalangan terbatas.

(2) Ayat ini juga bisa dijadikan dalil wajibnya berijtihad jika ada nash dan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan salah satu bentuk ijtihad adalah menggunakan qiyas atau analogi.

Pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup, setiap permasalahan dapat ditanyakan kepada beliau. Tetapi setelah beliau meninggal dunia, pertanyaan ditujukan kepada para ulama. Dan ulama wajib berijtihad pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

(3) Ayat ini juga menunjukkan bolehnya orang awam taqlid kepada para ulama. Karena merekalah yang menerima hasil istinbath para ulama. Mereka juga dawajibkan bertanya kepada para ulama tentang masalah-masalah agama yang tidak diketahuinya.

 

Pelajaran (5) Karunia Allah

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

“Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”

(1) Ayat di atas menunjukkan bahwa karena anugrah dan karunia serta rahmat Allah sejumlah kaum muslimin diselamatkan dari mengikuti langkah-langkah setan di dalam penyebaran (informasi dan berita yang belum jelas kebenarannya). Jika bukan karena rahmat Allah, tentunya mereka akan digelincirkan setan dan akan menjadi pengikutnya, kecuali sedikit saja yang selamat.

(2) Ayat ini mirip dengan firman Allah di dalam surah an-Nur,

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ

“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (Qs. an-Nur: 21)

 

***

Jakarta, Rabu, 4 Mei 2022.

KARYA TULIS