Karya Tulis
474 Hits

Tafsir An-Najah QS. [5]: 5 BAB 280 Sembelihan Ahlul Kitab


Tafsir An-Najah (QS. Al-Maidah [5]: 5)

BAB 280

Sembelihan Ahlul Kitab

 

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah[5]: 5)

Pelajaran (1): Yang dimaksud makanan pada ayat di atas adalah binatang yang disembelih. Oleh karenanya, buah-buahan, sayur-sayuran, nasi, roti, permen dan lain-lainnya tidak termasuk dalam pembahasan ini, karena semua itu halal untuk dimakan.

Berkata Ibnu Abbas : “ Maksudnya ( makanan Ahlul Kitab yang dihalalkan bagi kaum muslimin ) adalah sembelihan mereka “.

Berkata Ibnu Katsir  ( 3/40 ) : “ Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kaum muslimin “  

Hukum sembelihan Ahlul Kitab terbagi menjadi empat masalah, di bawah ini hanya disebutkan tiga masalah saja. Adapun masalah keempat, yaitu hukum makanan yang disediakan pada hari natal, akan diterangkan dalam makalah yang berjudul ( Hukum Makanan Sesajen )  :

Masalah Pertama : Sembelihan Ahlul Kitab Yang Tidak Diketahui Apakah Mereka Menyembelih Dengan Menyebut Nama Allah Atau Tidak.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa sembelihan tersebut halal. Ini berdasarkan keumuman firman Allah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“ Makanan (sembelihan) orang-orang Ahlul Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka“(QS. Al Maidah[5]: 5 )

Di dalam al-Fatawa al Hindiyah ( 5/285 ) disebutkan : “ Dibolehkannya memakan sembelihan Ahlul Kitab ( dalam beberapa keadaan ) : jika tidak diketahui penyembelihannya, dan tidak didengar kata-kata apapun darinya, atau disaksikan dan didengar darinya bahwa dia menyebut nama Allah saja. Ini semua sebagai bentuk husnu adh-dhann ( berbaik sangka ) kepadanya, tanpa harus mencari tahu tentang niat dalam hatinya, baik dia niatkan hal itu untuk al-Masih atau tidak. Adapun jika didengar darinya bahwa dia menyebut nama al-Masih saja, atau menyebut nama Allah dan al-Masih, atau mengucapkan ( dengan nama Allah, yaitu Allah salah satu dari trinitas ) maka tidak halal sembelihannya dan tidak boleh dimakan. “    

 Masalah Kedua : Sembelihan Ahlul Kitab Yang Tidak Disebut Nama Allah Di Dalamnya.

Ahlul Kitab ketika menyembelih binatang yang hendak mereka makan,  kadang menyebut nama Allah tetapi kadang menyebut nama al-Masih dan lainnya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Jika kita mengetahui secara pasti bahwa mereka (Ahlul Kitab) tidak menyebut nama Allah, bahkan menyebut nama-nama selain Allah, seperti Isa al-Masih, Uzair, atau Musa dalam sembelihan mereka, maka hukumnya haram secara mutlak memakan sembelihan tersebut. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Ini berdasarkan firman Allah :

لَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“  Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.  Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”  ( QS. al-An’am[6]:  121 )

 Berkata Abu Tsaur  sebagaimana  dalam al-Majmu’  9/ 78  : “  Jika mereka ( Ahlul Kitab ) menyebut nama Allah ( dalam sembelihan mereka ) maka makanlah, tetapi jika mereka tidak menyebut nama Allah, maka janganlah engkau makan “  

 Berkata Imam Zuhri sebagaimana di dalam Mushannaf Abdurrozaq : “ Tidak apa-apa memakan sembelihan  orang Nashrani Arab. Jika engkau mendengarnya  menyebut selain Allah, maka janganlah engkau makan, tetapi jika engkau tidak mendengar apa-apa darinya, maka Allah telah menghalalkannya, dan Dia Maha Tahu tentang kekafiran mereka “

 Pendapat Kedua  : Sembelihan Ahlul Kitab yang tidak disebut nama Allah hukumnya halal secara mutlak. Ini pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, sebagaimana dalam al-Muharar 2/196. Dalilnya adalah firman Allah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“ Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka“(QS. Al Maidah[5] : 5 )

Ayat di atas menunjukkan keumuman bolehnya memakan sembelihan Ahlul Kitab, tanpa ada rincian.

Adapun dalil dari logika, bahwa mereka jika menyebut nama Allah, maka yang dimaksud adalah al-Masih, bukan Allah-nya umat Islam, tetapi walaupun begitu Allah menghalalkan sembelihannya.

Catatan : Perbedaan pendapat di atas muncul karena perbedaan di dalam menyikapi dua dalil yang kelihatannya saling bertentangan, yang pertama  firman Allah dalam (QS. al-An’am[6]: 21) yang menunjukkan keumumuman haramnya sembelihan yang disebut nama selain Allah termasuk sembelihan Ahlul Kitab. Yang kedua firman Allah dalam(Qs.al-Maidah:5) yang menunjukkan keumumuman halal-nya sembelihan Ahlul Kitab, termasuk yang belum disebut nama Allah.

Masalah Ketiga : Hukum Sembelihan Ahlul Kitab Yang Dipersembahkan Kepada Selain Allah.

Ahlul Kitab ketika menyembelih dengan nama selain Allah, kadang diperuntukkan untuk mereka makan, tetapi terkadang pula mereka tidak mau memakannya karena dipersembahkan kepada berhala atau tuhan mereka.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama : Hukumnya haram secara mutlak. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah( Qs Al-Baqarah : 173 ) 

Pendapat Kedua  : Hukumnya halal secara mutlak. Ini pendapat sebagian ulama dan riwayat dari Imam Ahmad,  berdasarkan firman Allah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“ Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka“(Qs Al Maidah : 5 )

Pendapat Ketiga : Jika mereka menyembelih bertujuan mendekatkan diri kepada sesembahan mereka, dan makanan tersebut dibiarkan, maka hukumnya haram, karena bukan termasuk makanan mereka. Tetapi jika mereka menyembelih dengan nama selain Allah, tetapi sembelihan tersebut mereka makan, maka hukumnya halal, dengan alasan sembelihan tersebut termasuk makanan mereka, tetapi walaupun begitu tetap makruh,  karena masih ada syubhat bahwa itu disembelih dengan nama selain Allah. Ini adalah pendapat Malikiyah.

Di dalam Hasyiat ad-Dasuqi : 2/ 356, 358  disebutkan : “ Tidak sah menyembelih untuk berhala, dan yang seperti ini tidak boleh dimakan, karena termasuk  dalam katagori  wama uhilla lighoirilllahi bihi  (apa-apa yang disembelih untuk selain Allah) ….tetapi jika mereka menyembelih tujuannya untuk dimakan, maka hukumnya makruh. “   Di tempat lain disebutkan :  “ Adapun  ketika menyembelih, mereka maksudkan untuk makanan mereka, walaupun dilakukan pada waktu hari raya mereka, dan disebut nama Isa atau berhala sebagai bentuk tabarruk, maka hukumnya makruh untuk dimakan. “

 

Pendapat Yang Dipilih  

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama dengan alasan sebagai berikut : 

Pertama : bahwa Allah telah mengharamkan binatang yang waktu disembelih tidak disebut nama Allah, bahkan dikatagorikan sebagai sesuatu yang fasik. Apalagi yang disembelih dengan nama selain Allah, tentunya kefasikannya lebih besar.

Kedua : firman Allah yang menyebutkan halalnya sembelihan Ahlul Kitab ( Qs. al Maidah : 5) tidaklah berlaku umum, tetapi ada beberapa pengecualian, diantaranya binatang-binatang yang diharamkan bagi kaum muslimin seperti babi dan anjing. Begitu juga sembelihan Ahlul Kitab yang dipersembahkan kepada selain Allah, maka semuanya ini haram.   

Ketiga :  binatang sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah jauh lebih diharamkan daripada binatang babi dan anjing, karena termasuk dalam katagori dosa syirik, sedangkan babi dan anjing masuk dalam katagori maksiat.

Keempat : pada dasarnya hukum binatang sembelihan adalah haram sampai ada dalil yang menghalalkannya. Maka jika ada pertentangan antara dalil yang menghalalkan dan dalil yang mengharamkan, hendaknya diambil dalil yang mengharamkan  sebagai bentuk kehati-hatian 

       Ini sebagaimana ada dua anjing yang sudah dilatih untuk berburu dan dilepas dengan menyebut nama Allah, kemudian ketika bisa membunuh binatang buruan ternyata disitu ada anjing lain yang tidak kita ketahui, maka hukum binatang buruan tersebut menjadi haram. Wallahu A’lam.

 

Pelajaran (2): Jika makanan tersebut bukan masuk dalam katagori ritual agama mereka atau bukan dipersembahkan kepada selain Allah yang berupa daging dan sejenisnya, maka dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu halal.  Karena makanan tersebut kebanyakan disuguhkan untuk orang-orang yang datang ke gereja, bukan bagian dari ritual itu sendiri.

Jika makanan itu berupa daging yang dipersembahkan kepada selain Allah, maka hukumnya haram.   

 Di dalam Mushonnaf Abdurrozaq disebutkan bahwa :

أَنَّ اِمْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: إِنَّ لَنَا أظآرا مِنَ الْمَجُوْسِ، وَإِنَّهُ يَكُوْنُ لَهُمْ الْعِيْدُ فَيَهْدُوْنَ لَنَا؟ قَالَتْ: أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْم فَلَا تَأْكُلُوْا، وَلَكِنْ كُلُوْا مِنْ أَشْجَارِهِمْ.

“Suatu ketika seorang perempuan bertanya kepada Aisyah, seraya berkata: “kami mempunyai teman orang-orang Majusi, mereka mempunyai hari raya, dimana pada hari itu biasa mereka memberikan hadiah kepada kami? Berkata Aisyah: “Adapun daging dari sembelihan pada hari itu (yang dipersembahkan selain Allah), maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah yang berasal dari pohon-pohon mereka (yang bukan sembelihan)“   

عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ: أَنَّهُ كَانَ لَهُ سُكَّانٌ مَجُوْسٌ، فَكَانُوا يَهْدُوْنَ لَهُ فِي النَّيْرُوْزِ وَالْمَهَرْجَانَ، فَكَانَ يَقُوْلُ لِأَهْلِهِ: مَا كَانَ مِنْ فَاكِهَةٍ فَكُلُوْهُ، وَمَا كَانَ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ فَرَدُّوْهُ.

Dari Abu Barzah, beliau mempunyai tetangga orang-orang Majusi, pada hari raya mereka, yaitu Nairuz dan Maharjan, mereka memberikan hadiah kepadanya, maka beliau menasihati keluarganya: “Yang berupa buah-buahan maka, makanlah,  selain itu kembalikan kepada mereka.“

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirathol Mustaqim, hal: 250, menanggapi dua atsar di atas: “Ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya dalam hari raya mereka untuk menerima hadiah dari mereka, bahkan (menerima hadiah) pada waktu hari raya atau di luar hari raya adalah hukumnya sama. Karena menerima hadiah dari mereka tidak termasuk dalam membantu penyebaran syiar kekafiran mereka…Makanya dibolehkan memakan makanan (sembelihan) dari Ahli Kitab dalam hari raya mereka dengan cara jual beli atau pemberian hadiah atau dengan cara-cara yang lain selama mereka tidak menyembelihnya demi ritual hari raya tersebut.”

Pelajaran (3): Banyak dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengimpor daging-daging dari luar negeri, kalau mengimpor dari negara-negara Islam tentunya tidak ada masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika daging-daging tersebut diimpor dari negara-negara kafir, atau yang mayoritas penduduknya kafir, seperti negara-negara Eropa, Rusia, Amerika, China, bagaimana hukumnya ? halal atau haram ? Tulisan di bawah ini menjelaskannya :  

Perlu diketahui bahwa daging yang diimpor dari luar negeri dibagi menjadi dua :

Pertama : Diimpor dari negara-negara yang mayoritas penduduknya orang-orang musyrik seperti Jepang, China, Rusia, Thailand,  maka hukumnya haram.

Kedua :  Diimpor dari negara-negara yang mayoritas penduduknya ahlul kitab, seperti Amerika, Eropa dan Israel. Maka dalam hal ini mengandung beberapa keadaan :

Keadaan Pertama :  Telah diketahui bahwa daging-daging yang diimpor tersebut disembelih secara benar, maka hukumnya halal.

Keadaan Kedua : Telah diketahui bahwa daging-daging yang diimpor tersebut berasal dari binatang yang dibunuh secara tidak benar, seperti dipukul kepalanya sampai mati, atau disetrum. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Hukumnya haram, karena binatang-binatang tersebut mati tidak melalui penyembelihan yang benar, walaupun yang melakukan adalah ahlul kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama

Pendapat Kedua : Hukumnya halal. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.“ (QS. Al Maidah[5]: 5)

Ibnu al-Arabi berkata dalam menafsirkan ayat di atas :

دَلِيلٌ قَاطِعٌ عَلَى أَنَّ الصَّيْدَ وَطَعَامَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ : مِنَ الطَّيِّبَاتِ الَّتِي أَبَاحَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ، وَهُوَ الْحَلَالُ الْمُطْلَقُ

“Ini merupakan dalil yang tegas bahwa buruan dan makanan orang-orang ahlul kitab termasuk hal-hal yang baik yang dihalalkan oleh Allah, makanya hukumnya halal mutlak “ (Ahkam al-Qur’an : 2/44)

Kemudian ketika beliau ditanya tentang orang Nashrani yang memelintir leher ayam, kemudian memasaknya, apakah halal atau haram? beliau menjawab :

“Boleh dimakan, karena itu makanannya dan makanan para pendetanya, walaupun makanan itu bukan sembelihan kita, tetapi Allah telah menghalalkan makanan mereka secara mutlak, dan setiap yang mereka pandang halal dalam agama mereka (tentang makanan), maka hal itu menjadi halal dalam agama kita, kecuali yang sudah dibantah oleh Allah dalam masalah tersebut. “ 

Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar  (6/110) menerangkan masalah ini secara panjang lebar dan mendukung pendapat Ibnu Arabi di atas, kemudian beliau menyebutkan juga pendapat Muhammad Abduh dan pendapat ulama-ulama Malikiyah yang  mendukung pendapat di atas.

Tetapi di tempat lain Ibnu al-Arabi berpendapat beda dengan pendapatnya yang pertama, dan mengatakan : “Jika ditanya tentang hukum makanan yang mereka makan tetapi dengan cara yang tidak benar, seperti dicekik dan dipukul kepalanya, maka jawabannya adalah bahwa binatang tersebut telah menjadi bangkai, dan hal itu diharamkan secara nash. Walaupun mereka memakannya, tetapi kita tidak memakannya, seperti babi bagi mereka halal dan salah satu makanan mereka, tetapi tetap saja haram untuk kita.“ 

Keadaan Ketiga :  Tidak diketahui apakah daging-daging yang diimpor tersebut dibunuh secara benar atau tidak, dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana pada masalah sebelumnya.

Hanyasaja timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya cara penyembelihan yang sering dilakukan oleh ahlul kitab di negara-negara Eropa, Israel dan Amerika sekarang ini ? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya perlu ada penelitian lapangan.  Syekh Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam bukunya : Al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wa adz-Dzabaih. (153-159) menyebutkan secara panjang lebar beberapa  hasil penelitian yang dilakukan oleh sebagian kalangan tentang cara penyembelihan yang sering dilakukan di negara-negara Eropa dan Amerika, yang intinya bahwa kebanyakan penyembelihan yang mereka lakukan terhadap binatang-bintang ternak tidak sesuai dengan syariah, kadang mereka membunuhnya dengan menyetrum, kadang dengan memukul kepala mereka dengan benda keras, kadang dengan menembak kepalanya. Oleh karenanya dihukumi dengan haram. 


Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan hukum makan daging yang diimpor dari luar negri adalah sebagai berikut : jika diimpor dari negara-negara yang mayoritas penduduknya orang-orang musyrik seperti Jepang, China, Rusia, Thailand,  maka hukumnya haram. Jika diimpor dari negara-negara yang mayoritas penduduknya ahlul kitab, seperti Amerika, Eropa dan Israel, tetapi telah diketahui cara penyembelihannya sesuai dengan syariah, maka hukumnya halal. Jika tidak, maka hukumnya haram.  Wallahu A’lam.

 

 

Jakarta, Ahad 29 Mei 2022

KARYA TULIS