Tafsir An-Najah QS.[5]: 6 BAB 282 Wudhu, Mandi dan Tayammum
Tafsir An-Najah (QS. Al-Maidah[5]: 6)
BAB 282
Wudhu, Mandi dan Tayammum
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah[5]: 6)
Pelajaran (1): Antara Ibadah dan Mu’amalat
1) Pada ayat sebelumnya dijelaskan dua hal yaitu makanan yang merupakan kebutuhan fisik lahir masnusia dan perkawinan yang merupakan kebutuhan non fisik (batin) yang merupakan naluri manusia pada ayat ini, Allah menjelaskan amal ibadah yang merupakan kebutuhan batin dan rohani jiwa manusia untuk berhubunngan dengan pencipta-Nya berupa ibadah shalat. Sebelum itu diterangkan salah satu syaratnya yaitu berwudhu.
2) Atau dikatakan, sebelum melakukan wudhu dan shalat, seorang di anjurkan untuk menyelesaikan hajat-hajatnya, yaitu hajat perut dan hajat farji. Tujuannya supaya shalatnya khusu’. Hadits dan atsar dalam masalah ini sangat banyak.
3) Atau dikatakan bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan perjanjian pada ayat pertama, perjanjian tersebut mencakup perjanjian dalam bidang mu’amalat seperti masalah makanan dan perjanjian manusia terhadap Allah.
Ayat ini menjelaskan perjanjian yang kedua berupa shalat dengan menjelaskan terlebih dahulu syarat-syaratnya.
4) Atau dikatakan bahwa perjanjian bahwa ada dua.
- (عهد الربوبية) ‘Ahdu ar-Rububiyyah yang berasal dari Allah, yaitu makanan dan pernikahan. Keduanya pemberian dari Allah.
- (عهد العبودية) ‘Ahdu al-Ubudiyyah yang berasal dari manusia, yaitu kewajiban beribadah kepada Allah dengan melaksanakan shalat dan salah satu syaratnya adalah berwudhu.
Pelajaran (2): Sebab Turun ayat Tayammum
- Diriwyatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa ia berkata,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالُوا أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ أَقَامَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلَا يَمْنَعُنِي مِنْ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ
“Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Abdurrahman bin Al Qasim] dari [bapaknya] dari [‘Aisyah] isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu perjalanan yang dilakukannya. Hingga ketika kami sampai di Baida’, atau tempat peristirahatan pasukan, aku kehilangan kalungku. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya mencarinya sementara mereka tidak berada dekat air. Orang-orang lalu datang kepada Abu Bakar Ash Shidiq seraya berkata, ‘Tidakkah kamu perhatikan apa yang telah diperbuat oleh ‘Aisyah? Dia telah membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang tertahan (dari melanjutkan perjalanan) padahal mereka tidak sedang berada dekat air dan mereka juga tidak memiliki air! ‘ Lalu Abu Bakar datang sedangkan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan kepalanya di pahaku. Abu Bakar lalu memarahiku dan mengatakan sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk (Abu Bakar) mengatakannya. Ia menusuk lambungku, dan tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak (karena rasa sakit) kecuali karena keberadaan Rasulullah yang di pahaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di waktu subuh dalam keadaan tidak memiliki air. Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat tayamum, maka orang-orang pun bertayamum.” Usaid bin Al Hudlair lalu berkata, “Tidaklah Aisyah kecuali awal dari keberkahan keluarga kamu wahai wahai Abu Bakar!” ‘Aisyah berkata, “Kemudian unta yang aku tunggangi berdiri yang ternyata kami temukan kalungku berada dibawahnya.”
Para ulama berbeda pendapat tentang hadits di atas, yaitu hadits tentang turunnya syari’at tayammum, apakah berkaitan dengan (QS. Al-Maidah[5]: 6) atau berkaitan dengan (QS. An-Nisa[4]: 43). Al-Bukhari lebih cendrung bahwa haditts ini berkaitan dengan (QS. Al-Maidah[5]: 6)
Sedang al-wahidi menyebutkan hadits di dalam (QS. An-Nisa[4]: 43)
- Para ulama juga menjelaskan bahwa para sahabat sudah mengetahui cara berwudhu sebelum turun ayat ini dan semenjak turun kewaajiban shalat, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidaklah melakukan shalat kecuali dengan berwudhu. Hikmahnya agar ayat wudhu ini, menjadi bagian dari ayat al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam sepanjang sejarah.
Pelajaran (3): 6 Rukun Wudhu
Pertama: Niat
Firman-Nya,
اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ
- Maksudnya, jika kalian hendak mengeerjakan shalat. Dan ini mengisyaratkan bahwa setiap muslim hendaknya slalu dalam keadaan mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala.
- Ayat ini bersifat mutlak siapa saja yang ingin melaksanakan shalat hendaknya berwudhu. Tetapi kemudian dibatasi hanya untuk orang yang sudah berhadats. Ini berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang melakukan shalat lima waktu pada waktu Fathu Mekkah dengan sekali wudhu.
- Ayat ini juga menunjukkan bahwa seseorang sebelum berwudhu harus berniat untuk shalat, bukan untuk tujuan kebersihan. Niat temasuk hukum wudhu menurut sebagian ulama.
- Adapun pendapat al-Hanafiyah bahwa wudhu tidak perlu niat, karena wudhu adalah sarana untuk shalat. Suatu sarana untuk beribadah tidak wajib untuk niat, sedangkan tujuan utamanya adalah shalat.
Kedua: Membasuh Wajah
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
- Para ulama sepakat tentang wajibnya membasuh wajah. Sebagian ulama menyebutnya rukum wudhu yang kedua setelah niat. Adapun batas wajah adalah secara vertikal dari atas mulai tempat tumbuhnya rambut kepala sampai kebawah yaitu tempat tumbuh janggut.
Adapun secara horisontal adalah antara dua telinga. Sedangkan berkumur dan instinsyaq (menghirup air ke hidung dan dikeluarkan lagi) bukanlah termasuk di dalam membasuh wajah, maka keduanya tidak wajib tapi sunnah.
Ketiga: Membasuh Kedua Tangan
وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
1) Rukun ketiga dari wudhu adalah membasuh kedua tangan sampai siku-siku. Disunnahkan membasuh tangan kanan dulu, kemudian membasuh tangan kiri. Tetapijika membasuh tangan kiri dulu, maka wudhunya tetap sah, hanya saja menyelisihi sunnah.
2) Siku-siku termasuk bagian yang wajib dibasuh karena (إلى) dalam ayat ini artiya (مع) bersama. Maksudnya basuhlah kedua tanganmu sampai siku-siku, dan siku-siku juga wjib di basuh
3) Para ahli bahasa arab mengatakan bahwa (إلى) jika sebelum dan sesudahnya adalah sesuatu yang sama jenisnya, maka sesuatu yang datang sesudah (إلى) masuk dalam bagian sebelum (إلى) seperti dalam ayat ini yaitu antara tangan dan siku-siku adalah satu jenis. Tetapi jika antara sesuatu sebelum (إلى) dan sesudahnya bukan satu jenis, maka apa yang datang sesudah (إلى) bukan bagian dari apa yang datang sebelum (إلى) seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
“Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah[2]: 187)
Ayat ini menunjukkan bahwa puasa hanya sampai malam. Artinya malam tidak puasa lagi, karena malam hari bukan satu jenis dengan siang hari.
Keempat: Mengusap kepala
وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ
1) Rukun keempat dari wudhu adalah mengusap kepala.
Para ulama berbeda pendapat tentang kadar ukuran pengusapan.
- Abu Hanifah mengatakan bahwa yang wajib adalah membasuh seperempat kepala, alasannya bahwa huruf (ب) didalam (بِرُءُوْسِكُمْ) menunjukkan arti sebagian. Dan sebagian ini ukurannya adalah seperempat kepala. Hal ini berdasarkan hadits al-Mughirah bin Syu’bah yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam ketika dalam safar berwudhu dan mengusap ubun-ubun kepala beliau. Ubun-ubun itu dianggap seperempat kepala.
- Malik dan Ahmad mengatakan wajib mengusap separuh kepala sebagai bentuk kehati-hatian. Alasannya bahwa huruf (ب) didalam (بِرُءُوْسِكُمْ) sebagai huruf tambahan, sehingga makna ayat adalah “usaplah seluruh kepala kalian”.
- Asy-Syafi’I mengatakan yang wajib minimal tiga helai rambut tapi sunnahnya mengusap seluruh kepala. alasannya bahwa huruf (ب) didalam (بِرُءُوْسِكُمْ) menunjukkan arti sebagian, dan minimal untuk disebut sebagian adalah tiga helai rambut.
Kelima : Membasuh kedua kaki
وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
1) Rukun kelima dari wudhu adalah membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Dalam hal ini terdapat dua qira’at (bacaan) yang mutawatir:
- (وَاَرْجُلَكُمْ) yaitu dengan Fathah huruf (لَ) artinya (اَرْجُلَكُمْ) ini mengikuti kata sebelumnya yaitu (وُجُوْهَكُمْ) sehingga diartikan membasuh wajahmu dan kakimu.
Inilah pendapat Mayoritas Ulama. Selain ayat di atas, mereka juga berdalil dengan perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau berwudhu, yaitu dengan membasuh kedua kaki beliau hinggga kedua mata kaki.
Juga terdapat hadits yang mengecam orang yang berwudhu tapi tidak sempurna ketika membasuh kedua kakinya. Terdapat sebagian dari tumit kaki tidak terkena air. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat seorang laki-laki berwudhu tetapi tumitnya tidak dibasuh. Beliau bersabda,
وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Celakalah bagi (pemilik) tumit-tumit dari api neraka” (HR. Muslim).
b. Bacaan kedua yaitu (وَاَرْجُلِكُمْ) dengan membaca kasrah huruf (لِ) mengikuti kata sebelumnya (رُءُوْسِكُمْ) sehingga ayat itu diartikan “Usaplah kepalamu dan kedua kakimu”
Dengan demikian yang wajib menurut pendapat ini adalah menngusap kedua kaki, bukan membasuhinya.
Pendapat ini dinisbatkan kepada ath-Thobari dan kelompok Syiah.
Adapun mayoritas ulama mengatakan bahwa membasuh kedua kaki sampai mata kaki hukumnya wajib dan termasuk rukun wudhu. Kewajiban ini berlaku baik menggunakan bacaan fathah (نَصْبٌ) maupun menggunakan kasrah (جَرٌّ).
Adapu mengunakan bacaan fathah atau nashab keteranggannya sudah dijelaskan di atas.
Sedangkan dengan menggunakan bacaan kasrah atau Jarr. Tidakah seperti yang dipahami oleh ath-Thobari dan kelompok Syiah. Keterangannya adalah sebagai berikut: tidak apa-apa اَرْجُلِكُمْ dibaca kasrah atau jar karena memang itu salah satu bacaan yang mutawatir, tetapi maknanya seperti makna bila dibaca fathah atau nashab sehingga tetap diartikan. “Basuhlah kakimu” kalau begitu apa fungsi kasrah atau jarr.
Jawabannya: bahwa fungsinya agar di dalam membasuh kaki untuk tidak berlebihhan dalam menguanakan air, sebagaiamana ketika mengusap kepala. kenapa perintah untuk tidak berlebihan dalam menggunakan air hanya ditunjukkan ketika mebasuh kaki? Karena di sinilah kebiasaan orang boros dan berlebihan di dalam menggunakan air.
Catatan:
Setelah menjelaskan tafsir ayat wudhu secara singkat, perlu ditambahkan di sini beberapa catatan, di antaranya:
- Al-Hanafiyah berpendapat bahwa ruku wudhu hanya empat, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas, yaitu; membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku-siku, membasuh sebagian kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Sedang maayoritas ulama menambahkan beberapa rukun lagi, diantaranya.
a- Niat,
b- Urut (الترتيب) yaitu dalam berwudhu, seorang harus mengerjakan rukun-rukun wudhu yang disebutkan dalam ayat secara berurutan.
c- Bersambung secara berturut-turut (الموالاة) yaitu tidak ada jeda antara satu rukun dengan rukun berikutnya: jika seorang membasuh mukanya kemudian mengerjakan pekerjaan lain yang membutuhkan waktu seperti mengambil handuk, kemudian baru membasuh kedua tangannya, maka wudhunya tidak sah. Sebagian ulama memberikan batasan dengan keringnya angggota badan sebelum berpindah ke rukun yang lain maka di anggap wudhunya tidak sah.
- Sebagian ulama memasukkan pendapat di dalam membasuh kedua kaki atau mengusapnya ke dalam perbedaan dalam masalah aqidah bukan sekedar perbedaan fiqh. Hal itu karena yang berbeda pendapat dengan mayoritas ulama hanyalah kelompok Syiah dan ath-Thobari.
Pelajaran (4): Mandi Junub
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ
Setelah berbicara tentang rukun wudhu, ayat ini berbicara tentang mandi junub.
Kata (الجنب) artinya jauh
Maksudnya di sini adalah keadaan seseorang yang terkena hadats besar karena jima’ (bersetubuh) atau keluar air mani, baik dalam keadaan terjaga atau dalam keadaan tidur (mimpi basah).
Maka orang seperti ini wajib baginya untuk mandi besar (mandi janabah).
Seseorang yang keadaannya seperti ini disebut junub (jauh) karena harus menjauhhi shalat, membaca Qur’an, memegang mushaf, masuk masjid dan lainnya sampai dia mandi. Juga seseorang yang keadaan seperti ini, biasanya ingin jauh-jauh dari orang lain, karena merasa dirinya dalam keadaan kotor atau sedang berhadats besar.
Pelajaran (5):
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
Penafsiran ayat ini sudah dibahas di dalam tafsir (QS. An-Nisa; 43) . pada ayat ini akan disampaikan ringkasnya saja.
Pada ayat ini disebutkan empat hal, dimana seseorang dibolehkan untuku bertayammum mengganti wudhu jika tidak mendapatkan air. Empat keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
1- Sakit, yaitu sakit yang jika tersentuh air akan menambah parah. Dalam keadaan seperti ini, dia boleh bertayammum.
2- Safar, yaitu seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh (dalam jarak dibolehkannya untuk mengQashar shalat, yaitu sekitar 85 KM). safar disebutkan di sini, karena biasanya di dalam safar ini sulit untuk menemukan air.
3- Seorang Berhadats kecil atau besar, jika tidak mendaapatkan air untuk berwudhu maka dibolehkan baginya bertayammum.
- Kata (الْغَاۤىِٕطِ) artinya adalah tempat yang rendah. Disebut demikian, karena seseorang yang hendak buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) biasanya mencari tempat yang rendah dan jauh dari pandangan orang.
Ini mirip dengan bahasa Indonesia, jika seseorang hendak BAK dan BAB, dia akan berkata kepada temannya, “saya ingin kebelakang dulu”. Maksudnya ke toilet, walaupun kadang toilet yang dimaksud letaknya di depan atau di samping.
4- Melakukan hubungan suami istri (Jima’), jika tidak mendapatkan air untuk mandi besar, maka boleh bertayammum.
- kata (لٰمَسْتُمُ) artinya menyentuh, tetapi maksudnya adalah ‘menyentuh khusus’ yaitu jima’.
Sebagian ulama mengartikan “menyentuh” di sini dengna makna zhahir yaitu menyentuh wanita dengan tangan tanpa ada perantara. Di antara mereka adda yang mensyaratkan penyentuhan ini menimbulkan syahwat.
Jika sesorang dalam salah satu keadaan di antara empat keadaan di atas, dan tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka dibolehkan untuk bertayammum dengan debu yang suci.
- Kata (التيمّم) artinnya “bermaksud” adapun secara istilah adalah bermaksud untuk mengambil tanah atau debu untuk diusapkan ke wajah dan kedua tangan.
- Adapun kata (الصعيد) artinya pemukulan bumi. Maksudnya disini adalah debu atau tanah.
Pelajaran (6): Cara Bertayammum
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ
Para ulama berbeda pendapat tentang cara bertayammum:
- Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah.
Berpendapat bahwa tayammum dilakukan dengan dua pukulan: Pukulan ke tanah untuk mengusap wajah, dan pukulan ke tanah untuk mengusap ke tangan sampai siku-siku.
- Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa yang di usap adalah wajah dan tangan sampai pergelangan tangan.
Pelajaran (7): Ajaran yang Mudah
مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ
- Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudhu sebagai syarat shalat dan mewajibkan mandi besar bagi yang terkena junub serta membolehkan tayammum bagi yang tidak mendapatkan air. Semua itu tujuannya bukan untuk memberatkan mereka
- Di dalam Islam tidak ada ajaran yang memberatkan, semuanya masih di dalam kemampuan manusia. Justru sebaliknya banyak ajaran Islam yang mengandung kemudahan bagi manusia itu sendiri.
- Allah berfirman,
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”
(QS. Al-Baqarah[2]: 185)
- Ini dikuatkan dengan firman-Nya,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ
“Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj[22]: 78)
- Juga dikuatkan dengan firman-Nya,
يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.” (QS. An-Nisa’[4]: 28)
Pelajaran (8): Tiga Tujuan
وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Penutup: ayat ini menjelaskan tiga tujuan disyaratkannya wudhu, mandi besar, dan tayammum yaitu,
- Untuk membersihkan orang-orang beriman dari segela bentuk kotoran, baik yang fisik maupun non fisik.
Kotoran fisik berupa najis, sedangkan kotoran non fisik berupa hati yang gelisah, tidak tenang, dendam, hasad, syirik, nifaq dan lainnya.
Kotoran fisik dibersihkan dengan bersuci yaitu, berwudhu dan mandi besar. Sedangkan kotoran non fisik dibersihkan dengan shalat, dzikir, dan do’a.
- Allah ingin menyempurnakan nikmat-Nya kepada orang-orang beriman. Ini mencakup nikmat lahir berupa air dan debu, dan nikmat batin berupa ajaran agama seperti berwudhu, cara mandi junub dan cara bertayammum.
- Supaya orang-orang beriman selalu bersyukur dengan nikmat-nikmat Allah tersebut, dan yang paling penting adalah bersyukur dengan nikmat agama Islam serta nikmat taufik sehingga mampu menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jakarta, Senin 30 Mei 2022
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »