Karya Tulis
727 Hits

Tafsir An-Najah QS[5]: 27 BAB 293 Kisah Habil dan Qabil


Tafsir An-Najah (QS. Al-Maidah[5]: 27-29)

BAB 293

Kisah Habil dan Qabil

 

۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

“Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah[5]: 27-29)

 

Pelajaran (1): Qabil dan Bani Israel

Terdapat beberapa hubungan antara kisah Qabil dan kisah Bani Israel pada ayat seelumnya, diantaranya;

  1. Bani Israel adalah contoh dari kaum yang membangkang perintah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Qabil adalah orang pertama yang membangkan dari perintah Allah.
  2. Bani Israel tidak mau mengakui kenabian Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena penyakit hasad yang ada di dalam diri mereka. Sedangkan Qabil adalah orang yang pertama kali hasad kepada saudaranya, karena qurbannya diterima Allah, sedangkan qurbannya diri sendiri tidak diterima Allah.
  3. Bani Israel membangkan dari perintah Allah untuk berjihad dan membunuh orang-orang Kafir dan dzalim yang menguasai Baitul Maqdis. Mereka tidak berani berperang dan membunuh,  padahal itu adalah perintah Allah. Sedangkan Qabil membangkan dari perintah Allah untuk tidak membunuh saudaranya sendiri. Tetap justru dia terlalu berani untuk membunuh saudaranya sendiri padahal hal itu dilarang.
  4. Nabi Musa dan Nabi Harun adalah dua saudara yang sangat harmonis, saling membantu dalam urusan dakwah. Keduanya sangat setia antara satu dengan yang lainnya, bahkan sampai akhir hayatpun tetap bersama. Keduanya meninggal dunia di Padang At-Tiin. Sedangkan Qabil sangat dengki dengan suadarnya yaitu Habil sampai berani membunuhnya. Dialah orang yang pertama kali menumpahkan darah manusia.
  5. Orang-orang Yahudi telah membunuh beberapa Nabi diantaranya adalah Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, dan berencana untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, tetapi Allah gagalkan rencana busuk mereka. Adapun Qabil adalah manusia pertama yang membunuh orang lain, yang juga merupakan saudaranya sendiri.

Motivasi pembunuhan baik yang ingin dilakukan orang-orang Yahudi maupun Qabil adalah kedengkiann dan hasad yang ada di dalam diri mereka.

Pelajaran (2): Membacakan Kisah

۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ

1)      Ini adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk membacakan kepada orang-orang Yahudi tentang berita kedua anak Adam dengan sebanarnya.

2)      Firman-Nya (وَاتْلُ عَلَيْهِمْ)

Membacakan ayat-ayat Allah kepada manusia adalah tugas para Nabi dan rasul, sebagaimana di dalam firman-Nya;

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ

“Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya…”(QS. Al-Jumu’ah[62]: 2)

 

Tujuan membacakan ayat-ayat ini agar hati mereka menjadi bersih dan iman mereka bertambah.

3)      Firman-Nya (نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ)

Kata (نَبَاَ) artinya berita penting yang harus menjadi perhatian, bukan kabar biasa.

a)      Kata (ا بْنَيْ اٰدَمَ) maksudnya dua anak kandung Adam yang bernama Qabil dan Habil. Kata (بِالْحَقِّۘ) maksudnya bahwa berita penting yang dibacakan ini adalah berita benar dan nyata, bukan cerita fiktif atau sebatas imajinasi seseorang

b)      Ini menunjukkan bahwa cerita-cerita yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah benar adanya dan semua telah terjadi. Tujuan pembacaan cerita-cerita tersebut adalah untuk diambil sebagai pelajaran hidup. Di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang kebenaran. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

“Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat. (Al-Qur’an) bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan merupakan pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya, memerinci segala sesuatu, sebagai petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf[12]: 111)

 

Pelajaran (3): Kurban yang dibakar Api

اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ

a)      Para ulama menyebutkan tentang latar belakang kisah Qabil dan Habil, bahwa Nabi Adam setiap mempunyai anak, lahir dari rahim siti Hawa dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Adam untuk menikahkan antara anak-anaknya secara silang, yaitu menikahkan anak perempuan pasangan kembar yang satu dengan laki-laki dari pasangan kembar yang lain. Saudara kembar Qabil adalah wanita cantik yang bernama (Iklimiya’),  sedang saudara kembar Habil adalah wanita yang kurang cantik yang bernama (Layudza). Qabilpun  ingin menikahi saudara kembarnya sendiri dan menolak untuk menikahi saudara kembarnya Habil, karena kurang cantik. Namun Nabi Adam tidak memperkenankan keinginan Qabil tersebut, dan memberikan solusi agar mereka berdua, yaitu Qabil dan Habil mempersembahkan Kurban, barangsiapa yang kurbannya diterima, wanita itu (Iklimiya’) menjadi miliknya.

b)      Habil adalah pemilik ternak, dia mempersembahkan kambingnya yang paling bagus dan gemuk dengan penuh senang hati. Sedangkan Qabil adalah pemilik ladang dan tanaman, dia mempersembahkan hasil tanamannya yang palinng jelek dan memberikan secara terpaksa. Allah menerima kurban Habil, tandanya kurban tersebut dimakan api dari langit. Sedang kurban Qabil tidak diterima oleh Allah, tananya tiddak dimakan api dari langit.

c)      Di kalangan kaum Yahudi juga demikian, tanda kurban mereka diterima Allah adalah dimakan api dari langit, tersebut di dalam firman Allah,

اَلَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ عَهِدَ اِلَيْنَآ اَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُوْلٍ حَتّٰى يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ ۗ

“(Mereka adalah) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami agar kami tidak beriman kepada seorang rasul sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api (yang datang dari langit)…” (QS.  Ali-Imran[3]: 183)

 

Pelajaran  (4): Momen Pembunuhan

قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

  1. Ketika melihat kurbannya tidak diterima Allah, sedangkan kurban saudaranya (Habil) diterima oleh Allah, Qabil mengancam akan membunuh Habil. Ancaman pembunuhan ini didasarkan atas kedengkian dan hasad dalam dirinya. Dan ancaman ini sangat serius, tidak main-main, karena diiringi dua penguat yaitu (ل) lam taukid dan (ن) nun taukid (taukid artinnya untuk menguatkan suatu kata)
  2. Setelah mendengar ancaman dari Qabil, kemudian Habil menjawab:

اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

“Hanya saja Allah menerima amal orang-orang muttaqin”.

 

Jawaban Habil ini mengandung beberapa hal.

  1. Allah hanya menerima amal orang yang bertaqwa, yaitu yang mengikhlaskan amal hanya karena Allah, bukan ingin dipuji orang atau untuk kepentingan dunia lainnya. Disini Qabil beramal bukan mencari ridha Allah, tetapi untuk mendapatkan (Iklimya’) saudara wanita kembarannya. Selain itu, Qabil berkurban dengan sangat terpaksa, makanya dia memberikan hasil tanamannya yang jelek. Jadi wajar, kalau kurbannya tidak diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
  2. Di Dalam ajaran Islam seseorang yang menyembelih hewan kurban, maka daging dan darahnya tidak sampai kepada Allah. tetapi yang sampai kepada Allah dan yang diterimanya adalah ketaqwaan dari orang yang berkurban. Ini sesuai dengan firman Allah,

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin”. (QS. Al-Hajj[22]: 37)

  1. Jika seseorang yang mengikhlaskan amalnya karena Allah, kemudian Allah menerima amalnya atau membalasnya dengan sesuatu yang bisa dilihat di dunia, seperti kebahagiaan hidup, lancarnya rezeki, mendapatkan kehormatan ditengah-tengah masyarakat atau yang sejenisnya. Maka tidak apa-apa dia menyebutkan bahwa semua itu dia dapatkan karena ketaqwaan dan keikhlasan. Tanpa harus menyebut dirinya adalah orang yang bertaqwa.

 

  1. Hal ini sudah dilakukan -paling tidak- oleh dua orang shalih dan dicatat di dalam sejarah serta diabadikan oleh al-Qur’an. Kedua orang tersebut adalah,
    1. Habil dengan pernyataannya.

اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

“Hanya saja Allah menerima amal orang-orang muttaqin”. (QS.Al-Maidah[5]: 27)

 

  1. Nabi Yusuf alaihi salaam dengan pernyataannya.

…قَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَاۗ اِنَّهٗ مَنْ يَّتَّقِ وَيَصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ

“…Sungguh, Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Siapa yang bertakwa dan bersabar, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang muhsin.” (QS.Yusuf[12]: 90)

 

Dalam ayat ini, Nabi Yusuf ingin mengakatakan bahwa kedudukannya sebagai pembesar Mesir dan menjadi pemimpin yang adil pada rakyatnya adalah karunia dari Allah karena ketaqwaan dan kesabarannya selama ini. Tetapi beliau tidak menyatakan bahwa dirinya orang yang bertaqwa. Beliau menggunakan kata-kata yang masih bersifat umum, bahwa barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka Allah tidak menyianyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (Muhsinin).

 

Pelajaran (5): Menjulurkan Tangan

لَىِٕنْۢ بَسَطْتَّ اِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِيْ مَآ اَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَّدِيَ اِلَيْكَ لِاَقْتُلَكَۚ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ

“Sesungguhnya jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-Maidah[5]: 28)

  1. Di dalam ayat ini terdapat dua sikap yang berbeda, sikap Qabil dan sikap habil.
    1. Sikap Qabil adalah sengaja menjulurkan tangannya kepada Habil dengan tujuan untuk membunuhnya.
    2. Sikap Habil adalah tidak mau menjulurkan tangan Qabil untuk membunuhnya.
    3. Pada waktu itu seseorang tidak boleh melawan orang yang ingin membunuhnya, karena dikhawatirkan jika ia melakukan perlawanan akan menyebabkan terbunuhnya orang lain. Dan hal ini dilarang. Oleh karena itu tidak ada pilihan kecuali pasrah. Inilah yang duilakukan Habil ketika Qabil ingin berencana membunuhnya.
    4. Kemudian Habil berkata,

اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ

“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-Maidah[5]: 28)

Perkataan Habil di atas mengandung dua makna:

  1. Habil tidak mau melakukan itu semua, karena takut terhadap siksaan Allah.
  2. Perkataan Habil di atas, sebenarnya secara tidak langsung telah menasehati Qabil agar mengurungkan niatnya untuk membunuh dirinya. Juga berisi nasehat kepada Qabil agar dia takut kepada siksa Allah.
  3. Adapun kalimat (رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ) sebagai penutup ayat, mempuyai makna bahwa Allah sebagai pencipta alam ini, termasuk yang menciptakan Habil dan Qabil. Maka tidak selayaknya bagi Qabil untuk menghilangkan ciptaan Allah tersebut dengan membunuhnya. Sebaliknya sebagai makhluk Allah dia harus bersyukur dengan cara menyembahnya dan menjaga jiwa manusia yang diciptakan Allah.
  4. Sikap Habil yang tidak mengadakan perlawanan ketika Qabil ingin membunuhnya, karena dia sangat tulus kepada Allah, dilakukan juga oleh Utsman bin Affan. Beliau melarang para pengawalnya untuk membela dirinya. Beliau tidak menginginkan pertumpahan darah, ketika terjadi pemberontakan untuk melengserkan dirinya. Akhirnya beliay terbunuh syahid, sebagaimana terbunuhnya Habil.

Pelajaran (6): Nasehat Habil

اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ تَبُوْۤاَ بِاِثْمِيْ وَاِثْمِكَ فَتَكُوْنَ مِنْ اَصْحٰبِ النَّارِۚ وَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا الظّٰلِمِيْنَۚ

“Sesungguhnya aku ingin engkau kembali (kepada-Nya) dengan (membawa) dosa (karena membunuh)-ku dan dosamu (sebelum itu) sehingga engkau akan termasuk penghuni neraka. Itulah balasan bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah[5]: 29)

  1. Dalam ayat ini, Habil melanjutkan nasehatnya kepada Qabil sebelum dia membunuhnya. Beliau berkata “Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan memikul dosaku dan dosamu, maka kau akan menjadi penghuni neraka. Itulah balasan bagi orang-orang yang dzalim.”
  2. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud perkataan Habil, “Memikul dosaku dan dosamu”.
    1. Pendapat Pertama; Mengatakan bahwa maksud dari “dosaku” adalah jika aku membela diriku dan ingin membunuhmu juga. Seseorang yang ingin membunuh orang lain dianggap dosa walaupun hal itu belum terlaksana, karena terbunuh duluan. Ini seperti yang tersebut di dalam hadits,

إِذَا الْتقَى الْمُسْلِمَانِ بسيْفيْهِمَا فالْقاتِلُ والمقْتُولُ في النَّارِ”قُلْتُ: يَا رَسُول اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ فمَا بَالُ الْمقْتُولِ؟ قَال: ” إِنَّهُ كَانَ حَرِيصاً عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

“Apabila (iltaqo al-muslimaani) dua orang muslim bertemu, dengan membawa pedang (bertengkar hingga salah satunya terbunuh), maka orang yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”, Aku (Nufail) berkata; “Yaa Rosululloh, si pembunuh (layak masuk neraka), maka bagaimana dengan orang yang dibunuh (mengapa juga masuk neraka)?”, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab; “Karena ia juga ingin membunuh (berniat atau sengaja membunuh saat bertengkar) temannya”

 

 

  1. Pendapat Kedua; Mengatakan bahwa maksud “dosaku” disini adalah dosa-dosaku di masa lalu. Ini sesuai dengan hadits yang menyatakan bahwa orang yang berbuat zhalim kepada seseorang, maka dosa orang yang dizhalimi akan dipikulkan kepada orang yang menzhaliminya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya :“Tahukah kalian siapakah orang orang yang bangkrut itu?”Para sahabat rodiyallahu ‘anhum_menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta.”Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat datang membawa pahala sholat, puasa, dan zakat, namun dia juga membawa dosa mencaci maki si A, menuduh zina si B tanpa bukti, memakan hartanya si C, membunuh si D, dan memukul si E. karena itu, sebagian pahala amal kebajikannya diberikan kepada mereka. Jika pahala kebajikannya sudah habis, sedangkan belum selesai urusannya maka dosa orang yang dianiaya diberikan kepadanya. Kemudian dia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

 

Hal ini juga dikuatkan dengan firman Allah,

وَلَيَحْمِلُنَّ اَثْقَالَهُمْ وَاَثْقَالًا مَّعَ اَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْـَٔلُنَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَمَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ ࣖ

 

“Mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka (sendiri) dan dosa-dosa (orang lain yang mereka perdaya) di samping dosa-dosa mereka. Pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan”. (QS. Al-Ankabut[29]: 13)

 

  1. Pendapat Ketiga; Mengatakakn bahwa maksud ayat di atas, Habil berkata, “Aku ingin agar engkau akan memikul dosa pembunuhanku dan dosamu yang lalu…” Jadi maksud dari kata (إثمى) “dosaku” disini adalah dosa pembunuhan terhadap diriku. Ini adalah pendapat mayoritas Ahli Tafsir.

 

Pelajaran (7): Menjadi Penghuni Neraka

Firman-Nya,

فَتَكُوْنَ مِنْ اَصْحٰبِ النَّارِۚ

  1. Sebagian Ulama mengatakan bahwa Qabil menjadi kafir karena diancam akan masuk neraka. Dan ungkapan “Menjadi penghuni neraka” ini hanya ditujukkan orang kafir. Pendapat ini lemah.
  2. Mayoritas Ulama mengatakan bahwa Qabil belum kafir tetapi telah melakukan dosa besar, karena membunuh saudaranya. Di antara dalilnya sebagai berikut;
    1. Dosa pembunuhan tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan seseorang, walaupun termasuk dosa besar. Allah berfirman,

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil”.  (QS. Al-Hujurat[49]: 9)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang sering berperang masih disebut orang-orang mukmin.

 

Hadits “Apabila (iltaqo al-muslimaani) dua orang muslim bertemu, dengan membawa pedang (bertengkar hingga salah satunya terbunuh)

إِذَا الْتقَى الْمُسْلِمَانِ بسيْفيْهِمَا فالْقاتِلُ والمقْتُولُ في النَّارِ”قُلْتُ: يَا رَسُول اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ فمَا بَالُ الْمقْتُولِ؟ قَال: ” إِنَّهُ كَانَ حَرِيصاً عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

“Apabila (iltaqo al-muslimaani) dua orang muslim bertemu, dengan membawa pedang (bertengkar hingga salah satunya terbunuh), maka orang yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”, Aku (Nufail) berkata; “Yaa Rosululloh, si pembunuh (layak masuk neraka), maka bagaimana dengan orang yang dibunuh (mengapa juga masuk neraka)?”, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab; “Karena ia juga ingin membunuh (berniat atau sengaja membunuh saat bertengkar) temannya”

Hadits di atas menunjukkan bahwa kedua orang yang saling membunuh masih disebut orang-orang Muslim.

  1. Orang muslim yang bermaksiat dan melakukan dosa besar, jika dia tidak bertaubat dia akan masuk neraka sementara waktu untuk membersihkan dosa-dosanya. Kemudian akan dimasukkan ke dalam surga.
  2. Habil tidak mau membela diri dan takut untuk membunuh Qabil. Ini menunjukkan bahwa Habil masih seorang muslim. Seandainya dia kafir tentunya dia berani membela diri dan berani membunuhnya juga.
  3. Firman-Nya,

 وَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا الظّٰلِمِيْنَۚ

 

Ayat ini menunjukkan bahwa Qabil adalah orang yang zhalim. Sedangkan pengertian zhalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam hal ini, semestinya Qabil menghormati dan menyayangi saudara kandungnya sendiri, tapi justru dia membunuhnya. Jadi pembunuhan yang tidak beralasan adalah perbuatan zhalim yang balasannya adalah api neraka.

Pelajaran (8): Hukum Membela Diri

Pelajaran dari ayat 28-29 (di atas)

Terdapat beberapa pelajaran dari dua ayat di atas yang belum dijelaskan di dalam penafsiran

Kedua ayat tersebut. Di antaranya,

1. Habil memberikan tiga nasehat kepada Qabil ketika berencana ingin membunuhnya. Ketiga nasehat tersebut adalah,

a. Supaya menghadirkan rasa takut kepada Allah dari dirinya, takut terhadap siksa dan balasanya di akherat. Nasehat ini mirip dengan nasehat seorang wanita yang diajak berzina oleh kerabat laki-lakinya yang telah membantu memenuhi sebagian kebutuhannya termasuk melunasi hutang-hutangnya. Ketika kerabat laki-lakinya mendekatinya. Wanita itu berkata “Bertaqwalah kepada Allah” maka laki-laki tersebut segera mengurungkan niatnya untuk berbuat zina. Sedangkan Qabil, walaupun sudah dinasehati oleh  Habil, tetap saja melakukan pembunuhan tersebut.

b. Habil menasehati Qabil, jika dia tetap melaksanakan rencananya untuk membunuh Habil, maka dia akan memikul dua dosa sekaligus, yaitu dosa Habil dan dosanya sendiri (Qabil) atau dosa pembunuhan dan dosa masa lalu.

c. Habil menasehatinya dengan ancaman neraka bagi yang berbuat zhalim.

Tetapi tiga nasehat di atas tidak digubris oleh Qabil, tetap saja dia melaksanakan rencananya yaitu membunuh Habil.

2. Hukum membela diri ketika seseorang akan membunuhnya.

Dalam hal ini harus dirinci terlebih dahulu:

A. Jika terjadi fitnah yang melanda kaum muslimin, seperti perang saudara yang tidak jelas, siapa yang benar siapa yang salah. Maka sikap yang paling baik adalah, tidak terlibat di dalamnya dan menghindar untuk membunuh orang lain yang belum jelas statusnya.

Bagaimana kalau seseorang ingin membunuhnya?

Sebagian ulama berpendapat dia tidak boleh melawannya, hal ini berdasarkan dua hadits.

a. Hadits Sa’ad bin Abi Waqash bahwa dia berkata “Wahai Rasulullah jika seseorang masuk kedalam rumahku dan ingin membunuhku, apa yang harus saya kerjakan?

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

كن الخير ابنى آدم

“Jadilah salah satu dari dua anak Adam yag terbaik”, yaitu Habil. Kemudian beliau membacakan ayat ini (28) (HR. Abu Daud)

b. Hadits Abu Dzar Radhiallahu Anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tentang sikap terhadap fitnah yang terjadi di antara kaum muslimin, apakah boleh ikut angkat senjata (mengambil pedang). Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bersabda, “Kalau begitu, engkau harus ikut gabung dengan mereka dalam tindakan saling membunuh. Tetapi jika engkau takut kilatan pedang menghentikanmu, maka tutuplah wajahmu di ujung kain selendang agar ia kembali dengan membawa dosa (pembunuhanmu) dan dosanya sendiri. (HR. Muslim)

B. Sebagian ulama mengatakan boleh membela diri, bahkan wajib karena itu termasuk dalam amar ma’ruf nahi munkar.

 

KARYA TULIS