Karya Tulis
88 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 5:3) Bab 274 Mengundi Nasib


 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.”

(Qs. al-Ma’idah: 3)

 

Pelajaran (1) Sepuluh Makanan yang Diharamkan

Ayat ini adalah yang dimaksud pada (Qs. al-Ma’idah: 1) yaitu

اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ

“Kecuali yang akan disebutkan kepadamu.”

Yaitu hal-hal yang diharamkan Allah untuk memakannya pada (Qs. al-Ma’idah: 3) ini.

Pada ayat ini (Qs. al-Ma’idah: 3), Allah mengharamkan kepada kaum muslimin sepuluh macam makanan, yaitu:

(1) Bangkai (الْمَيْتَةُ).

(2) Darah (الدَّمُ).

(3) Daging babi (لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ).

(4) Hewan yang disembelih atas nama selain Allah (وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ).

Empat macam makanan ini sudah diterangkan di dalam tafsir (Qs. al-Baqarah: 173)

(5) Hewan yang tercekik (وَالْمُنْخَنِقَةُ). Hewan yang mati tercekik ada dua jenis:

(a) Mati karena sengaja dicekik oleh manusia.

(b) Mati karena tercekik sendiri, seperti terlilit tali pengikatnya, atau kecelakaan lainnya.

Kedua jenis hewan seperti ini hukumnya haram untuk dimakan.

(6) Hewan yang mati karena dipukul (وَالْمَوْقُوْذَةُ), yaitu yang dipukul dengan benda tumpul yang keras atau berat, seperti kayu, batu, besik, tongkat. Kata (وَالْمَوْقُوْذَةُ) berasal dari kata (الوقذ) yang artinya “pukulan yang keras”.

Di dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah melempat dengan tombak kecil kea rah binatang dan mengenainya’.”

Beliau ﷺ bersabda,

إِذَا رَمَيْتَ بِمِعْرَاضِكَ فَخَزَقَ فَكُلْ، وَإِنْ أَصَابَ بِعَرْضِهِ فَإِنَّهُ وَقِيذٌ فَلَا تَأْكُلْ

“Jika engkau melempar dengan tombak kecil lalu mengenainya (hingga darah mengalir) maka makanlah. Tetapi jika yang mengenai adalah batangnya (pinggiran tombak) maka hewan tersebut mati terpukul. Maka janganlah engkau memakannya.” (HR. Muslim)

(7) Hewan yang mati karena jatuh dari atas atau ketinggian (وَالْمُتَرَدِّيَةُ) yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi, seperti dari atas bukti, atau atap rumah, atau dari atas pohon.

(8) Hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lain (وَالنَّطِيْحَةُ), walaupun tandukan melaukainya dan ada darah yang mengalir dari tubuhnya.

(9) Hewan yang mati karena dimangsan binatang buas (السَّبُعُ) seperti singa, harimau, serigala, dan sebagainya. Kecuali hewan tersebut didapati masih hidup dan sempat disembelih secara syar’i.

 

Pelajaran (2) Kecuali yang Disembelih

اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ

“Kecuali apa yang kalian sembelih.”

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengecualian pada ayat ini:

Pendapat pertama, yang dikecualikan adalah lima jenis hewan yang disebut di atas, yaitu: yang tercekik, yang mati terpukul, yang jatuh, yang ditanduk binatang lain, dan yang dimangsa binatang buas.

Maksudnya, apabila kelima jenis hewan tersebut didapatkan masih hidup kemudian sempat disembelih, maka halal untuk dimakan. Inilah pendapat yang lebih kuat.

Pendapat kedua, yang dikecualikan adalah hewan ayng diterkam binatang buas, yaitu kata terakhir yang paling dekat dengan pengecualian.

Pendapat ketiga, pengecualian di sini adalah pengecualian terputus. Maksudnya adalah sembilan macam hewan yang disebutkan sebelumnya, semuanya haram untuk dimakan. Kecuali jika ada hewan, selama yang disebutkan di atas yang disembelih secara syar’I maka boleh dimakan.

(10) Hewan yang disembelih untuk berhala.

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

“(Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala.”

Kata (النُّصُبِ) adalah “batu-batu”. Maksudnya di sini adalah batu-batu yang diletakkan oleh kaum musyrikin Quraisy di sekitar Ka’bah dan berjumlah sekitar 360 batu. Mereka menyembelih hewan-hewan korban di atas batu-batu itu.

Mereka meyakini bahwa menyembelih hewan di tempat tersebut lebih banyak pahalanya daripada menyembelih di tempat lain. Penyembelihan tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada berhala-berhala yang mereka sembah.

 Kata (النُّصُبِ) di sini berbeda dengan (الأصنام), karena an-nashbu hanya berupa batu tanpa ukiran, sedangkan al-ashnam adalah berhala, yaitu batu-batu yang mereka ukir sehingga menjadi patung-patung.

 

Pelajaran (3) Mengundi Nasib

وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا

“(Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah).”

(1) Sebelumnya telah diterangkan sepuluh jenis makanan yang diharamkan oleh Allah bagi orang-orang beriman untuk memakannya. Pada potongan ayat ini, Allah mengharamkan perbuatan yang dilakukan oleh kaum musyrikin jahiliyah yaitu mengundi nasib dengan anak panah.

(2) Kata (تَسْتَقْسِمُوْا) berasal dari kata (الإسْتِقْسَامُ) yang artinya “mengundi nasib”. Seseorang ingin mengetahui nasib hidupnya apakah baik atau buruk.

Kata (الْاَزْلَام) jamak dari (زَلَمٌ) yang artinya kayu seperti anak panah yang belum ditajamkan atau dipasang pada ujung besi.

(3) Pada zaman jahiliyah, jika salah seorang dari mereka ingin bepergian atau berperang atau menikah atau ada keperluan lainnya, makai a datang ke Ka’bah atau tempat yang terdapat berhala. Kemudian di tempat tersebut telah disediakan tiga anak panah yang bertuliskan “Tuhan memerintah” dan “Tuhan melarang” serta satu lagi kosong atau tidak terdapat tulisan apapun.

Apabila ia mendapatkan anak panah yang tidak bertuliskan apapun, makai a akan mengulangi undian hingga mendapatkan salah satu dari dua anak panah yang bertuliskan.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa “al-azlam (anak panah) pada masa jahiliyah itu ada tiga macam:

(a) Al-Azlam yang digunakan untuk mengundi nasib, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

(b) Al-Azlam yang digunakan untuk meminta keputusan yang menyangkut banyak orang, berjumlah tujuh batang anak panah yang diletakkan di samping berhala Hubal.

(c) Al-Azlam yang digunakan untuk berjudi, berjumlah sepuluh anak panah. Tujuah diantaranya bertuliskan dan tiga sisanya kosong (tanpa tulisan).

(4) Diriwayatkan dari Suraqah bin Malik ketika ingin mengejar Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dalam perjalanan hijrah ke Madinah, dia berkata. “Aku akan mengundi nasib terlebih dahulu, apakah aku akan mencelakakan mereka berdua atau tidak?” Ternyata undian yang keluar bertuliskan: “Jangan celakakan mereka berdua”. Dia tidak terima dengan hasil undian tersebut lalu mengulanginya hingga tiga kali. Semuanya keluar dengan tulisan yang sama: “Jangan celakakan mereka berdua”. Akan tetapi dia tetap bersikeras mengejar Rasulullah ﷺ dan terjadilah apa yang terjadi.

(5) Di dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ ketika masuk Ka’bah, beliau mendapati di dalamnya gambar Nabi Ibrahin dan Nabi Ismail ‘alaihima as-salam yang sedang membawa anak panah. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Sesungguhnya mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah tersebut selamanya.”

 

Pelajaran (4) Perbuatan Fasik

ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ

“Demikian itu perbuatan yang fasik.”

(1) Kata (فِسْقٌۗ) artinya “keluar”. Maksudnya di sini adalah keluar dari ajaran Allah dan keluar dari jalan yang lurus, sebagaimana di dalam firman Allah ﷻ,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ اَمْرِ رَبِّهٖۗ

“Dia termasuk (golongan) jin, kemudian dia mendurhakai (keluar dari) perintah Tuhannya.” (Qs. al-Kahfi: 50)

Ayat di atas menunjukkan abhwa Iblis berasal dari kalangan jin, tetapi ia keluar dari perintah Tuhannya.

(2) Perbuatan fasik ini ditujukan kepada “mengundi nasib dengan anak panah”. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan fasik ini ditujukan kepada sebelas larangan Allah yang telah disebutkan sebelumnya.

(3) Allah memerintahkan orang-orang beriman, apabila menghadapi masalah yang meragukan atau dalam kebingungan untuk menentukan pilihan atau memutuskan suatu masalah, agar mengerjakan shalat istikharah.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ »

“Rasulullah ﷺ biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari al-Qur’an. Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridha dengannya”.” (HR. al-Bukhari)

 

***

Jakarta, Sabtu, 28 Mei 2022

KARYA TULIS