Karya Tulis
101 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 5:3) Bab 275 Sempurnanya Agama


اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(Qs. al-Ma’idah: 3)

 

Pelajaran (1) Orang Kafir Berputus Asa

(1) Pada hari ini maksudnya ketika ayat ini turun, yaitu hari Jum’at bakda Ashar tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah) tahun 10 Hijriyah pada peristiwa Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Sedangkan Nabi Muhammad ﷺ dalam keadaan wukuf di atas untanya.

(2) Pada hari tersebut orang-orang kafir telah berputus asa untuk mengalahkan umat Islam atau memadamkan cahaya Allah, setelah manusia berbondong-bondong masuk dan memeluk agama Islam.

Di dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia masih bisa menimbulkan permusuhan di antara mereka.” (HR. Muslim)

(3) Firman-Nya,

فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ

“Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.”

(a) Ayat ini menunjukkan larangan untuk takut kepada orang-orang kafir, terutama sekarang mereka sudah mulai lemah, jumlahnya semakin sedikit, dan mereka berputus asa untuk mengalahkan umat Islam.

(b) Ayat ini juga memerintahkan untuk hanya takut kepada Allah, karena Dia-lah yang akan menolong umat Islam atas musuh-musuhnya.

(c) Rasa takut kepada Allah akan mendatangkan pertolongan-Nya dan mendatangkan kemenangan bagi umat Islam.

Allah berfirman,

وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ ۗذٰلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِيْ وَخَافَ وَعِيْدِ

“Kami pasti akan menempatkanmu di negeri-negeri itu setelah mereka. Yang demikian itu (berlaku) bagi orang yang takut akan kebesaran-Ku dan takut akan ancaman-Ku”.” (Qs. Ibrahim: 14)

 

Pelajaran (2) Sempurnanya Agama

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Ayat ini mengandung tiga hal:

Pertama: Disempurnakannya Agama Islam

(1) Hal itu karena Nabi Muhammad ﷺ ketika berada di Mekkah tidak ada syariat kecuali kewajiban mengerjakan shalat saja. Ketika sudah berada di Madinah, turunlah wajyu tentang halal dan haram, serta hukum-hukum yang lain, sampai datanglah kewajiban. Ketika beliau ﷺ melaksanakan ibadah haji, maka menjadi sempurnalah agama Islam.

(2) Diriwayatkan seorang Yahudi mendatangi Umar bin al-Khatthab, lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian memabca sebuah ayat di dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami (orang-orang Yahudi), niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” Umar bertanya, “Ayat yang mana itu?” Ia menjawab, “Yaitu firman Allah,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Maka Umar pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui hari dan waktu diturunkannya ayat itu kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu pada sore hari Arafah di hari Jumat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(3) Berkata mayoritas ulama, “Sempurnanya agama ini maksudnya sebagian besar hukum-hukum sudah diturunkan. Karena setelah ayat ini, turun juga ayat-ayat lain, seperti ayat riba dan ayat kalalah, serta yang lainnya.”

(4) Atau dikatakan bahwa sempurnanya sebagian besar ajaran agama, karena sejak itu tidak ada orang musyrik yang thawaf di Ka’bah dan tidak ada satupun yang thawaf dalam keadaan telanjang, serta umat Islam bisa wukuf di Arafah.

(5) Sebagian lain mengatakan bahwa agama Islam telah disempurnakan karena musuh-musuh Islam telah dihancurkan dan telah tegak agama Islam di atas agama-agama lain. Ini seperti dalam firman-Nya,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk dan agama yang benar agar Dia mengunggulkannya atas semua agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (Qs. ash-Shaff: 9)

(a) Ibnu Abbas berkata, “Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah telah menyempurnakan Islam, sehingga Allah tidak akan pernah menguranginya.”

(b) Sebagian ulama mengatakan bahwa hari Jumat bakda Ashar adalah waktu dimana Allah telah menyempurnakan penciptaan langit dan bumi, dan di saat itulah Allah menyempurnakan agama Islam. Terdapat hubungan era tantara keduanya.

Kedua: Sempurnanya Nikmat Allah

وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ

Sempurnanya nikmat Allah dengan sempurnanya agama Islam.

Nikmat ada dua, yaitu: (1) nikmat lahir, berupa: kesehatan, kekayaan, istri, anak, rumah dan lainnya; (2) nikmat batin, berupa: ilmu, kebahagiaan, iman, takwa dan ketaatan.

Kenikmatan lahir tidak akan sempurna hingga disempurnakannya nikmat batin, yaitu sempurnanya agama Islam ini.

Jadi kesempurnaan nikmat Allah terwujud dengan sempurnanya agama Islam. Dan nikmat yang paling besar dalam kehidupan manusia adalah nikmat iman dan Islam. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah ﷻ,

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sungguh, Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika (Dia) mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul (Muhammad) dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali Imran: 164)

Ketiga: Allah Ridha dengan Agama Islam

وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah agama Islam. Ini dikuatkan dengan beberapa firman-Nya,

(a) Firman Allah ﷻ,

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah ialah Islam.” (Qs. Ali Imran: 19)

(b) Firman Allah ﷻ,

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali Imran: 85)

Oleh karenanya kita diperintahkan untuk selalu mengucapkan ucapan yang sama, sebagaimana di dalam dzikir pagi dan petang,

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا

“Aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul.”

 

Pelajaran (3) Dalam Keadaan Terpaksa

فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ

“Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa.”

(1) Kata (اضْطُرَّ) dari kata (الضَّرَرُ) artinya “bahaya”. Maksudnya adalah seseorang berada dalam keadaan bahaya yang kemudian diartikan dengan “dalam keadaan darurat”.

(2) Kata (مَخْمَصَةٍ) dari kata (الخمص) artinya “kosongnya perut dari makanan” sehingga terasa sangat lapar.

Disebutkan di dalam hadits Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

Maka ayat di atas bisa diartikan “Barangsiapa dalam kondisi darurat karena sangat lapar…”

(3) Firman-Nya,

غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ

“Bukan karena ingin berbuat dosa.”

Kata (مُتَجَانِفٍ) berasal dari (الخنف) artinya “condong”. Maksudnya, jika seseorang dalam keadaan darurat karena lapar dan tidak ada kecondongan hati untuk bermaksiat (atau kesengajaan untuk berbuat maksiat), maka dibolehkan untuk memakan salah satu dari sepuluh makanan yang diharamkan oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.

 

Pelajaran (4) Apakah Wajib Memakan Bangkai?

فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(1) Penutup ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya memakan salah satu dari sepuluh makanan yang diharamkan di atas adalah haram dan berdosa bagi pelakunya, kecuali dalam keadaan darurat dan terpaksa, maka Allah memanfaatkan perbuatan tersebut.

Syarat kebolehan memakan makanan tersebut ada tiga:

(a) Darurat, seperti sangat lapar kalau tidak memakannya akan menyebabkan bahaya atau kematian.

(b) Tidak sengaja atau tidak bermaksud untuk melakukan itu.

(c) Tidak berlebihan di dalam memakannya.

Ketiga syarat tersebut juga tercantum di dalam firman Allah ﷻ,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 173)

Juga di dalam firman Allah ﷻ,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. an-Nahl: 115)

(2) Berkata Ibnu Katsir, “Para ahli fiqih berkata: “Terkadang pada kondisi tertentu memakan bangkai merupakan sesuatu yang wajib, yaitu ketika seseorang merasa jiwanya terancam, sedangkan ia tidak menemukan makanan lain selain bangkai tersebut. Terkadang memakan bangkai itu bersifat mustahab (dianjurkan) dan terkadang mubah, tergantung pada kondisi”.”

 

***

Jakarta, Sabtu, 28 Mei 2022

KARYA TULIS