Karya Tulis
119 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 5:6) Bab 279 Wudhu, Mandi dan Tayammum


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”

(Qs. al-Ma’idah: 6)

 

Pelajaran (1) Antara Ibadah dan Muamalat

(1) Pada ayat sebelumnya dijelaskan dua hal, yakni: makanan yang merupakan kebutuhan lahir manusia dan pernikahan yang merupakan kebutuhan batin manusia. Pada ayat ini, Allah menjelaskan amal ibadah yang merupakan kebutuhan spiritual (rohani) jiwa manusia untuk berhubungan dengan Penciptanya, berupa ibadah shalat. Sebelum ibadah shalat, diterangkan salah satu syaratnya yaitu berwudhu.

(2) Atau dikatakan, sebelum melakukan wudhu dan shalat, seseorang dianjurkan untuk menyelesaikan hajat perut dan hajat farji. Tujuannya supaya shalatnya menjadi khusyu’. Hadits dan atsar dalam masalah ini sangat banyak.

(3) Atau dikatakan bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan perjanjian pada ayat pertama. Perjanjian tersebut mencakup perjanjian dalam bidang muamalat seperti masalah makanan dan perjanjian manusia terhadap Allah.

Ayat ini menjelaskan perjanjian kedua, berupa shalat dengan menjelaskan terlebih dahulu syarat-syaratnya.

(4) Atau dikatakan bahwa perjanjian ada dua macam, yaitu:

(a) (عَهْدُ الرُبُوبِيَةِ) ‘Ahdur-Rububiyah yang berasal dari Allah, yaitu makanan dan pernikahan. Keduanya merupakan pemberian dari Allah ﷻ.

(b) (عَهْدُ العُبُودِيَةِ) ‘Ahdul ‘Ubudiyah yang berasal manusia, yaitu kewajiban beribadah kepada Allah dengan melaksanakan shalat. Dan salah satu syarat shalat adalah berwudhu.

(5) Berkata Ibnu ‘Arabi bahwa ayat ini termasuk ayat yang agung dan paling banyak mengandung hukum dalam ibadah. Benar, karena bersuci adalah setengah keimanan, sebagaimana di dalam hadits,

الوُضُوءُ شَطْرُ الإِيمَانِ

“Wudhu adalah setengah iman.” (HR. at-Tirmidzi)

Bahkan sebagian ulama menghitungnya sampai seribu masalah yang terkandung di dalam ayat ini.

 

Pelajaran (2) Sebab Turunnya Ayat Tayammum

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

“Lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci).”

(1) Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالُوا: أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِالنَّاسِ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَعَاتَبَنِي وَجَعَلَ يَطْعُنُ بِيَدِهِ فِي جَنْبِي فَلَا يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَتَيَمَّمُوا، فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ، قَالَتْ: فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan hingga ketika kami berada di daerah Al-Baida’ atau Dzatul Jaisy, kalungku terjatuh. Rasulullah ﷺ pun berhenti untuk mencarinya, dan orang-orang ikut berhenti bersama beliau. Mereka tidak memiliki air. Maka orang-orang datang kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu dan berkata, 'Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan Aisyah? Ia menahan Rasulullah ﷺ dan orang-orang, padahal mereka tidak berada di tempat yang memiliki air, dan mereka juga tidak memiliki air.'

Lalu Abu Bakar datang kepadaku sementara Rasulullah ﷺ sedang meletakkan kepalanya di pahaku dan tertidur. Ia pun berkata, 'Engkau telah menahan Rasulullah ﷺ dan orang-orang padahal mereka tidak memiliki air.'

Lalu ia menegurku dan menusuk pinggangku dengan tangannya. Aku tidak bisa bergerak karena posisi Rasulullah ﷺ yang berada di pangkuanku. Rasulullah ﷺ bangun di pagi hari dalam keadaan tidak memiliki air. Kemudian Allah menurunkan ayat tayammum, maka orang-orang pun bertayammum.

Usaid bin Hudhair berkata, 'Ini bukanlah keberkahan pertama yang datang dari kalian, wahai keluarga Abu Bakar.' Kemudian kami menggerakkan unta yang kutunggangi, dan ternyata kalung itu berada di bawahnya.” (HR. al-Bukhari)

Para ulama berbeda pendapat tentang hadits di atas, yaitu hadits tentang turunnya syariat tayammum: apakah turun berkaitan dengan (Qs. al-Ma’idah: 6) atau berkaitan dengan (Qs. an-Nisa’: 43). Al-Bukhari lebih cenderung bahwa hadits ini berkaitan dengan (Qs. al-Ma’idah: 6). Sedangkan al-Wahidi menyebutkan hadits ini berkaitan dengan (Qs. an-Nisa’: 43).

(2) Para ulama juga menjelaskan bahwa para sahabat sudah mengetahui cara berwudhu sebelum turun ayat ini sejak turunnya kewajiban shalat, Rasulullah tidaklah mengerjakan shalat kecuali dengan berwudhu dahulu. Hikmahnya agar ayat wudhu ini menjadi bagian dari ayat al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam sepanjang sejarah.

 

Pelajaran (3) Enam Rukun Berwudhu

اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

“Apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.”

 

Pertama: Niat

(1) Maksudnya (اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ) “Jika kalian hendak mengerjakan shalat”. Ini mengisyaratkan bahwa setiap muslim hendaknya dalam keadaan mengingat Allah ﷻ.

(2) Ayat ini bersifat mutlak siapa saja yang ingin melaksanakan shalat hendaknya berwudhu. Tetapi kemudian dibatasi hanya untuk orang yang sudah berhadts. Ini berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ yang melakukan shlata lima waktu pada saat Fathu Mekkah dengan sekali wudhu.

(3) Ayat ini juga menunjukkan bahwa seseorang sebelum berwudhu harus berniat untuk shalat, bukan untuk tujuan kebersihan. Niat termasuk rukun wudhu, menurut sebagian ulama.

(4) Adapun menurut al-Hanafiyah bahwa wudhu tidak perlu niat, karena wudhu adalah sarana untuk shalat. Suatu sarana untuk beribadah tidak wajib untuk niat, sedangkan tujuan utamanya adalah shalat.

 

Kedua: Membasuh Muka

فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ

“Maka basuhlah wajahmu.”

(1) Para ulama sepakat tentang wajibnya membasuh wajah. Sebagian ulama menyebutnya rukun wudhu yang kedua, setelat niat.

(2) Adapun batas wajah adalah secara vertikal dari atas, mulai tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke bawah, yaitu tempat tumbuhnya jenggot. Adapun secara horizontal adalah antara dua telinga.

(3) Sedangkan berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung dan dikeluarkan lagi) bukanlah termasuk di dalam membasuh wajah, maka keduanya tidaklah wajib, tetapi sunnah.

 

Ketiga: Membasuh Kedua Tangan

وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ

“Dan tanganmu sampai ke siku.”

(1) Rukun ketiga dari wudhu adalah membasuh kedua tangan sampai siku-siku. Disunnahkan untuk membasuh tangan kanan dulu, kemudian membasuh tangan kiri. Tetapi jika membasuh tangan kiri dulu, maka wudhunya tetap sah, hanya saja menyelisihi sunnah.

(2) Siku-siku termasuk bagian yang wajib dibasuh karena kata (اِلَى) dalam ayat ini artinya (مع) “bersama”. Maksudnya adalah “basuhlah kedua tanganmy sampai siku-siku, dan siku-siku juga wajib dibasuh”.

(3) Para ahli Bahasa Arab mengatakan bahwa (اِلَى) jika sebelum dan sesudahnya adalah sesuatu yang sama jenisnya, maka sesuatu yang datang sesudah (اِلَى) masuk ke dalam bagian sebelum (اِلَى), seperti dalam ayat ini, yaitu: antara tangan dan siku-siku adalah satu jenis.

Tetapi jika antara sesuatu sebelum (اِلَى) dan sesudahnya bukan satu jenis, maka apa yang datang sesudah (اِلَى) bukan bagian dari apa yang datang sebelum (اِلَى), seperti dalam firman Allah ﷻ,

الۡفَجۡرِ​ؕ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيۡلِ​ۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Qs. al-Baqarah: 187)

Ayat ini menunjukkan bahwa puasa hanya sampai malam, artinya malam tidak puasa lagi. Karena malam hari itu bukan satu jenis dengan siang hari.

 

Keempat: Mengusap Kepala

وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ

“Serta usaplah kepalamu.”

(1) Rukun keempat dari wudhu adalah mengusap kepala. Para ulama berbeda pendapat tentang kadar ukuran usapan:

(a) Abu Hanifah mengatakan bahwa yang wajib adalah membasuh serempat kepala. Alasannya bahwa huruf (ب) dalam kata (بِرُءُوْسِكُمْ) menunjukkan arti “sebagian”. Dan “sebagian” ini ukurannya adalah seperempat kepala.

Hal ini berdasarkan hadits al-Mughirah bin Syaibah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ ketika dalam keadaan safar, berwudhu dan mengusap ubun-ubun kepala beliau. Ubun-ubun itu dianggap seperempat kepala.

(b) Malik dan Ahmad mengatakan wajib mengusap seluruh kepala sebagai bentuk kehati-hatian.

Alasannya bahwa huruf (ب) di dalam kata (بِرُءُوْسِكُمْ) sebagai kata tambahan, sehingga makna ayat adalah “usaplah seluruh kepala kalian”.

(c) Asy-Syafi’i mengatakan yang wajib minimal tiga helai rambut tetapi sunnahnya mengusap seluruh kepala. Alasannya bahwa huruf (ب) di dalam kata (بِرُءُوْسِكُمْ) menunjukkan arti sebagian, dan minimal untuk disebut sebagian adalah tiga helai rambut.

 

Kelima: Membasuh Kedua Kaki

وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

“Dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.”

(1) Rukun kelima dari wudhu adalah membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Dalam hal ini terdapat dua qira’at (bacaan) yang mutawatir:

(a) Bacaan pertama yaitu (وَاَرْجُلَكُمْ) dengan mem-fathah-kan huruf (لَ), artinya (اَرْجُلَكُمْ) ini mengikuti kata yang sebelumnya (وُجُوْهَكُمْ) sehingga diartikan “basuhlah wajahmu dan kakimu”.

Dengan demikian membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki hukumnya wajib, sebagaimana wajibnya membasuh wajah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Selain ayat di atas mereka juga berdalil dengan perbuatan Nabi ﷺ ketika beliau berwudhu, yaitu dengan membasuh kedua kaki beliau hingga kedua mata kaki.

Juga terdapat hadits yang mengecam orang yang berwudhu tetapi tidak sempurna ketika membasuh kedua kakinya terdapat sebagian dari tumit kaki yang tidak terkena air.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang laki-laki berwudhu tetapi tumitnya tidak dibasuh. Beliau ﷺ bersabda,

ويْلٌ لِلْأَعْقابِ مِنَ النّارِ

“Celakalah bagi (pemilik) tumit-tumit dari api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(b) Bacaan kedua yaitu (وَاَرْجُلِكُمْ) dengan membaca kasrah pada huruf (لِ), artinya (وَاَرْجُلِكُمْ) mengikuti kata sebelumnya (بِرُءُوْسِكُمْ) sehingga ayat itu diartikan “usaplah kepalamu dan kedua kakimu”.

Dengan demikian yang wajib menurut pendapat ini adalah mengusap kedua kaki, bukan membasuhnya. Pendapat ini dinisbahkan kepada ath-Thabari dan kelompok Syi’ah.

(2) Adapun mayoritas ulama mengatakan bahwa membasuh kedua kaki sampai mata kaki hukumnya wajib dan termasuk rukun wudhu. Kewajiban ini berlaku, baik menggunakan bacaan fathah (نَصَبٌ) maupun menggunakan kasrah (جَرٌّ).

Untuk bacaan fathah atau nashab, penjelasannya sesuai yang telah diterangkan pada poin (a) di atas. Sedangkan untuk  bacaan kasrah atau jarr, tidaklah seperti yang dipahami oleh ath-Thabrani dan keompok Syi’ah.

Tidak mengapa bahwa (وَاَرْجُلِكُمْ) dibaca kasrah atau jarr karena memang merupakan salah satu bacaan yang mutawatir. Akan tetapi maknanya seperti makna bila dibaca fathah atau nashab. Sehingga tetap diartikan “basuhlah kakimu”.

Jika demikian, apa fungsi kasrah atau jarr?

Jawabannya bahwa agar di dalam membasuh kaki tidak berlebihan dalam menggunakan air, sebagaimana ketika mengusap kepala.

Mengapa perintah untuk tidak berlebihan dalam menggunakan air hanya ditujukan ketika membasuh kaki? Karena di sinilah kebiasaan orang boros dengan berlebihan di dalam menggunakan air.

 

Keenam: Tertib

Lima rukun di atas harus dilakukan secara berurutan dan tertib, mulai dari niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Tidak boleh menggeser atau membolak-balik urutan dari rukun pertama hingga rukun kelima.

 

Catatan:

Setelah menjelaskan tafsir ayat wudhu secara singkat, perlu ditambahkan beberapa catatan, diantaranya:

(1) Al-Hanafiyah berpendapat bahwa rukun wudhu hanya empat, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas, yaitu: membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki.

(2)  Sedangkan mayoritas ulama menambahkan beberapa rukun lagi, diantaranya:

(a) Niat.

(b) Urut (الترتيب) yaitu dalam berwudhu, seseorang harus mengerjakan rukun-rukun wudhu yang disebutkan dalam ayat secara berurutan.

(c) Bersambung secara berturut-turut (الموالاة) yaitu tidak ada jeda waktu antara satu rukun dengan rukun berikutnya.

Apabila seseorang membasuh wajahnya, kemudian melakukan pekerjaan lain yang membutuhkan waktu (jeda waktu) seperti mengambil handuk, kemudian baru melanjutkan untuk membasuh kedua tangannya, maka wudhunya tidak sah.

Sebagian ulama memberikan batasan adalah dengan keringnya anggota badan sebelum berpindah ke rukun berikutnya, maka dianggap wudhunya tidak sah.

(3) Sebagian ulama memasukkan perbedaan di dalam membasuh kedua kaki atau mengusapnya, ke dalam perbedaan dalam masalah akidah, bukan sekedar perbedaan fiqih. Hal itu karena yang berbeda pendapat dengan mayoritas ulama hanyalah kelompok Syi’ah dan ath-Thabrani.

 

Pelajaran (4) Mandi Junub

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

“Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah.”

(1) Setelah berbicara tentang rukun wudhu, ayat ini berbicara tentang mandi junub.

(2) Kata (الجُنُبٌ) artinya “jauh”. Maksudnya di sini adalah keadaan seseorang tang terkena hadats besar karena jima’ (bersetubuh) atau keluar air mani, baik dalam keadaan terjaga atau dalam keadaan tidur (mimpi basah). Maka orang seperti ini wajib baginya untuk mandi besar (mandi janabah).

(3) Seseorang dengan keadaan seperti di atas disebut junub (jauh) karena harus menjauhi shalat, membaca al-Qur’an, memegang mushaf, masuk ke masjid, dan lainnya, hingga ia mandi.

Juga seseorang dengan keadaan seperti demikian, biasanya ingin menjauh dari orang lain, karena merasa dirinya dalam keadaan kotor atau sedang berhadats besar.

 

Pelajaran (5) Empat Kelompok yang Bertayammum

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

“Jika kamu sakit dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.”

(1) Penafsiran ayat ini sudah dibahas di dalam tafsir (Qs. an-Nisa’: 43). Pada ayat ini disampaikan ringkasannya saja.

(2) Pada ayat ini disebutkan empat hal dimana seseorang dibolehkan untuk bertayammum sebagai pengganti wudhu jika tidak mendapatkan air. Empat keadaan terebut adalah:

(a) Sakit, yaitu sakit yang jika tersentuh air maka akan menambah parah penyakitnya. Dalam keadaan seperti ini, dia boleh bertayammum.

(b) Safar, yaitu seseorang yang sedang melakukan perjalan jauh (dalam jarak dibolehkannya untuk meng-qashar shalat, yaitu sekitar 85 km). Safar disebutkan di sini, karena biasanya di dalam safar sulit untuk mendapatkan air.

(c) Seseorang yang berhadats kecil atau besar, jika tidak mendapatkan air untuk berwudhu maka dibolehkan baginya bertayammum.

§ Kata (الْغَاۤىِٕطِ) artinya adalah tempat yang rendah. Disebut demikian karena seseorang yang hendak buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) biasanya mencari tempat yang rendah dan jauh dari pandangan orang lain.

Ini mirip dengan Bahasa Indonesia, jika seseorang hendak BAK atau BAB, ia akan berkata kepada temannya, “Saya ingin ke belakang dulu.” Maksudnya adalah ke toilet, walaupun toilet tidak selalu berada di belakang rumah, bisa di ruangan bagian samping atau depan.

(d) Melakukan hubungan suami-istri (jima’), jika tidak mendapatkan air untuk mandi junub, maka boleh bertayammum.

§ Kata (لٰمَسْتُمُ) artinya “menyentuh”, tetapi maksudnya adalah “menyentuh khusus” yaitu jima’.

Sebagian ulama mengartikan “menyentuh” di sini dengan makna zhahir, yaitu menyentuh wanita dengan tangan tanpa ada perantara. Di antara mereka ada yang mensyaratkan penyentuhan yang menimbulkan syahwat.

Jika seseorang berada dalam salah satu dari empat keadaan di atas, dan tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka diboelhakn untuk bertayammum dengan debu yang suci.

§ Kata (فَتَيَمَّمُوْا) berasal dari (التَّيَمُّمُ) artinya “bermaksud”. Adapun secara istilah adalah bermaksud mengambil tanah atau debu untuk diusapkan ke wajah dan kedua tangan.

§ Adapun kata (صَعِيْدًا) artinya “permukaan bumi”. Maksudnya di sini adalah debu atau tanah.

 

Pelajaran (6) Cara Bertayammum

فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

“Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.”

Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara bertayammum:

(1) Al-Hanafiyah dan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali pukulan. Pukulan pertama ke tanah untuk mengusap wajah, dan pukulan kedua ke tanah untuk mengusap ke tangan sampai siku-siku.

(2) Al-Malikiyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa yang diusap adalaj wajah dan tangan sampai pergelangan tangan.

 

Pelajaran (7) Ajaran yang Mudah

مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ

“Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan.”

(1) Allah ketika mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudhu sebagai syarat shalat, dan mewajibkan mandi besar bagi yang terkena junub, serta membolehkan tayammum bagi yang tidak mendapatkan air; semua itu tujuannya bukanlah untuk memberatkan mereka.

(2) Di dalam Islam tidak ada ajaran yang memberatkan, semuanya masih di dalam kemampuan manusia. Ajaran Islam mengandung banyak kemudahan bagi manusia.

(3) Allah ﷻ berfirman,

يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. al-Baqarah: 185)

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍۢ ۚ

“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (Qs. al-Hajj: 78)

Juga dikuatkan dengan firman-Nya,

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَـٰنُ ضَعِيفًۭا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (Qs. an-Nisa’: 28)

 

Pelajaran (8) Tiga Tujuan

وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Penutup ayat ini menjelaskan tiga tujuan disyariatkannya wudhu’, mandi besar dan tayammum, yaitu:

(1) Untuk membersihkan orang-orang beriman dari segala bentuk kotoran, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Kotoran fisik berupa najis, sedangkan kotoran non-fisik berupa hati yang gelisah, tidak tenang, dendam, fasik, syirik, nifak dan lainnya.

Kotoran fisik dibersihkan dengan bersuci, yaitu berwudhu dan mandi besar, sedangkan kotoran non-fisik dibersihkan dengan shalat, dzikir, dan berdoa.

(2) Allah ingin menyempurnakan nikmat-Nya bagi orang-orang beriman. Ini mencakup nikmat lahir, berupa air dan debu; serta nikmat batin berupa ajaran agama seperti cara berwudhu, cara mandi junub, dan cara bertayammum.

(3) Supaya orang-orang beriman selalu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah tersebut, dan yang paling penting adalah bersyukur atas nikmat agama Islam, serta nikmat taufik sehingga mampu menjalankan perintah-perintah Allah.

 

***

Jakarta, Senin, 30 Mei 2022

KARYA TULIS