Karya Tulis
87 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 6:114-117) Kalimat Tuhanmu Benar dan Adil


أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡتَغِي حَكَمٗا وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ مُفَصَّلٗاۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٞ مِّن رَّبِّكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

 “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”

(Qs. al-An’am: 114)

 

Pelajaran (1) Jangan Engkau Ragu-ragu

(a) Al-Biqa’i menyebutkan bahwa pada ayat-ayat sebelumnya telah dibahas hal-ahal yang ghaib, yaitu tentang bukti-bukti yang diminta kaum musyrikin akan kebenaran Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah. Kebiasaan kaum jahiliyah jika terjadi perselisihan antara dua belah pihak maka mereka akan mendatangkan dukun untuk memutuskan perkara yang mereka perselisihkan.

Pada ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menolak kehadiran mereka dan mengatakan bahwa satu-satunya hakim yang berhak dijadikan rujukan terhadap yang mereka perselisihkan adalah Allah subhanahu wa ta’ala.

(b) Al-Mawardi menyebutkan sebab turunnya ayat ini, bahwa kaum musyrikin Quraisy meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk mendatangkan hakim dari kalangan Yahudi atau Nasrani untuk memutuskan tentang kebenaran atas apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

(1) Firman-Nya,

أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡتَغِي حَكَمٗا وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ مُفَصَّلٗاۚ

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?”

(a) Berkata al-Qurthubi, “Kata (الحكم) lebih mendalam maknanya disbanding dengan kata (الحاكم), sebab tidak ada yang berhak menggunakan gelar (الحكم) kecuali yang menghukumi dengan kebenaran. Kata ini juga mengandung makna pujian dan penghormatan. Sedangkan kata (الحاكم) diambil dari kata kerja, digunakan juga untuk menyebut orang yang menghukumi dengan cara yang tidak benar.

(b)  Al-Mawardi menjelaskan bahwa kata (مُفَصَّلٗا) pada ayat di atas mempunyai empat makna:

(b.1) Menjelaskan ayat-ayat di dalamnya sehingga mudah dipahami.

(b.2) Membedakan antara orang yang jujur dan pembohong.

(b.3) Membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara hidayah dan kesesatan.

(b.4) Membedakan antara perintah dan larangan yang dimakruhkan, yang halal dan yang haram.

(2) Firman-Nya,

وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٞ مِّن رَّبِّكَ بِٱلۡحَقِّۖ

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya.”

(a) Maksud dari (وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ) di sini adalah para pendeta Yahudi dan Nasrani mengetahui tentang kebenaran Nabi Muhammad ﷺ dari Kitab Taurat dan Injil.

Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa kaum Yahudi mengetahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah belajar Kitab Taurat dari mereka. Sebab jika memang terjadi demikian, tentu mereka akan mengumumkan hal tersebut kepada masyarakat umum.

(b) Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud dari orang-orang yang diberi kitab pada ayat di atas adalah para pendeta Yahudi yang telah masuk Islam, seperti ‘Abdullah bin Salam dan Muhairiq.

(c) Atha’ berpendapat bahwa yang dimaksud orang-orang yang diberi kitab adalah para sahabat senior Nabi Muhammad ﷺ, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dengan demikian menurut Atha’, yang dimaksud (ٱلۡكِتَٰبَ) pada ayat ini adalah al-Qur’an.

(3) Firman-Nya,

فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

“Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”

(a) Penutup ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu “Janganlah negkau sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu bahwa Ahlul Kitab mengetahui al-Qur’an ini diturunkan dari Tuhanmu dengan kebenaran.”

Bisa juga diartikan bahwa ayat ini ditujukan kepada siapa saja yang mendengarnya. Sehingga bisa diartikan, “Wahay yang mendengar ayat ini, janganlah engkau sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu bahwa al-Qur’an ini diturunkan dari Allah dengan kebenaran.”

(b) Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat di atas mirip dan semakna dengan firman Allah,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظۡلِمُ ٱلنَّاسَ شَيۡـٔٗا وَلَٰكِنَّ ٱلنَّاسَ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (Qs. Yunus: 44)

 

Pelajaran (2) Kalimat Tuhan-Mu Benar dan Adil

وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

 “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-An’am: 115)

Jika pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang diturunkan oleh Allah dengan kebenaran dan telah diketahui pula oleh para Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani; maka ayat ini menguatkan lagi dengan menyatakan bahwa seluruh isi al-Qur’an adalah kebenaran, juga seluruh hukumnya adalah adil.

(1) Firman-Nya,

وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.”

(a) Al-Mawardi menjelaskan kesempurnaan “Kalimat Tuhanmu” dengan empath al, yaitu:

(a.1) Sempurna hujjah dan dalilnya.

(a.2) Sempurna hukum-hukum dan perintah-perintahnya.

(a.3) Sempurna peringatannya dengan memberikan janji dan ancaman.

(a.4) Sempurna perkataannya dan gambarannya.

(b) Adapun yang dimaksud bahwa “Kalimat Tuhanmu” sebagai kalimat yang benar dan adil adalah:

(b.1) Ibnu Katsir menyebutkan dari Qatadah bahwa maksudnya adalah “Benar dalam ucapan-Nya dan adil dalam keputusan-Nya.”

(b.2) Ibnu al-Jauzi menyebutkan pendapat kedua, yaitu: “Benar dalam janji dan ancaman-Nya, serta adil dalam perintah dan larangan-Nya.”

(2) Firman-Nya

لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.”

(a) Yang dimaksud dengan “Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya” menurut Ibnu al-Jauzi ada dua, yaitu:

(a.1) Tidak mampu seorang pendusta pun untuk menambah atau mengurangi kalimat-Nya.

(a.2) Tidak akan diselisihi janji-janji-Nya dan tidak aka nada yang akan bisa mengubah hukum-Nya.

(b) Al-Qurthubi berkata, “Ayat di atas menunjukkan kewajiban mengikuti makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an, karena ia merupakan kebenaran yang tidak mungkin digantikan dengan sesuatu yang merusaknya. Al-Qur’an datang dari Tuhan yang Maha Bijak dimana tidak sedikit pun urusan yang tersembunyi dari-Nya.

 

Pelajaran (3) Taat kepada Kebanyakan Manusia

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Qs. al-An’am: 116)

Jika pada ayat yang lalu telah dijelaskan tentang bukti-bukti kebenaran Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi dan utusan Allah, juga tentang telah sempurnanya al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah (bahwa semua perintahnya benar dan seluruh hukumnya adil); maka pada ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk berpaling dari orang-orang yang tidak beriman, walaupun mereka adalah mayoritas penduduk bumi.

(1) Firman-Nya,

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”

(a) Ibnu al-Jauzi menukil dari al-Farra’ bahwa sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir yang mengatakan kepada kaum muslimin, “Apakah kalian memakan hewan yang kalian bunuh sendiri dan tidak memakan hewan yang dibunuh oleh Tuhan kalian?” Maka turunlah ayat ini.

(b) Ayat ini berisi larangan kepada Nabi ﷺ dan kaum muslimin untuk menaati orang-orang kafir ketika mereka menyuruh untuk memakan bangkai dan makanan yang dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. Termasuk di dalamnya larangan menaati mereka untuk mengerjakan maksiat kepada Allah dalam bentuk apapun juga.

(c) Dari ayat di atas, Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa kebanyakan penduduk bumi berada di atas kesesatan, sebagaimana firman Allah,

وَلَقَدۡ ضَلَّ قَبۡلَهُمۡ أَكۡثَرُ ٱلۡأَوَّلِينَ

“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.” (Qs. ash-Shaffat: 71)

Juga ddalam firman-Nya,

وَمَآ أَكۡثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوۡ حَرَصۡتَ بِمُؤۡمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Qs. Yusuf: 103)

(d) Kenapa kebanyakan penduduk bumi di atas kesesatan? Ibnu ‘Asyur menjawabnya bahwa kebenaran dan petunjuk membutuhkan akal sehat, jiwa besar, perenungan tentang manfaat dan madharat, mengedepankan kebenaran di atas hawa nafsu, dan kearifan di atas syahwat, senang berbuat baik kepada manusia.

Sifat-sifat di atas jika hilang dari seseorang, maka dia bisa tersesat. Sebaliknya, jika terkumpul pada diri seseorang, maka akan menjadi sempurna dan itu atas izin Allah. Inilah yang ada pada diri para nabi dan rasul serta para pengikutnya.

(2) Firman-Nya,

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

(a) Salah satu alasan mengapa dilarang untuk mengikuti kebanyakan manusia, karena di dalam beragama mereka mengikuti prasangka-prasangka belaka. Mereka tidak memiliki ilmu.

Al-Baidhawi mengatakan, “Mereka menyangka bahwa nenek moyang mereka berada di atas kebenaran.”

(b) Apa perbedaan (ٱلظَّنّ) dan (الخرص) pada ayat ini?

Salah satu jawabannya adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur: (ٱلظَّنّ) di sini diartikan mereka menyangka bahwa nenek moyang mereka berada di atas kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh al-Baidhawi di atas. Hal ini dikuatkan dengan adanya kata “mengikuti”.

Sedangkan kata (يَخۡرُصُونَ) yang berasal dari kata (الخرص) diartikan bahwa mereka menyangka diri mereka di atas kebenaran, yaitu dengan cara menambah ajaran-ajaran nenek moyang mereka dengan hal-hal yang mereka sendiri tidak meyakini kebenaranya, misalnya perkataan mereka sendiri bahwa bangkai boleh dimakan karena itu sembelihan Allah.

 

Pelajaran (4) Allah Memberikan Hidayah

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِۦۖ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. al-An’am: 117)

Beberapa pelajaran dari ayat di atas adalah:

(a) Berkata Ibnu Athiyah, “Ayat ini berisi tentang berita tetapi mengandung ancaman kepada orang-orang sesat dan janji baik untuk orang-orang yang mendapatkan hidayah.”

(b) Berkata ar-Razi, “Redaksi ayat di atas menunjukkan bahwa perhatian Allah untuk menampakkan pemebrian hidayah kepada manusia jauh lebih banyak daripada perhatian-Nya untuk menunjukkan kesesatan orang-orang yang sesat.”

(c) Berkata Ibnu Asyur, “(Ayat ini menunjukkan bahwa) Allah lah yang paling mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang yang sesat dan orang-orang yang mendapatkan hidayah. Tidak ada yang lain.”

(d) Ibnu al-Jauzi menukil perkataan Abu Sulaiman bahwa maksud ayat ini adalah mengingatkan Nabi Muhammad ﷺ agar tidak terpedaya dengan orang-orang yang bersumpah jika diturunkan bukti akan kebenaran Nabi Muhammad ﷺ maka mereka akan beriman; sebab seseorang tidak akan beriman kecuali yang telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

 

***

Karawang, Ahad, 6 Agustus 2023

KARYA TULIS