Karya Tulis
68 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 6:118-121) Taat kepada Syaithon


فَكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كُنتُم بِـَٔايَٰتِهِۦ مُؤۡمِنِينَ

“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.”

(Qs. al-An’am: 118)

 

Pelajaran (1) Tanda Keimanan

(1) Pada ayat yang lalu dijelaskan bahwa kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin, “Jika kalian menyembah Allah dan beriman kepada-Nya, mengapa kalian tidak mau memakan hewan yang disembelih oleh Allah (maksudnya adalah bangkai). Dan pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa tanda iman kepada Allah adalah memakan hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, bukan memakan bangkai.

(2) Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keharaman memakan hewan yang disembelih dengan selain nama Allah, sebagaimana orang-orang kafir yang membolehkan bagi mereka memakan bangkai dan hewan yang disembelih untuk berhala-berhala.

(3) Berkata Atha’, “Di dalam ayat ini terdapat perintah untuk menyebut nama Allah ketika minum, menyembelih (hewan) dan makan.”

(4) Menurut al-Jashshash, perintah ‘makanlah’ pada ayat ini mengandung makna kebolehan, bukan suatu kewajiban. Ini seperti di dalam beberapa firman Allah, diantaranya:

(a) Firman-Nya,

وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ

“Dan apabila kamu telah halal (menyelesaikan ihram/ibadah haji), maka berburulah kalian.” (Qs. al-Ma’idah: 2)

Jadi ‘berburulah’ di sini hukumnya boleh, tidak wajib.

(b) Firman-Nya,

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.” (Qs. al-Jumu’ah: 10)

Jadi hukum ‘bertebaran’ di muka bumi setelah shalat Jum’at itu hukumnya boleh, tidak wajib.

(5) As-Sa’di menyimpulkan dari firman-Nya (إِن كُنتُم بِـَٔايَٰتِهِۦ مُؤۡمِنِينَ) bahwa tanda seorang mukmin adalah menyelisihi kaun jahiliyah dalam kebiasaan buruk ini, yang mana di dalamnya mengandung perbuatan yang mengubah syariat Allah.

 

Pelajaran (2) Pada Dasarnya Segala Sesuatu itu Halal

وَمَا لَكُمۡ أَلَّا تَأۡكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَقَدۡ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ إِلَّا مَا ٱضۡطُرِرۡتُمۡ إِلَيۡهِۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا لَّيُضِلُّونَ بِأَهۡوَآئِهِم بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُعۡتَدِينَ

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-An’am: 119)

Masih menurut sa-Sa’di, ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu termasuk di dalamnya berbagai jenis makanan hukumnya boleh. Dan selama belum ada dalil syariat yang mengharamkannya, maka makanan tersebut statusnya halal untuk dikonsumsi. Atau dengan kata lain, setiap sesuatu yang Allah mendiamkannya, maka sesuatu itu hukumnya halal. Hal tersebut karena yang haram telah dijelaskan oleh Allah secara rinci, sehingga kalau tidak ada penjelasan dari Allah berarti hukumnya tidak haram. Bahkan yang haram pun boleh dikerjakan jika dalam keadaan darurat.

(1) Firman-Nya,

وَقَدۡ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ إِلَّا مَا ٱضۡطُرِرۡتُمۡ إِلَيۡهِۗ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan secara rinci semua yang diharamkan. Menurut asy-Syinqithi bahwa penjelasan yang rinci tentang makanan yang diharamkan terdapat di dalam firman Allah,

قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.” (Qs. al-An’am: 145)

Beliau juga tidak sependapat dengan sebagian ulama tafsir yang menyatakan bahwa penjelasan yang rinci tentang makanan yang diharamkan terdapat dalam firman Allah,

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ma’idah: 3)

Alasannya adalah karena ayat ini tercantum di dalam surah al-Ma’idah yang merupakan surah yang turun terakhir di Madinah. Sedangkan ayat yang sedang dibahas (Qs. al-An’am: 119) merupakan ayat Makkiyyah (surah yang turun di Mekkah). Wallahu a’lam.

(2) Firman-Nya,

وَإِنَّ كَثِيرٗا لَّيُضِلُّونَ بِأَهۡوَآئِهِم بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُعۡتَدِينَ

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”

(a) Di sini Allah menjelaskan betapa sebagian besar dari mereka, yaitu kaum musyrikin yang sesat dan menyesatkan karena mengikuti hawa nafsunya tanpa mempunyai dasar ilmu sedikitpun.

Sesat dan menyesatkan karena menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Yaitu dengan mengatakan bahwa hewan yang mati tercekik, jatuh dari atas, terkena tanduk, maupun yang mati karena sakit (semua ini disebut bangkai) adalah makanan yang halal dimakan, sebab (menurut mereka) disembelih Allah; sedangkan hewan yang disembelih manusia adalah haram.

(b) Al-Baghawi menyebutkan pendapat lain, bahwa yang dimaksudkan pada ayat ini adalah ‘Amru bin Luhai dan orang-orang musyrik yang mengikutinya, telah menciptakan ajaran baru berupa bahirah, saibah, washilah dan ham, sebagaimana disebut di dalam surah al-Ma’idah ayat 103,

مَا جَعَلَ ٱللَّهُ مِنۢ بَحِيرَةٖ وَلَا سَآئِبَةٖ وَلَا وَصِيلَةٖ وَلَا حَامٖ وَلَٰكِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۖ وَأَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ

“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Qs. al-Ma’idah: 103)

(c) Mayoritas al-Qurra’ seperti ‘Ashim, Hamzah, dan al-Kisa’i membaca (لَّيُضِلُّونَ) dengan men-dhammah-kan huruf Ya’ (يُ) yang berarti ‘mereka sesat dan menyesatkan orang lain’. Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Ya’kub membaca (لَّيَضِلُّونَ) dengan mem-fathah-kan huruf Ya’ (يَ) yang berarti ‘mereka berada di dalam kesesatan’.

Menurut Ibnu al-Jauzi bacaan mayoritas ulama lebih mendalam, karena setiap orang yang menyesatkan, pasti sesat. Akan tetapi tidak semua orang sesat pasti menyesatkan orang lain.

(d) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang bisa menjadi sesat dikarenakan dua hal, yaitu:

  • Mengikuti bisikan hawa nafsu.
  • Tidak mempunyai ilmu.

(e) Al-Qurthubi mengatakan bahwa arti (بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ) di sini adalah ‘tanpa mengetahui ilmu tentang hikmah di balik penyembelihan’, yaitu mengeluarkan darah yang Allah haramkan untuk dimakan. Kondisi ini berbeda dengan seekor hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih. Oleh karenanya, Allah mensyariatkan penyembelihan pada tempat khusus (yaitu leher), bukan di tempat lainnya, agar darah bisa mengalir mengalir keluar (dengan lancar).

(f) Di antara manfaat penyembelihan hewan secara syar’i adalah sebagai berikut:

(f.1) Menjadikan daging hewan halal untuk dikonsumsi.

(f.2) Menyebabkan kualitas daging menjadi lebih baik dan sehat. Hal ini dikarenakan ketika proses menyembelih, darah keluar dari tubuh hewan secara maksimal.

(f.3) Menurut para ahli, darah adalah sumber kontaminasi, jika tidak dikeluarkan secara maksimal maka daging juga terkontaminasi.

(f.4) Darah yang tidak mengalir akan menggumpal memenuhi aliran darah dan otot pada hewan. Akibatnya darah tersebut bisa menjadi media pertumbuhan mikro-organisme. Ini sangat berbahaya ketika dagingnya dimakan.

(f.5) Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa mikroba yang ditemukan pada ayam segar yang disembelih adalah sebesar 3,3 x 105/CFU. Sedangkan pada ayam yang sudah menjadi bangkai ditemukan mirkoba sebesar 8,9 x 107/CFU.

(f.6) Selain itu jika hewan tersebut terjangkit penyakit tertentu, maka ada kemungkinan menular kepada manusia yang mengkonsumsinya.

 

Pelajaran (3) Dosa yang Tampak dan yang Tersembunyi

وَذَرُواْ ظَٰهِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَبَاطِنَهُۥٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡسِبُونَ ٱلۡإِثۡمَ سَيُجۡزَوۡنَ بِمَا كَانُواْ يَقۡتَرِفُونَ

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.” (Qs. al-An’am: 120)

Pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa Allah telah menjelaskan secara rinci apa-apa yang diharamkan. Kemudian pada ayat ini, Allah memerintahkan agar perbuatan-perbuatan dosa harus segera ditinggalkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

(1) Firman-Nya,

وَذَرُواْ ظَٰهِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَبَاطِنَهُۥٓۚ

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.”

(a) Dosa yang tampak maupun yang tersembunyi menurut al-Baghawi adalah seluruh dosa, karena dosa itu tidak lepas dari dua jenis tersebut.

Adapun al-Qurthubi lebih detail lagi dalam menjelaskan masalah ini dengan mengatakan, “Yang dimaksud dengan dosa yang tampak adalah dosa-dosa yang dilakukan oleh anggota badan, sedangkan dosa yang tersembunyi adalah dosa-dosa yang dilakukan oleh hati (amalan hati).

Kemudian beliau berkata, “Martabat seperti ini (orang-orang yang bisa meninggalkan dua jenis dosa tersebut) tidak bisa dicapai kecuali orang yang bertakwa dan berbuat baik.”

Ini seperti apa yang tercantum di dalam firman Allah,

لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جُنَاحٞ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَا ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّأَحۡسَنُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. al-Ma’idah: 93)

(b) Adapun rincian dosa yang tampak dan tersembunyi yang disebutkan para ulama adalah sebagai berikut:

Dosa yang Tampak

Dosa yang Tersembunyi

1. Berzina secara terang-terangan.

1. Berzina dengan pacar secara diam-diam.

2. Menikahi Wanita yang menjadi mahram.

2. Berzina secara diam-diam.

3. Laki-laki yang thawaf mengelilingi Ka’bah dengan telanjang di siang hari.

3. Wanita yang thawaf telanjang di malam hari.

4. Maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh.

4. Maksiat yang dilakukan oleh hati, seperti hasad, dengki, sombong, ujub.

(2) Firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡسِبُونَ ٱلۡإِثۡمَ سَيُجۡزَوۡنَ بِمَا كَانُواْ يَقۡتَرِفُونَ

“Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.”

(a) Ar-Razi mengatakan ayat ini secara lahir menunjukkan bahwa seluruh perbuatan dosa harus dibalas (dengan siksaan). Akan tetapi kaum muslimin sepakat jika orang yang berdosa tersebut bertaubat kepada Allah, maka dia tidak diberikan sanksi, kecuali dosa syirik sebagaimana di dalam firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. an-Nisa’: 48)

(b) Dalam hal ini, as-Sa’di menambahkan bahwa orang-orang yang berbuat dosa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, maka akan dibalas sesuai dengan perbuatannya dan menurut kadar dosanya, banyak atau sedikitnya. Balasan ini juga terjadi di dunia dengan adanya musibah. Dengan adanya musibah inilah yang menjadikan dosanya lebih ringan.

 

Pelajaran (4) Hukum Memakan Hewan Sembelihan yang Tidak Menyebut Nama Allah

وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Qs. al-An’am: 121)

Pada ayat sebelumnya dijelaskan kebolehan memakan hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Kemudian pada ayat ini Allah melanjutkan dengan larangan memakan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Termasuk di dalamnya hewan yang disembelih dengan menyebut nama berhala, dan hewan yang mati tanpa disembelih.

(1) Firman-Nya,

وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”

(a) Atha’ dengan dalih keumuman ayat di atas, berpendapat bahwa semua makanan dan minuman yang tidak disebut nama Allah ketika memakannya atau meminumnya, hukumnya haram. Pendapat ini tentunya sangat aneh karena menyelisihi pendapat hampir semua ulama lainnya.

Para ulama sepakat bahwa keumuman ayat ini telah dikhususkan hanya untuk penyembelihan saja, bukan semua makanan dan minuman.

Setelah mereka sepakat bahwa ayat ini hanya berlaku ketika menyembelih hewan, mereka berbeda pendapat di dalam rinciannya. Perbedaan ini telah dijelaskan secara detail oleh para ulama tafsir yang focus pada pembahasan fiqih, seperti di dalam tafsir Ibnu al-‘Arabi, al-Qurthubi, al-Jashash. Begitu juga dibahas oleh as-Razi dan Ibnu Katsir dari kalangan madzhab Syafi’iyah.

(b) Di bawah ini ringkasan apa yang ditulis oleh Ibnu Katsir, sebagai berikut:

“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum hewan sembelihan yang disembelih oleh seorang muslim yang tidak menyebut nama Allah ketika menyembelihnya:

Pendapat pertama, jika dia tidak menyebut nama Allah, baik sengaja maupun karena lupa, maka sembelihan tersebut haram untuk dimakan.

Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Nafi’, asy-Sya’bi, Ibnu Sirrin, Riwayat dari Malik dan Riwayat dari Ahmad. Juga pendapat Abu Tsaur dan Daud dari madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan ayat di atas dan beberapa hadits yang berisi perintah untuk menyebut nama Allah ketika menyembelih dan berburu.

Pendapat kedua, tidak ada syarat menyebut nama Allah ketika menyembelih karena hukumnya mustahab atau sunnah. Jika dia tidak menyebut nama Allah, baik sengaja atau lupa, maka sembelihan itu halal.

Ini adalah pendapat asy-Syafi’I dan para pengikutnya, Riwayat dari Malik, juga Riwayat dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dab Atha’ bin Abi Rabah.

Asy-Syafi’I berpendapat bahwa ayat di atas dimaksudkan pada hewan yang disembelih untuk berhala. Hal ini seperti dalam firman Allah,

أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ

“Atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (Qs. al-An’am: 145)

Pendapat ketiga, jika dia tidak menyebut nama Allah karena lupa, maka sembelihan tersebut halal. Tetapi jika tidak menyebut nama Allah secara sengaja, maka hukum sembelihan tersebut haram.

Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Malik dan Ahmad. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan orang yang lupa itu dimaafkan.”

(2) Firman-Nya,

وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ

“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”

(a) Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat di atas:

Pendapat pertama, bahwa yang dimaksud syetan di sini adalah syetan dari jin yang membisikkan kepada pengikutnya dari kaum musyrikin bahwa bangkai adalah hewan yang disembelih Allah, maka halal untuk dimakan. Sedangkan hewan yang disembelih oleh manusia, tidak boleh dimakan. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas.

Pendapat kedua, yang dimaksud syetan di sini adalah orang-orang Persia yang menulis surat kepada kaum musyrikin Quraisy, mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau mengaku beriman kepada Allah, tetapi tidak mau memakan hewan yang disembelih oleh Allah. Ini adalah pendapat Ikrimah.

Pendapat ketiga, yang dimaksud dengan syetan di sini adalah kaum Yahudi yang mengatakan seperti itu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.

(b) Yang menarik adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zubair ketika berselisih dengan al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi, tokoh Syi’ah yang menguasai Kuffah dan menjadi pemberontak pada masa kekuasaan Bani Umayyah dan ‘Abdullah bin Zubair.

Seseorang menceritakan di depan ‘Abdullah bin Zubair bahwa al-Mukhtar ini mengaku dirinya mendapatkan wahyu. Mendengar hal itu, ‘Abdullah bin Zubair berkata, “Benar yang dia katakana, dia mendapat wahyu dari syetan.” Kemudian beliau membaca ayat di atas,

“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”

(c) Kalimat (لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ) berasal dari kata (المجادلة) yang artinya menurut al-Qurthubi, “Membantah perkataan secara keras dengan menggunakan hujjah dan dalil.” Kata ini diambil dari beberapa kata, yaitu:

(c.1) Kata (الأَجْدَلُ) yang artinya burung yang kuat.

(c.2) Kata (الجَدَالَةُ) yang artinya tanah. Seakan-akan dia mengalahkannya dengan kuat, sehingga dia tergeletak di tanah.

(c.3) Kata (الجَدْلُ) yang artinya pembunuhan yang dilakukan secara keras.

(3) Firman-Nya,

وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ

“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”

(a) Maksudnya, jika kalian menaati mereka (para syetan itu), maka kalian menjadi orang-orang musyrik.

Berkata az-Zujaj sebagaimana yang dinukil al-Baghawi, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka dia musyrik.”

(b) Menurut Ibnu Katsir bahwa seseorang menjadi musyrik karena berpaling dari penrintah Allah dan menolak syariat-Nya dan menggantikannya dengan syariat lainnya. Inilah hakikat syirik.

Allah berfirman,

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (Qs. at-Taubah: 31)

Ayat ini dijelaskan oleh hadits ‘Adi bin Hatim bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah, mereka tidak menyembahnya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Tetapi para pendeta itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan apa yang halal, kemudian mereka mengikutinya. Itulah hakikat penyembahan mereka kepada para pendeta.” (HR. at-Tirmidzi)

(c) Ibnu al-‘Arabi menjelaskan kaidah mengapa mereka menjadi musyrik.

“Seorang mukmin akan menjadi musyrik jika dia menaati orang musyrik di dalam perkara keyakinan. Namun, jika dia menaatinya dalam suatu perbuatan bukan keyakinannya, masih bersih dan berada di atas tauhid, maka orang ini tidak menjadi musyrik, hanya saja bermaksiat kepada Allah.”

 

***

Karawang, Selasa, 8 Agustus 2023

KARYA TULIS