Karya Tulis
49 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 6:122) Menghidupkan Hati yang Mati


 أَوَمَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”

(Qs. al-An’am: 122)

 

Pelajaran (1) Persesuaian Ayat

Pada ayat yang lalu dijelaskan bahwa kaum musyrikin membantah ajaran Islam yang mengharamkan bangkai. Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i. sedangkan ayat ini membahas orang yang mati, kemudian Allah menghidupkannya Kembali. Seakan kedua masalah itu saling terkait, yaitu mati dan hidup.

Di sisi lain, Sebagian kaum musyrikin diberi hidayah oleh Allah sehingga dia masuk Islam dan beriman kepada apapun yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Orang seperti ini dianalogikan dengan orang yang telah mati, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah.

 

Pelajaran (2) Iman dan Ilmu Adalah Sumber Kehidupan

Firman-Nya,

أَوَمَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ

(1) “Apakah orang yang mati kemudian Kami hidupkan kembali,” maksudnya adalah orang yang mati hatinya karena kekafiran, kemudian Allah hidupkan hatinya dengan keimanan.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan perumpamaan antara Hamzah bin ‘Abdul Muthalib dan Abu Jahal. Sedangkan menurut Zaid bin Aslam dan as-Suddi, ayat ini turun berkenaan dengan ‘Umar bin al-Khaththab dan Abu Jahal. Tetapi walaupun begitu, ayat ini berlaku umum untuk setiap orang yang dulunya dalam keadaan sesat, kemudian Allah berikan hidayah Islam kepadanya.

(2) Ayat di atas bisa juga ditafsirkan sebagai perumpamaan antara ilmu dan kebodohan. Jadi Allah menghidupkan orang bodoh dengan ilmu, di sini maksudnya adalah ilmu tentang agama Islam dan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat serta mendukung untuk memahami Islam.

Di dalam sebuah syair disebutkan,

وَفِي الْجَهْلِ قَبْلَ الْمَوْتِ مَوْتٌ لِأَهْلِهِ ... فَأَجْسَامُهُمْ قَبْلَ الْقُبُورِ قُبُورُ

وَإِنْ امْرَأً لَمْ يَحْيَ بِالْعِلْمِ مَيِّتٌ ... فَلَيْسَ لَهُ حَتَّى النُّشُورِ نُشُورُ

“Di dalam kebodohan sebelum kematian merupakan kematian bagi orangnya,

tubuh-tubuh mereka sebelum masuk kuburan merupakan kuburan.

Sesungguhnya seseorang yang tidak hidup dengan ilmu, dia adalah mayit,

dia tidak akan bisa bangkit sampai datangnya hari kebangkitan.”

 

Pelajaran (3) Hidup dengan Cahaya

Firman-Nya,

وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ

“Dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”

(1) Allah memberikan hidayah orang yang sesat itu dengan cara diberikan kepadanya cahaya. Dan dengan cahaya itu dia bisa berjalan di antara manusia.

Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa dalam ayat ini terdapat tiga hal, yaitu:

(a) Dia berjalan di tengah-tengah manusia dengan cahaya. Ini seperti suatu kaum yang berada di dalam kegelapan, mereka tersesat dan tidak tahu jalan. Sedangkan di sisi lain, terdapat orang yang membawa obor, dia bisa melihat jalan dan bisa menghindari hal-hal yang membahayakannya.

(b) Dia berjalan dengan cahaya tersebut, sedangkan orang-orang lain mengikuti cahaya yang ida pegang, karena mereka sangat membutuhkannya.

(c) Dia berjalan dengan cahaya tersebut pada hari kiamat di atas jalan “ash-Shirath”. Sedangkan prang-orang musyrik dan munafik terjebak di dalam kegelapan.

(2) Pada ayat di atas, Allah menyebutkan dua hal yang sangat penting, yaitu: kehidupan dan cahaya.

(a) Kehidupan menjadikan seseorang bisa bernafas, bergerak, beraktifitas, melihat, mendengar, membantu orang lain, bersabar dan menjalan segala perintah Allah. Sebaliknya jika kehidupannya lemah karena sakit, maka lemah pula aktifitasnya, sehingga tidak bisa optimal dalam menjalankan perintah Allah. Begitulah perumpamaan hati yang hidup dan sehat, dengan hati yang lemah lagi sakit.

(b) Adapun cahaya, jika seseorang hidup memiliki cahaya, maka dia bisa melihat sesuatu dengan jelas dan mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang membawa madharat. Dia bisa membedakan al-haq dan batil.

Sebaliknya seseorang yang hidup tetapi tidak memiliki cahaya, maka hidupnya tidak sempurna. Karena dia tidak bisa melihat apa yang di depannya dan di belakangnya, kanan dan kirinya. Dia tidak bisa berjalan di jalan yang lurus, tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, tidak bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mudharat.

Oleh karenanya, setiap orang membutuhkan dua hal di atas, yaitu: kehidupan dan cahaya. Dua unsur penting ini juga disebutkan di dalam firman-Nya,

وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحٗا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورٗا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. asy-Syura: 52)

Ayat ini menyebutkan dua hak, yaitu ruh dan cahaya. Ruh sebagai bekal untuk hidup, dan cahaya sebagai bekal untuk menyinari jalan hidup.

(3) Al-Mawardi menyebtukan dua makna di dalam firman Allah,

يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ

“(Yang dengan cahaya itu) dia (dapat) berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”

(a) Maksudnya bahwa orang yang mendapatkan hidayah dan cahaya dari Allah ini, menyebarkan cahaya tersebut kepada manusia, dan mendakwahkan agama ini di tengah-tengah masyarakat.

(b) Maksudnya bahwa orang yang mendapatkan hidayah dan cahaya ini berjalan dengan cahaya yang dimilikinya menuju surga. Sedangkan Sebagian manusia lain berada dalam kegelapan.

 

Pelajaran (4) Hidup dalam Kegelapan

Firman-Nya,

كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ

“(Apakah) serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?”

(1) Maksudnya bahwa orang yang sesat kemudian mendapatkan hidayah dari Allah dan dibekali cahaya di dalam kehidupan ini tidaklah sama dengan orang yang terus menerus di dalam kegelapan.

(2) Kata (ٱلظُّلُمَٰتِ) artinya ‘kegelapan-kegelapan’. Di sini tidak dinyatakan dengan ‘satu kegelapan’, namun dengan ‘kegelapan yang banyak’. Para ulama menyebutkan maksud dari ‘kegelapan-kegelapan’ tersebut, diantaranya:

(a) kegelapan syirik,

(b) kegelapan kekufuran,

(c) kegelapan maksiat,

(d) kegelapan kebodohan,

(e) kegelapan hawa nafsu.

(3) Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa orang-orang kafir berada dalam kegelapan yang terus menerus, yaitu:

(a) Firman Allah,

أَوۡ كَظُلُمَٰتٖ فِي بَحۡرٖ لُّجِّيّٖ يَغۡشَىٰهُ مَوۡجٞ مِّن فَوۡقِهِۦ مَوۡجٞ مِّن فَوۡقِهِۦ سَحَابٞۚ ظُلُمَٰتُۢ بَعۡضُهَا فَوۡقَ بَعۡضٍ إِذَآ أَخۡرَجَ يَدَهُۥ لَمۡ يَكَدۡ يَرَىٰهَاۗ وَمَن لَّمۡ يَجۡعَلِ ٱللَّهُ لَهُۥ نُورٗا فَمَا لَهُۥ مِن نُّورٍ

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (Qs. an-Nur: 40)

(b) Firman Allah,

مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api[26], maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.” (Qs. al-Baqarah: 17)

(c) Firman Allah,

وَٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا صُمّٞ وَبُكۡمٞ فِي ٱلظُّلُمَٰتِۗ مَن يَشَإِ ٱللَّهُ يُضۡلِلۡهُ وَمَن يَشَأۡ يَجۡعَلۡهُ عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. al-An’am: 79)

 

Pelajaran (5) Memandang Baik Perbuatan Mereka

كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”

(1) Mengapa orang-orang kafir tidak bisa keluar dari kegelapan-kegelapan yang mengepung diri mereka?

Jawabannya: Karena di dalam pikiran mereka telah diperindah amalan-amalan buruk mereka sehingga menganggapnya sebuah kebaikan dan suatu kemaslahatan.

Masalah ini telah disinggung oleh Allah di dalam firman-Nya,

ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 104)

Dan dikuatkan dengan firman lainnya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan".” (Qs. al-Baqarah: 11)

(2) As-Sa’di memperjelas masalah ini dan mengatakan bahwa syetan secara terus menerus memperindah amalan-amalan buruk mereka dan menanamkan hal ini di dalam hati mereka sehingga mereka meyakini akan kebenaran amalan tersebut.

(3) Shiddiq Hasan Khan berpandangan lain dan mengatakan bahwa yang memperindah amalan buruk mereka adalah Allah, bukan syetan, dengan dalil firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ زَيَّنَّا لَهُمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فَهُمۡ يَعۡمَهُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan).” (Qs. an-Naml: 4)

 

***

Karawang, Kamis, 10 Agustus 2023

KARYA TULIS