Tafsir An-Najah (Qs. 6:151-153) Sepuluh Wasiat Allah (1)

قُلۡ تَعَالَوۡا۟ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَیۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ وَبِٱلۡوَ ٰلِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنࣰاۖ وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقࣲ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِیَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلۡفَوَ ٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُوا۟ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِی حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَ ٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ }
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu (yaitu) janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
(Qs. al-An'am: 151)
Pelajaran (1) Persesuaian Ayat
(1) Pada ayat yang lalu, telah dijelaskan beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah, sekaligus sebagai bantahan kepada kaum musyrikin yang mengharamkan untuk diri mereka sendiri apa yang tidak diharamkan oleh Allah. Maka pada ayat ini, Allah menjelaskan hal-hal pokok yang diharamkan secara umum, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
(2) Pada ayat yang lalu juga, telah dijelaskan prinsip-prinsip kepercayaan kaum musyrikin dalam mengamalkan agama mereka, maka pada ayat ini Allah menerangkan prinsip-prinsip ajaran para nabi sepanjang masa yang diringkas menjadi sepuluh wasiat.
Pelajaran (2) Keutamaan Tiga Ayat di Atas
(1) Diantara keutamaan tiga ayat dalam (Qs. al-An'am: 151-153) adalah apa yang disebutkan di dalam haditst Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“أَيُّكُمْ يُبَايِعُنِي عَلَى ثَلَاثٍ؟ ” -ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَاتِ -فَمَنْ وَفَّى فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنِ انْتَقَصَ مِنْهُنَّ شَيْئًا فَأَدْرَكَهُ اللَّهُ بِهِ فِي الدُّنْيَا كَانَتْ عُقُوبَتَهُ وَمَنْ أُخِّرَ إِلَى الْآخِرَةِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ”.
“Siapakah di antara kalian yang mau berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadaku sebanyak tiga kali.” Kemudian Rasulullah membacakan firman-Nya: Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian.” (Qs. al-An'am: 151) hingga beberapa ayat berikutnya. Lalu Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menunaikannya, maka pahalanya akan diberikan oleh Allah kepadanya. Dan barangsiapa yang mengurangi sesuatu darinya, lalu Allah menimpakan musibah kepadanya di dunia ini, maka hal itu merupakan hukumannya. Dan barangsiapa yang ditangguhkan sampai di akhirat, maka urusannya terserah kepada Allah; jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengadzabnya; dan jika Allah menghendaki, niscaya memaafkannya. (HR. al-Hakim. Beliau berkata: “Hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.”)
(2) Ibnu ‘Abbas juga berkata, “Ayat-ayat yang sudah muhkamat ini disebutkan dalam Surah al-An'am, seluruh syariat para nabi sudah sepakat dengan isinya. Tidak ada satupun yang dihapus.”
(3) Ibnu ‘Abbas berkata bahwa di dalam surat al-An'am terdapat ayat-ayat muhkam yang semuanya adalah Ummul Kitab. Lalu ia membacakan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian’.” (Qs. al-An'am: 151) hingga beberapa ayat berikutnya.
(4) Ibnu Mas'ud berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wasiat Rasulullah ﷺ yang padanya terdapat cap cincinnya, hendaklah ia membaca ayat-ayat ini.”
(5) Berkata Ka'ab bin al-Ahbar, “Ayat ini merupakan pembukaan dalam Kitab Taurat.”
(6) Pesan dari tiga ayat di atas adalah:
(a) Menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dengannya akan didapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
(b) Menjelaskan hubungan dirinya dengan keluarganya yang dengannya, muncul kasih sayang dan kecintaan antara anggota keluarga.
(c) Menutup segala pintu-pintu keburukan yang akan membawa kepada pelanggaran hak asasi manusia dan kehormatannya.
(7) Sebagian kalangan mengatakan bahwa tiga ayat di atas merupakan sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Nabi Musa.
Pelajaran (3) Menjelaskan Hal-hal yang Haram
قُلۡ تَعَالَوۡا۟ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَیۡكُمۡۖ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu.”
(1) Menurut as-Sa'di pengharaman pada ayat di atas berlaku bagi semua orang. Ini mencakup seluruh hal-hal yang diharamkan baik itu, berupa makanan, minuman, perkataan maupun perbuatan.
(2) Kata (قل) menunjukkan bahwa yang akan disampaikan adalah perintah Allah. Adapun nabi, tugasnya hanya menyampaikan apa yang diwahyukan dari Allah. Ini juga menunjukkan bahwa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang penting dan harus diperhatikan.
(3) Kata (تَعَالَوۡا۟) artinya kemarilah. Kata ini mengandung tiga makna:
(a) Menunjukkan bahwa orang yang mengajak berada di tempat yang lebih tinggi dari orang yang diajak.
(b) Mengandung ajakan agar orang yang diajak bisa bangkit dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi.
(c) Mengandung makna bahwa pembicara ingin agar orang yang diajak bisa mendekat kepadanya dan berada di sekelilingnya untuk berjalan bersamanya menuju satu tujuan dan tidak terpecah-belah.
(4) Para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya firman Allah,
قُلۡ تَعَالَوۡا۟ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَیۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu (yaitu) janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia.”
Secara zhahir ayat tersebut bermakna, “diharamkan kepada kalian untuk tidak mensyirikan Allah.” Padahal maksudnya, “diharamkan kepada kalian untuk mensyirikan Allah.”
Agar maknanya sesuai, para ulama memberikan beberapa jawaban, diantaranya:
(a) Huruf (لا) pada firman-Nya,
أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ
adalah huruf tambahan.
Ini mirip dengan firman-Nya,
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud.” (Qs. al-A'raf: 12)
Huruf (لا) pada ayat di atas adalah tambahan.
(b) Cara membacanya dimulai dari kalimat,
عَلَیۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ
Artinya: “hendaknya kalian tidak mensyirikan Allah dengan suatu apapun.”
(c) Ayat diartikan diartikan: “Saya wasiatkan kepada kalian untuk tidak mensyirikan Allah.”
Pelajaran (4) Sepuluh Wasiat Allah
Wasiat ke-1: Larangan Berbuat Syirik
أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ
“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia.”
(1) Allah memulai wasiat pertamanya dengan melarang para hamba-Nya untuk mensyirikan-Nya dengan suatu apapun juga. Ini karena perbuatan syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Adapun dosa selainnya, Allah bisa mengampuninya. Ini sesuai dengan firman-Nya,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰلِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ وَمَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰۤ إِثۡمًا عَظِیمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. an-Nisa': 48)
Juga firman-Nya,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰلِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ وَمَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلَۢا بَعِیدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (Qs. an-Nisa': 116)
(2) Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
أَتَانِي جِبْرِيلُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا مِنْ أُمَّتِكَ، دَخَلَ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ. قُلْتُ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ. قُلْتُ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَا وَإِنْ سَرَقَ، وَإِنْ شَرِبَ الْخَمْر.
“Jibril telah datang kepadaku dan menyampaikan berita gembira kepadaku bahwa barangsiapa dari kalangan umatku mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun niscaya masuk surga. Aku bertanya, “Sekalipun dia berzina dan mencuri?” Jibril menjawab, “Ya, sekalipun berzina dan mencuri.” Aku bertanya, “Sekalipun dia berzina dan mencuri? Jibril menjawab, “Ya, sekalipun berzina dan mencuri.” Aku bertanya,”Sekalipun dia berzina dan mencuri?” Jibril menjawab, “Ya, sekalipun berzina, mencuri, dan meminum khamr”.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut sebagian riwayat, yang menanyakan demikian adalah Abu Dzar yang ditujukan kepada Rasulullah. Kemudian disebutkan bahwa pada yang ketiga kalinya Rasulullah bersabda,
وَإِنْ رَغِمَ أنفُ أَبِي ذَرٍّ
“Ya, sekalipun tidak disenangi oleh Abu Dzar.”
(3) Hadits ‘Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya masuk surga.” (HR.Muslim)
(4) Hal itu dikuatkan dengan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
“يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي فَإِنِّي أَغْفِرُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، وَلَوْ أَتَيْتَنِي بِقِرَابِ الْأَرْضِ خَطِيئَةً أَتَيْتُكَ بِقِرَابِهَا مَغْفِرَةً مَا لَمْ تُشْرِكْ بِي شَيْئًا، وَإِنْ أَخْطَأْتَ حَتَّى تَبْلُغَ خَطَايَاكَ عَنَان السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي، غَفَرْتُ لَكَ”
“Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: 'Hai anak Adam, sesungguhnya kamu selama masih mau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku memberikan ampunan bagi-Mu terhadap semua dosa yang ada padamu, tanpa Aku pedulikan lagi. Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi, selagi kamu tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan jika kamu banyak berdosa, sehingga dosamu mencapai puncak langit, kemudian kamu memohon ampun kepada-Ku. niscaya Aku memberikan ampunan bagimu'.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Berkata at-Tirmidzi, hadits ini Hasan.)
Wasiat ke-2: Berbuat Baik kepada Kedua Orang Tua
وَبِٱلۡوَ ٰلِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنࣰاۖ
“Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak.”
(1) Ath-Thanthawi mengungkapkan bahwa terdapat benang merah yang menghubungkan antara perintah untuk menyembah Allah dan berperilaku baik kepada kedua orang tua; bahwa setiap jasa yang diberikan kepada seseorang seharusnya dihargai dan disyukuri. Kedua orang tua merupakan penyebab kelahiran anak, oleh karena itu penting untuk menghormati dan bersyukur kepada mereka, sebagaimana kita bersyukur kepada Allah sebagai pencipta yang memberikan nikmat. Oleh karena itu, kita wajib untuk beribadah kepada-Nya tanpa mensyirikan-Nya dengan suatu apapun.
(2) Yang menarik dalam ayat ini bahwa wasiat yang disampaikan adalah perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, bukan larangan untuk durhaka kepada keduanya. Apa makna dibalik itu? Jawabannya:
(a) Jika wasiat tersebut hanya berisi larangan durhaka kepada kedua orang tua, terkesan bahwa karakter manusia adalah pendurhaka, sampai harus ada larangannya.
(b) Selain itu, tujuan dari wasiat ini adalah pendidikan karakter bagi anak, agar mengakui segala kebaikan yang diberikan kedua orang tua kepada dirinya, sehingga dia akan mensyukuri nikmat tersebut dengan berbakti kepada keduanya.
(3) Kemudian kata (وَبِالْوَالِدَيْنِ) di sini menggunakan huruf (ب) yang mengandung makna 'menempel', ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua itu harus dilakukan secara terus menerus.
(4) Kata (إِحۡسَـٰنࣰاۖ) pada ayat ini menurut al-Qurthubi adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, menjaga, merawat, mengikuti perintah keduanya dan tidak berbuat semena-mena kepada keduanya.
(5) Menurut as-Sa'di kata (إِحۡسَـٰنࣰاۖ) mencakup seluruh perkataan dan perbuatan yang bermanfaat bagi kedua orang tua dan menyenangkan keduanya. Jika semua ini terwujud, maka dianggap dirinya tidak durhaka.
(6) Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: “الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: “بِرُّ الْوَالِدَيْنِ”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: “الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ”.
“Amal apakah yang paling utama?” Rasul (shallallahu 'alaihi wasallam) menjawab, “Mengerjakan shalat tepat pada waktunya.” Ia bertanya, “Kemudian apa lagi?” Rasul ﷺ menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Rasul ﷺ menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wasiat ke-3: Larangan Membunuh Anak
وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقࣲ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِیَّاهُمۡۖ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
(1) Berkata Ibnu Katsir, “Ketika Allah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua dan juga kakek-nenek, kemudian Dia mengiringi hal ini dengan perintah berbuat baik kepada anak dan cucu.”
(2) Kata (إِمۡلَـٰقࣲ) artinya fakir atau miskin. Maksudnya adalah: “Janganlah kalian mengubur hidup-hidup anak perempuan kalian karena takut miskin.”
(3) As-Sa'di menambahkan, jika membunuh anak karena miskin saja terlarang, apalagi membunuh anak dalam keadaan tidak miskin atau membunuh anak orang lain, tentunya lebih terlarang.
(4) Al-Qurthubi menjelaskan bahwa sebagian ulama menyimpulkan dari ayat ini adanya larangan “al-'Azlu” yaitu mengeluarkan air mani di luar rahim agar tidak terjadi kehamilan. Keterangannya bahwa mengubur anak hidup-hidup adalah perbuatan menghilangkan nyawa yang sudah ada, sedangkan “al-'Azlu” adalah perbuatan menghalangi lahirnya anak, kedua perbuatan tersebut sangat mirip. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “al-'Azlu” adalah pembunuhan secara samar. Oleh karena nya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum “al-'Azlu” ini. Sebagian mengatakan hukumnya haram, sebagian lain mengatakan hukumnya makruh dan sebagian lain mengatakan hukumnya mubah.
(5) Terdapat hadits yang berhubungan dengan masalah ini yaitu hadits ‘Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu,
عن عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: “أَنْ تَجْعَلَ لله ندا وهو خلَقَكَ”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: “أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَم مَعَكَ”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قال: “أن تُزَاني حَلِيلَةَ جَارِكَ”. ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ}
“Bahwa ‘Abdullah Ibnu Mas'ud pernah bertanya kepada Rasulullah, “Dosa apakah yang paling besar?” Rasulullah bersabda, “Kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakan kamu.” Ibnu Mas'ud bertanya, “Kemudian apa lagi?” Rasulullah menjawab, “ Kamu membunuh anakmu karena takut dia ikut makan bersamamu.” Ibnu Mas'ud bertanya lagi, “Kemudian dosa apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Kamu menzinai istri tetanggamu.” Setelah Rasulullah membacakan firman Allah: Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. (Qs.al-Furqan: 68)” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
(6) Ibnu Katsir menjelaskan perbedaan antara dua ayat yang berisi larangan membunuh anak, tetapi redaksi yang digunakan berbeda, yaitu (Qs. al-An'am: 151) dan (Qs. al-Isra': 31). Allah berfirman dalam (Qs. al-An’am: 151),
وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقࣲ
“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena kemiskinan yang kalian alami.”
Sedangkan dalam (Qs. al-Isra’: 31) Allah berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin.”
Maksudnya janganlah kalian membunuh mereka karena takut jatuh miskin di masa mendatang. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan,
نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
“Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kalian.” (Qs. al-Isra’: 31)
Dalam surah al-Isra’ ini, Allah mendahulukan penyebutan jaminan rezeki buat anak-anak mereka, karena itulah yang menjadi pokok permasalahannya. Dengan kata lain, janganlah kalian takut jatuh miskin karena memberi mereka makan; sesungguhnya rezeki mereka ditanggung oleh Allah.
Adapun dalam surah al-An'am ayat 151 ini, kemiskinan telah ada, maka yang disebutkan adalah seperti berikut:
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka.” (Qs. al-An’am: 151)
Di sini menyebutkan jaminan rezeki kepada orang tua terlebih dahulu, karena mereka berada dalam keadaan miskin.
Wasiat ke-4: Meninggalkan Perbuatan Keji
وَلَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلۡفَوَ ٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”
(1) Di sini yang dilarang adalah “mendekati” perbuatan keji. Artinya jika mendekati perbuatan keji saja dilarang, apalagi melakukannya. Jadi, larangan “mendekati” mengandung makna yang lebih mendalam daripada larangan berbuat keji itu sendiri. Karena larangan mendekati ini mencakup mukadimah dan sarana-sarana menuju ke sana.
(2) Kata (الْفِوِاحِشَ) jamak dari (الفاخشة) yang menurut ar-Raghib artinya adalah perkataan dan perbuatan yang sangat buruk, seperti: mencuri, berzina, menfitnah, dan persaksian palsu.
(3) Maksud perbuatan keji yang nampak adalah seluruh perbuatan maksiat yang terlihat. Adapun perbuatan keji yang tidak nampak adalah perbuatan hati yang bertentangan dengan syariat.
Al-Baghawi berpendapat bahwa perbuatan keji yang nampak adalah berzina secara terang-terangan, sedangkan yang tersembunyi adalah berzina secara rahasia.
Dahulu di zaman Jahiliyah, masyarakat mengecam perzinahan yang dilakukan terang-terangan, tapi mereka membolehkan perzinaan yang dilakukan secara rahasia. Oleh karena itu, disini Allah melarang perzinaan secara mutlak. Di sana terdapat penafsiran lain tentang perbuatan keji yang nampak dan tersembunyi. Perbedaan pendapat ini sudah disampaikan di dalam tafsir Qs. al-An'am: 120.
(4) Terdapat beberapa ayat lain yang mirip dengan ayat ini, diantaranya:
(a) Firman Allah,
وَذَرُوا۟ ظَـٰهِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَبَاطِنَهُۥۤۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَكۡسِبُونَ ٱلۡإِثۡمَ سَیُجۡزَوۡنَ بِمَا كَانُوا۟ یَقۡتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.” (Qs. al-An'am: 120)
(b) Firman Allah,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنزلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.” (Qs. al-A’raf: 33)
Wasiat ke-5: Larangan Membunuh Jiwa
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
(1) Ibnu Katsir berpendapat bahwa larangan membunuh jiwa ini hanyalah penegasan dari larangan sebelumnya, karena pesannya telah terkandung di dalam larangan berbuat keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.
(2) Kata (النَّفْسَ) arti jiwa. Ini mencakup jiwa orang muslim, baik laki-laki, perempuan, orang dewasa maupun anak kecil. Begitu juga jiwa orang kafir yang dalam ikatan perjanjian dengan kaum muslimin.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
من قتل مُعاهِدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa yang membunuh kafir mu'ahad. maka ia tidak dapat mencium baunya surga, padahal sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. al-Bukhari)
(3) Kalimat (إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ) “kecuali dengan cara yang benar”, yaitu mencakup tiga golongan: muhshan (orang yang sudah menikah) yang berzina, orang yang membunuh orang lain, dan orang yang murtad dari agama Islam.
Di dalam hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبِ الزَّانِي، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة”
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya adalah utusan Allah, terkecuali karena salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: tsayib (orang yang sudah menikah) yang berzina, membunuh jiwa, dan meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
***
Karawang, Jumat, 25 Agustus 2023
-

Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya

Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -

Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -

Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -

Nasionalisme
Lihat isinya

Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -

Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya

Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -

Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -

Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya

Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -

Jual Beli Terlarang
Lihat isinya

Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -

Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya

Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -

Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya

Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -

Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya

Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -

Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya

Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -

Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya

Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -

Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya

Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -

Membuka Pintu Langit
Lihat isinya

Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -

Menembus Pintu Langit
Lihat isinya

Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Juz 7: Qs. 5: 82-120 & Qs. 6: 1-110
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Juz 8: Qs. 6: 111-165 & Qs. 7: 1-78
Lihat isinya
Lihat isinya »