Karya Tulis
14 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 6:151-153) Sepuluh Wasiat Allah (2)


 وَلَا تَقۡرَبُوا۟ مَالَ ٱلۡیَتِیمِ إِلَّا بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ یَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُوا۟ ٱلۡكَیۡلَ وَٱلۡمِیزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُوا۟ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُوا۟ۚ ذَ ٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”

(Qs. al-An’am: 152)

 

Pelajaran (1) Wasiat ke-6: Larangan Mendekati Harta Anak Yatim

وَلَا تَقۡرَبُوا۟ مَالَ ٱلۡیَتِیمِ إِلَّا بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ یَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.”

(1) Firman-Nya,

وَلَا تَقۡرَبُوا۟ مَالَ ٱلۡیَتِیمِ

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim.”

(a) Ar-Razi menyebutkan bahwa pada ayat yang lalu telah dijelaskan lima kewajiban besar, yang seluruhnya sangat jelas, tidak membutuhkan pikiran dan renungan untuk memahaminya. Kemudian pada ayat ini, Allah menyebutkan empat kewajiban besar lain yang masih samar dan belum jelas, sehingga membutuhkan pikiran dan perenungan untuk memahaminya.

(b) Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya (Qs. al-An'am: 152) dan firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya.” (Qs. an-Nisa: 10)

Maka, semua orang yang di dalam pengasuhannya terdapat anak yatim, pulang ke rumahnya, lalu memisahkan makanannya dari makanan anak yatim, dan memisahkan minumannya dari minuman anak yatim. Akibatnya terdapat makanan yang berlebih, namun tetap dipertahankan untuk anak yatim. Kemudian si anak yatim memakan makanan tersebut, atau membiarkan makanan begitu saja (sehingga) menjadi basi.

Hal ini terasa amat berat oleh mereka, kemudian mereka mengadukan masalah ini kepada Rasulullah ﷺ. Lalu turunlah firman Allah,

فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۗ وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحٞ لَّهُمۡ خَيۡرٞۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ ٱلۡمُفۡسِدَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعۡنَتَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian menggauli mereka, maka mereka adalah saudara kalian’.” (Qs. al-Baqarah: 220)

Akhirnya mereka kembali mencampurkan makanan dan minuman mereka dengan makanan dan minuman anak-anak yatim mereka. (HR. Imam Abu Daud)

(c) Al-Mawardi menjelaskan bahwa dalam ayat ini dikhususkan harta anak yatim padahal harta orang lain pun tidak boleh dimakan, dikarenakan harta anak yatim sering diabaikan, sehingga banyak orang yang mengincarnya.

(2) Firman-Nya,

إِلَّا بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ

“Kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.”

(a) Menurut al-Qurthubi, maksudnya boleh mengelola harta anak yatim, selama membawa maslahat baginya. Yaitu dengan cara tetap menahan pokoknya, dan mengembangkan keuntungannya.

(b) Al-Mawardi menyebutkan empat pendapat lain, yaitu:

(b.1) menjaga hartanya sampai dia dewasa, kemudian diserahkan kepadanya.

(b.2) mengembangkan hartanya dalam perniagaan.

(b.3) Jika berniaga dengannya untuk dikembangkan, maka dia tidak mengambil keuntungan darinya.

(b.4) Jika walinya miskin dia boleh memakan sesuai dengan kebutuhannya, dan jika kaya, dia tidak memakannya dan tidak menyentuh selain itu, seperti pakaian dan lainnya.

(3) Firman-Nya,

حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

“Hingga sampai ia dewasa.”

(a) Berkata al-Baghawi, kata (الْأَشُدُّ) jamak dari (شَدٍّ) artinya terkumpulnya kekuatan pemuda dalam dirinya.

Ini seperti perkataan, (شَدُّ النَّهَارِ), yaitu siang yang terik.

(b) Menurut al-Qurthubi, maksudnya adalah hingga dia sampai kuat, yang meliputi kekuatan fisik dan kekuatan pengetahuan dengan adanya pengalaman. Dasarnya adalah firman Allah,

حَتّى إذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإنْ آنَسْتُمْ مِنهم رُشْدًا

“Sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta).” (Qs.an-Nisa':6)

Pada ayat ini disebutkan dua syarat diberikannya harta kepada anak yatim, yaitu: kekuatan fisik (baligh) dan kekuatan pengetahuan (rusydi). Jika anak yatim diberikan kepadanya harta pada waktu baligh, tetapi dia belum mempunyai pengetahuan yang cukup, niscaya dia akan membelanjakan hartanya sesuai dengan keinginannya. Akhirnya dia miskin tidak punya harta.

(b) Asy-Syinqithi menjelaskan bahwa sebagian kalangan salah dalam memahami ayat ini,  yaitu jika anak yatim sudah baligh, maka dibolehkan mendekati hartanya dengan cara yang tidak baik, padahal maksudnya bukan seperti itu. Maksudnya adalah jika sudah baligh, maka hendaknya hartanya diserahkan kepadanya. Ini sebagaimana dalam firmannya,

فَإنْ آنَسْتُمْ مِنهم رُشْدًا فادْفَعُوا إلَيْهِمْ أمْوالَهُمْ

“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Qs. an-Nisa’: 6)

 

Pelajaran (2) Wasiat ke-7: Menyempurnakan Takaran dan Timbangan

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.”

(1) Al-Mawardi menjelaskan bahwa ketika Allah memerintahkan untuk menjaga harta anak yatim, di sini Allah juga memerintahkan agar para penjual menyempurnakan takaran dan timbangannya dengan adil.

(2) Menurut al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, maksudnya harus bersikap adil ketika menjual dan membeli. Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ ۞ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ۞ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ۞ أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ ۞ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ ۞ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ۞

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi; dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Qs. al-Muthaffifin: 1-6)

(3) Mengurangi takaran dan timbangan akan mengundang murka Allah dan menyebabkan kebinasaan suatu bangsa atau umat. Di antara atsar yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut:

(a) Di dalam al-Muwatha' karya Iman Malik disebutkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata,

 مَا ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِي قُلُوبِهِمْ الرُّعْبُ وَلَا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا كَثُرَ فِيهِمْ الْمَوْتُ وَلَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمْ الرِّزْقُ وَلَا حَكَمَ قَوْمٌ بِغَيْرِ الْحَقِّ إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الدَّمُ وَلَا خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْعَدُوَّ

“Tidaklah ghulul menyebar pada suatu kaum, kecuali akan ditimpakan kepada mereka rasa ketakutan. Tidaklah perzinaan itu tersebar pada suatu kaum, kecuali akan banyak kematian menimpa mereka. Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan diputus rezeki dari mereka. Tidaklah suatu kaum berhukum kepada selain al-Haq, kecuali akan tersebar pembunuhan. Dan tidaklah suatu kamu mengkhianati janji, kecuali Allah akan menguasakan musuh atas mereka.”

(b) Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu juga bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya kalian diserahi suatu urusan yang pernah membuat binasa umat-umat terdahulu sebelum kalian karenanya.”

(4) Firman-Nya,

لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuannya.”

(a) Al-Qurthubi berkata, “Ini menunjukkan bahwa perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan disesuaikan dengan kemampuan manusia. Hal-hal yang di luar kemampuan manusia, maka hal itu dimaafkan.

(b) Ibnu Katsir memperkuat apa yang disampaikan al-Qurthubi, dengan mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam menunaikan dan menerima haknya, kemudian ternyata sesudah ia mengerahkan semua kemampuannya untuk hal tersebut masih juga keliru (salah), maka tidak ada dosa atas dirinya.”

(c) Dalam konteks ini, para ulama mengemukakan sebuah prinsip, “Allah mengetahui bahwa banyak dari hamba-Nya merasa kesulitan saat memberikan sesuatu di luar kewajiban untuk sekadar menyenangkan orang lain. Oleh karena itu, Dia memerintahkan agar pemberian kepada sesama dilakukan sesuai haknya, tanpa adanya pemaksaan untuk memberi lebih; karena memberikan di luar kewajiban dapat memberatkan hati. Begitu pula sebaliknya, Allah memerintahkan pihak yang berhak untuk mengambil haknya dan tidak memaksa untuk merasa ridha jika mendapatkan bagian yang lebih sedikit; karena mengurangi hak juga bisa memberatkan hati.”

(d) Al-Qasimi menyebutkan pendapat lain yang dinukil dari kitab al-'Inayah bahwa ayat ini kembali kepada seluruh apa yang diperintahkan sebelumnya. Yaitu semuanya dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya, tetapi pendapat pertama tentunya lebih tepat.

 

Pelajaran (3) Wasiat ke-8: Berkata Adil

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى

“Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat kalian.”

(1) Berkata al-Baghawi, “Berkatalah jujur di dalam hukum dan persaksian. Walaupun yang sedang dihukum dan yang disaksikan adalah kerabatnya.”

(2) Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat -ayat lain, yaitu:

(a) Firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.” (Qs. al-Ma’idah: 8)

(b) Firman-Nya,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّ ٰ⁠مِینَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَاۤءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِینَۚ إِن یَكُنۡ غَنِیًّا أَوۡ فَقِیرࣰا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلۡهَوَىٰۤ أَن تَعۡدِلُوا۟ۚ وَإِن تَلۡوُۥۤا۟ أَوۡ تُعۡرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرࣰا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia[361] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Qs. an-Nisa': 135)

(3) Ibnu Katsir berkata, “Allah memerintahkan berbuat adil dalam semua tindak-tanduk dan ucapan, baik terhadap kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh. Allah selalu memerintahkan berbuat adil terhadap setiap orang dan di setiap waktu dan keadaan, keadilan tetap harus ditegakkan.”

(4) Al-Jazairi menegaskan bahwa perintah untuk berkata benar dan bersaksi dengan adil, berarti larangan untuk berbohong dan bersaksi palsu.

Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَٱلَّذِینَ لَا یَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغۡوِ مَرُّوا۟ كِرَامࣰا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Qs. al-Furqan: 72)

(5) Ar-Razi menyebutkan bahwa mayoritas ahli tafsir membatasi masalah ini pada jujur dalam persaksian di persidangan saja, padahal menurut al-Qadhi, masalahnya tidak terbatas pada itu saja. Tetapi mencakup hal yang berhubungan dengan seluruh perkataan, seperti: penyampaian seseorang dalam berdakwah, yaitu ketika menggunakan dalil hendaknya disampaikan secukupnya, tidak berlebihan dan tidak kurang. Disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat. Termasuk di dalam praktek amar ma'ruf dan nahi munkar, juga harus dilakukan secara adil, tidak boleh dilakukan dengan cara menyakiti atau kurang dari batas ideal. Begitu juga ketika bercerita kepada orang lain, tidak boleh berlebihan ataupun kurang. Seorang hakim ketika menghukumi seseorang juga harus adil, tidak boleh terlalu keras maupun terlalu longgar.

 

Pelajaran (4) Wasiat ke-9: Memenuhi Janji

وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”

(1) Menurut ath-Thabari yang dimaksud di sini adalah wasiat (perintah) Allah yang telah diwasiatkan-Nya kepada manusia, yaitu menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan mengamalkan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya.

(2) Sedangkan menurut Ibnu al-Jauzi mencakup seluruh apa yang Allah perintah dan wasiatkan kepada seluruh manusia dan apa yang diwajibkan oleh manusia itu sendiri dan sejenisnya.

(3) Al-Mawardi menambahkan satu lagi, yaitu siapa saja yang berbersumpah dengan nama Allah, maka dia harus melaksanakannya; kecuali bersumpah untuk bermaksiat.

(4) Ath-Tanthawi menjelaskan bahwa di sini disebutkan janji Allah secara khusus. Karena perjanjian selain Allah, yaitu perjanjian yang didasarkan kezhaliman dan kebatilan, tidak perlu dipenuhi, bahkan sebaliknya harus dihindari.

(5) Firman-Nya,

ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhan kalian kepada kalian agar kalian ingat.” 

Yakni inilah yang diwasiatkan, diperintahkan dan dikukuhkan oleh-Nya terhadap kalian, agar kalian mengambil pelajaran darinya dan menghentikan apa yang pernah kalian lakukan sebelum ini.

 

***

Karawang, Sabtu, 26 Agustus 2023

KARYA TULIS