Tafsir An-Najah (Qs. 6:161-163) Mengikuti Agama Nabi Ibrahim

قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰطࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰهِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik".”
(Qs. al-An'am: 161)
Pelajaran (1) Mensyukuri Nikmat Hidayah
قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰطࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus".”
(1) Hubungan ayat ini dengan sebelumnya dijelaskan oleh al-Qurthubi, bahwa pada ayat sebelumnya Allah telah menjelaskan bagaimana kaum musyrikin, Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, serta ahli bid'ah terpecah belah, sedangkan pada ayat ini Allah menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ telah diberikan hidayah kepada agama yang lurus, yaitu agama Nabi Ibrahim.
(2) Ar-Razi mempunyai sudut pandang lain. Beliau mengatakan bahwa pada ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang dalil-dalil tauhid, dan bukti-bukti keesaan Allah. Juga telah mengajarinya bagaimana membantah kaum musyrikin yang mendustakan ayat-ayat Allah dan mengingkari kenabiannya. Maka pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menutupnya dengan membaca ayat ini. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa hidayah hanya di tangan Allah.
(3) Sedangkan Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat di atas cenderung untuk mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk mensyukuri nikmat hidayah yang diberikan kepadanya, yaitu ditunjukkannya ke jalan yang lurus, tidak ada bengkok sedikitpun di dalamnya.
(4) Pernyataan Ibnu Katsir diikuti oleh Ibnu ‘Asyur, beliau mengatakan ayat ini mengandung ajaran untuk bersyukur atas nikmat hidayah Islam yang diwujudkan dalam bentuk mengikhlaskan peribadatan kepada-Nya saja.
Pelajaran (2) Mengikuti Agama Nabi Ibrahim
دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰهِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ
“(Yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
(1) Makna (دِینࣰا قِیَمࣰا) menurut Ibnu ‘Asyur adalah agama yang lurus dan tidak bengkok yang mencukupi seluruh kebutuhan para pengikutnya. Sedangkan menurut ath-Thanthawi adalah agama yang tetap, tidak berubah dan tidak digantikan dengan agama lain.
(2) Sedangkan kata (مِّلَّةَ) artinya sama dengan kata (دين) yaitu agama. Menurut ar-Raghib, terdapat perbedaan keduanya di dalam penggunaan, yaitu:
(a) Bahwa 'millah' biasa dinisbatkan kepada penyebarnya, seperti Millah Ibrahim. Sedangkan 'dien' hanya dinisbatkan kepada Allah.
(b) Bahwa 'millah' digunakan untuk menyebut ajaran-ajaran pokok saja, seperti: tauhid dan akhlak. Sedangkan 'dien' bisa digunakan untuk menyebut ajaran yang bersifat cabang, seperti: shalat, puasa, haji.
(3) Ayat ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus dan agama yang benar adalah agama Nabi Ibrahim, agama yang mengajarkan tauhid dan menjauhkan dari kesyirikan. Allah berfirman,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ دِینࣰا مِّمَّنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنࣱ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰهِیمَ حَنِیفࣰاۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبۡرَ ٰهِیمَ خَلِیلࣰا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (Qs. an-Nisa': 125)
(4) Rasulullah ﷺ dan umat Islam diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim ini, sebagaimana di dalam firman Allah,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. Ibrahim: 123)
(5) Yang menolak agama Ibrahim adalah orang yang bodoh, ini sesuai dengan firman-Nya,
وَمَن یَرۡغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبۡرَ ٰهِـۧمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفۡسَهُۥۚ وَلَقَدِ ٱصۡطَفَیۡنَـٰهُ فِی ٱلدُّنۡیَاۖ وَإِنَّهُۥ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّـٰلِحِینَ
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya[90] di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih.” (Qs. al-Baqarah: 130)
(6) Ada persamaan antara agama Nabi Ibrahim dengan agama Islam, yaitu keduanya mengajarkan tauhid, memerintah untuk menyembah hanya kepada Allah, dan melarang segala bentuk kesyirikan.
Persamaan ini diisyaratkan di dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abzi, bahwa dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَصْبَحَ قَالَ: "أَصْبَحْنَا عَلَى مِلَّة الْإِسْلَامِ، وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، وَدِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَمِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ"
Bahwa Rasulullah ﷺ apabila pagi hari selalu mengucapkan doa berikut: “Kami berpagi hari dalam keadaan beragama Islam, di atas kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad dan agama bapak kita Ibrahim yang hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (HR. Ahmad, ad-Darimi, an-Nasa'i, Hadits Shahih.)
(7) Pada hadits di atas disebutkan tiga persamaan antara agama Nabi Ibrahim dengan agama Islam, yaitu:
(a) Keduanya disebut dengan agama Islam yaitu agama yang mengajarkan kepasrahan penuh kepada Allah b.Keduanya berdiri di atas pondasi kalimat ikhlas yaitu kalimat Laa Ilaha illa Allah.
(c) Keduanya disebut dengan agama yang hanif, yaitu agama yang ajarannya condong kepada kebenaran dan menjauhi segala bentuk kebatilan.
(8) Menurut Ibnu Katsir adanya perintah untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim, bukan berarti menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim lebih sempurna daripada Nabi Muhammad ﷺ dalam menjalankannya, karena beliau sendiri telah menegakkannya secara lebih sempurna yang belum pernah dicapai oleh seorang manusia pun. Sebab itulah maka Nabi Muhammad ﷺ menjadi penutup para nabi dan pemimpin Bani Adam secara mutlak, serta pemilik kedudukan yang terpuji, yang dituju oleh semua makhluk, termasuk Nabi Ibrahim sendiri.
Pengajaran (3) Shalatku dan Sembelihanku
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِی وَنُسُكِی وَمَحۡیَایَ وَمَمَاتِی لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. al-An'am: 162)
(1) Al-Mawardi menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ agar memberitahukan kepada manusia tentang cara ibadahnya, yaitu ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Juga memberitahukan bahwa hanya Allah saja yang menghidupkan dan mematikan.
(2) Pernyataan al-Mawardi di atas di dukung oleh Ibnu Katsir yang juga menjelaskan bahwa pada ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memberitahukan kepada kaum musyrikin -para penyembah berhala dan para penyembelih hewan dengan menyebut nama selain Allah- bahwa Nabi Muhammad ﷺ bukanlah orang seperti mereka. Karena shalatnya hanyalah untuk Allah, dan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Ini semua sesuai dengan firman-Nya pada ayat lain,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (Qs. al-Kautsar: 2)
(3) Yang di maksud dengan kata (صَلَاتِی) "shalat-ku" pada ayat ini menurut al-Mawardi adalah shalat secara syariah, yaitu ibadah yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam, yang terdiri dari ruku' dan sujud, diiringi dengan bersimpuh di hadapan Allah dan hanya tunduk kepada-Nya saja.
(4) Adapun makna (نُسُكِی) berasal dari kata (النسك) yang dalam hal ini mempunyai empat arti:
(a) 'An-Nusuk' artinya sembelihan.
Bahkan al-Baghawi menafsirkannya dengan sembelihan khusus dalam ibadah haji dan umrah.
(b) 'An-Nusuk' artinya adalah agama.
(c) 'An-Nusuk' adalah ibadah.
Dalam hal ini al-Mawardi menyebutkan perbedaan antara agama dan ibadah; bahwa agama itu terfokus pada pada keyakinan, sedangkan ibadah terkhusus kepada amal perbuatan.
(d) 'An-Nusuk' artinya mencakup agama, haji dan sembelihan.
Muqatil berpendapat maksudnya adalah haji. Sedangkan az-Zujaj, mengatakan bahwa 'an-Nusuk' adalah setiap yang mendekatkan diri kepada Allah, hanya saja kata ini sering digunakan untuk menyebutkan penyembelihan.
Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عيدٍ بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ حين ذبحهما: " وَجَّهْت وجهي للذي فَطَر السموات وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ المشرِكين، {إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ}
Dari Ibnu Abbas, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa,
“Rasulullah ﷺ pada Hari Raya Adha berkurban dengan menyembelih dua ekor domba, dan ketika menyembelihnya membaca doa berikut: Aku hadapkan mukaku kepada Zat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan hati yang hanif' (cenderung kepada agama yang hak}, dan saya bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Berkata Ibnu al-Mulqin, sanad hadits ini hasan.)
Pelajaran (4) Hidup Matiku Hanya untuk Allah
وَمَحۡیَایَ وَمَمَاتِی لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ
“Dan hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Terdapat beberapa penafsiran dalam ayat ini:
(a) Maksudnya bahwa hidupku hanyalah untuk Allah dengan menaati-Nya dan matiku menuju Allah, karena aku akan kembali kepada-Nya untuk menerima balasan amalku.
Jadi ayat ini menurut Ibnu al-Jauzi memberitahukan kepada kaum musyrikin bahwa hidupnya Nabi Muhammad ﷺ, perbuatannya dan segala keadaannya hanya beliau tujukan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.
(b) Maksudnya, menurut al-Baghawi, adalah Allah yang menghidupkan dan mematikanku. Ini sesuai dengan Firman-Nya,
وَٱلَّذِی یُمِیتُنِی ثُمَّ یُحۡیِینِ
“Dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).” (Qs. asy-Syu'ara: 81)
(c) Pendapat ketiga mengatakan maksudnya adalah hidupku dengan amal shalih dan matiku di atas iman, semuanya karena Allah.
Pelajaran (5) Berpasrah Diri kepada Allah
لَا شَرِیكَ لَهُۥۖ وَبِذَ ٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِینَ
“Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Qs. al-An'am: 163)
(1) Menurut Qatadah dan al-Hasan al-Bashri maksud dari firman-Nya,
وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِینَ
“Dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah orang pertama kali berpasrah diri kepada Allah, yaitu dari kalangan umat Islam.
(2) Ibnu Katsir mengatakan bahwa apa yang disampaikan Qatadah adalah benar, karena para nabi sebelumnya, semuanya telah berpasrah diri kepada Allah atau dengan kata lain bahwa agama mereka adalah Islam.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal itu, diantaranya:
(a) Firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".” (Qs. al-Anbiya’: 25)
(b) Firman-Nya,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَیۡهِ ٱلضَّلَـٰلَةُۚ فَسِیرُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُوا۟ كَیۡفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِینَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Qs. an-Nahl: 36)
(c) Firman-Nya tentang Nabi Nuh,
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Qs. Yunus:72)
(d) Firman-Nya tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ya'kub,
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ ۞ إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ۞ وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ۞
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".” (Qs/ al-Baqarah: 130-132)
(e) Firman-Nya tentang Nabi Yusuf,
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (Qs. Yusuf: 101)
(f) Firman-Nya tentang Nabi Musa,
وَقَالَ مُوسَىٰ يَٰقَوۡمِ إِن كُنتُمۡ ءَامَنتُم بِٱللَّهِ فَعَلَيۡهِ تَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّسۡلِمِينَ ۞ فَقَالُواْ عَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلۡنَا رَبَّنَا لَا تَجۡعَلۡنَا فِتۡنَةٗ لِّلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ۞ وَنَجِّنَا بِرَحۡمَتِكَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ ۞
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." Lalu mereka berkata: "Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zhalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir".” (Qs. Yunus: 84-86)
(g) Juga dalam firman-Nya,
إِنَّآ أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ يَحۡكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسۡلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُواْ عَلَيۡهِ شُهَدَآءَۚ فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بِـَٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Ma’idah: 44)
(h) Firman-Nya tentang Nabi Isa,
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku." Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)".” (Qs. al-Ma’idah: 111)
(2) Berkata Alkiya ath-Thabari bahwa Imam Syafi'i berdalil dengan ayat ini tentang sunnahnya membaca doa Iftitah dalam shalat dengan lafaz (وَجَّهْتُ وَجْهي) karena sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya dan menurunkan dalam kitab-Nya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
عن علي بن أبي طالب عن رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهُ كانَ إذَا قَامَ إلى الصَّلَاةِ، قالَ: وَجَّهْتُ وَجْهي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا، وَما أَنَا مِنَ المُشْرِكِينَ، إنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ وَمَمَاتي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، لا شَرِيكَ له، وَبِذلكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ المُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ المَلِكُ لا إلَهَ إلَّا أَنْتَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بذَنْبِي، فَاغْفِرْ لي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إنَّه لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لأَحْسَنِ الأخْلَاقِ، لا يَهْدِي لأَحْسَنِهَا إلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ في يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ ليسَ إلَيْكَ، أَنَا بكَ وإلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ bila berdiri untuk shalat, Beliau membaca: Aku hadapkan wajahku kepada Yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya, dan dengan itulah aku diperintah, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri, ya Allah Engkau-lah al-Malik, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku menyadari akan dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku semuanya, sesungguhnya tidak ada yang dapat menghapuskan dosa selain Engkau, dan tunjukilah aku dengan sebaik-baik akhlaq, dan tiada yang dapat memberi petunjuk kepada yang lebih baik selain Engkau, dan palingkanlah aku dari keburukan akhlaq, dan tidak ada yang dapat memalingkan keburukannya dariku selain Engkau, aku penuhi panggilanmu, sekuat tenaga senantiasa mentaati dan mengikuti perintah agama-Mu, dan segala kebaikan ada pada-Mu, sedangkan keburukan tidak ada pada-Mu, aku berusaha karena-Mu dan berlindung kepada-Mu, Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim)
(3) Berpasrah diri kepada Allah pada ayat ini menurut ar-Razi, maksudnya adalah pasrah dan ridha dengan segala keputusan dan takdir Allah.
(4) Ayat di atas masih menurut ar-Razi juga menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah harus dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
***
Kerawang, Selasa, 5 September 2023
-

Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya

Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -

Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -

Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -

Nasionalisme
Lihat isinya

Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -

Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya

Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -

Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya

Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -

Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya

Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -

Jual Beli Terlarang
Lihat isinya

Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -

Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya

Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -

Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya

Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -

Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya

Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -

Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya

Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -

Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya

Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -

Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya

Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -

Membuka Pintu Langit
Lihat isinya

Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -

Menembus Pintu Langit
Lihat isinya

Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya

Tafsir An-Najah Juz 7: Qs. 5: 82-120 & Qs. 6: 1-110
Lihat isinya » -

Tafsir An-Najah Juz 8: Qs. 6: 111-165 & Qs. 7: 1-78
Lihat isinya
Lihat isinya »