Hukum Bank ASI
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ ( Qs Al Baqarah : 233 )
Beberapa saat yang lalu, salah seorang reporter dari sebuah majalah wanita Islam meminta wawancara dengan penulis terkait dengan hukum Bank ASI. Diantara pertanyaan yang diajukan adalah kejadian yang menimpa salah seorang muslimah yang kebetulan melahirkan di salah satu rumah sakit Kristen di Jakarta. Karena beberapa sebab, air susu ibu tersebut tidak keluar, sehingga bayinya tidak bisa menyusui darinya. Akhirnya bayi tersebut minum dari ASI yang disediakan rumah sakit itu, bagaimana hukumnya ?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian ar-radha’( penyusuan ) dan kapan seseorang dikatakan sebagai anak susuan atau saudara sesusuan dari orang lain ?
Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat di dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. ( Ibnu Nujaim, al Bahru ar Raiq : 3/221, Ibnu Arafah, Syarhu Hudud : 1/316, al Muthi’i, Takmilah al Majmu’ : 19/309, al Bahuti, Syarhu Muntaha al Iradat : 4/ 1424)
Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ ( Qs Al Baqarah : 233 )
Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan ( yang menjadikan kemahraman seseorang ) itu terjadi karena kelaparan" ( HR Bukhari dan Muslim )
Maksudnya bahwa seorang bayi yang berumur dua tahun ke bawah ketika merasa lapar, kemudian menyusui, maka dia akan menjadi kenyang. Susu tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan dagingnya.
Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata :
انَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." ( HR Muslim )
Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan ? Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. ( Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an Nadiyah, 2/174 )
Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan :
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payu dara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as su’uth ( memasukkan susu ke lubang hidungnya ), atau dengan cara al wujur ( menuangkannya langsung ke tenggorakannya ), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhohiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt :
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“( Diharamkan atas kamu mengawini ) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ ( Qs an Nisa’ : 23 )
Hukum Bank ASI
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan di atas, mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank ASI :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Diantara alasan mereka sebagai berikut :
Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya. Dalil-dalilnya sudah dijelaskan di atas.
Majma’ al Fiqh al Islami OKI dalam Muktamar yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 1-6 Rabi’u at Tsani 1406 H/ 22-28 Desember 1985 M memutuskan bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak dibolehkan, dan seorang bayi muslim tidak boleh mengambil ASI darinya.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Kesimpulan :
Pada awalnya, dalam wawancara tersebut, penulis berpendapat bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat-syarat yang sangat ketat, ternyata pendapat tersebut sudah disampaikan oleh beberapa ulama di Timur Tengah yang terangkum dalam pendapat ketiga.
Namun demikian, setelah memperhatikan madharat-madharat yang akan muncul dengan berdirinya Bank ASI di negara-negara Islam, maka akhirnya penulis cenderung untuk mengatakan : sebaiknya tidak usah didirikan Bank ASI selama hal tersebut tidak darurat. Diantara madharat-madharat yang akan ditimbulkan dari pendirian Bank ASI adalah :
Pertama : Terjadinya percampuran nasab, jika distribusi ASI tersebut tidak diatur ini secara ketat.
Kedua : Pendirian Bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Ketiga : ASI yang disimpan dalam Bank, berpotensi untuk terkena virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kwalitas ASI bisa menurun drastis, sehingga kelebihan-kelebihan yang dimiliki ASI yang disimpan ini semakin berkurang, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya.
Keempat : Dikhawatirkan ibu-ibu yang berada dalam taraf kemiskinan, ketika melihat peluang penjualan ASI kepada Bank dengan harga tinggi, mereka akan berlomba-lomba untuk menjual ASI-nya dan sebagi gantinya mereka memberikan susu formula untuk anak mereka.
Kelima : Ibu-ibu yang sibuk beraktivitas dan mempunyai kelebihan harta, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka, karena bisa membeli ASI dari Bank dengan harga berapapun. Wallahu A’lam
Kramat Raya, Jakarta Pusat, 24 Dzulhijjah 1431 H / 1 Desember 2010 M
Dr. Ahmad Zain An Najah,MA
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »