Karya Tulis
13512 Hits

Hukum Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Mati


Para ulama sepakat bahwa doa dan istighfar orang hidup bermanfaat bagi orang yang mati berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah,  ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim: 163)

          Juga berdasarkan hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

”Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat seorang hamba sholeh di surga. Hamba tersebut bertanya kepada Allah: ”Wahai Rabb! kenapa derajat saya jadi terangkat? Allah berfirman: Itu, karena anakmu memohonkan ampun atas dosa-dosamu.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi.  Berkata al-Munawi: Berkata adz-Dzahabi di dalam al-Muhadzab: Sanadnya kuat. Berkata al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabari dengan sanad yang para perawinya adalah perawi shahih, kecuali ‘Ashim bin Bahdalah dia adalah hasan haditsnya) 

Tetapi mereka berbeda pendapat tentang menghadiahkan pahala amal shalih lainnya kepada orang yang mati, seperti bacaan al-Qur’an dan menyembelih Qurban, apakah hal itu dibolehkan? dan apakah pahalanya akan sampai kepada orang yang mati?  Para Ulama berbeda pendapat di dalamnya:

Pendapat Pertama: Menghadiahkan pahala amal sholih kepada orang yang mati bukanlah perbuatan yang disyariatkan dan pahalanya tidak sampai kepada orang yang mati. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i serta Fatwa dari Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi no. 2232. Adapun dalil-dalil mereka sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah:         

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. an- Najm: 39).

          Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (7/465) :

“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’i bersama para ulama yang mengikutinya menyimpulkan bahwa  bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.“

Jawaban terhadap pernyataan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh  Syekh as-Sa’di di dalam tafsirnya Taisir Karimi ar-Rahman (1/821):

 “Pernyataan semacam ini perlu ditinjau ulang, karena ayat tersebut hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan memang benar dan ini tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun dalam ayat ini tidak ada yang menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya, jika orang tersebut menghadiahkan suatu amalan untuknya. Ini seperti orang yang tidak berhak terhadap harta kecuali apa yang dimilikinya dan apa yang berada di tangannya. Hal ini tidak serta merta menunjukan bahwa dia tidak bisa memiliki harta dari orang lain yang dihadiahkan kepadanya dari harta miliknya.”  (lihat juga bantahan serupa juga disampaikan oleh Syekh Syenqithi di dalam Adhwau al-Bayan (8/52))

Kedua: Hadist  Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” ( HR. Muslim, 1631)

Hadist di atas menunjukkan bahwa yang bermanfaat bagi si mayit hanya tiga, dan tidak disebutkan amal-amal sholeh yang lain, termasuk yang dihadiahkan orang hidup kepada si mayit. (Kasyaf al-Qina’: 4/ 431)

Jawaban terhadap pernyataan tersebut adalah apa yang ditulis oleh Ibnu Qudamah di dalam asy-Syarh al-Kabir (2/426): “Hadist di atas tidak bisa dijadikan alasan atas pendapat mereka, karena hanya menunjukkan bahwa yang terputus adalah amal perbuatan orang yang mati tersebut. Padahal (yang dihadiahkan ini) bukan amalannya, maka hadist tersebut tidak menunjukkan hal tersebut... kemudian ini terbantahkan juga dengan puasa, doa dan haji.“  (lihat juga az-Zaila’i dalam Tabyinu al-Haqqiq (5/131)) 

Ketiga: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyari’atkan umatnya untuk hal seperti itu dan tidak juga pernah menganjurkannya atau memberikan arahan kepada mereka baik secara teks maupun secara isyarat.  Dan tidak pernah pula diriwayatkan seorangpun dari para sahabat. Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu mereka telah mendahului kita untuk mengamalkannya.

Keempat: Maksud dari amal ibadah lahiriyah adalah ketundukan dan kepatuhan di hadapan Allah, dan ini tidak bisa terwujud kecuali kepada orang yang mengerjakan ibadah itu sendiri dengan anggota badannya.

Kelima: Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya hanya terbatas pada dalil yang jelas dan tidak boleh menggunakan qiyas dan pikiran. 

 Pendapat Kedua: Jika yang menghadiahkan amal-amal sholeh tersebut adalah anaknya sendiri, maka hal itu dibolehkan dan pahalanya sampai kepada kedua orang tua. Selain anaknya, maka hal itu tidak sampai. Ini pendapat sebagian ulama, diantaranya Syekh Nasiruddin al-Albani. Dalilnya adalah hadist Amru bin Ash dan hadits yang menunjukkan bahwa anak termasuk usaha bapaknya, yang keduanya merupakan dalil pendapat ketiga juga. (lihat Silsilah ash-Shahihah 1/483)

Pendapat Ketiga: Dibolehkan menghadiahkan pahala amal sholeh kepada orang mati dan insyallah pahalanya sampai kepada mereka. Ini pendapat Ibnu Abdul Izz dan ulama-ulama Hanafiyah, Imam al-Qurthubi dan al-Qarrafi dari Malikiyah, Imam an-Nawawi dan Mayoritas ulama asy-Syafi’yah, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, serta Syekh al-Utsaimin dari Hanabilah. Dalil-dalil mereka sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.“ (Qs. ath-Thur: 21)

Berkata Syekh asy-Syenqithi di dalam Adhwau al-Bayan (8/53): “ Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menyusulkan anak-anak orang beriman kepada bapak-bapak mereka yang beriman. Dan ini merupakan dalil bahwa seseorang kadang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain.” 

Kedua: Hadist Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: 

أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ

 “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan,“ Aku memenuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah”, maka beliau bersabda,“Siapa Syubrumah itu?” Lelaki itu menjawab,“Dia saudaraku atau kerabatku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya,“Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab,”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan,“Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud,1811 dan Ibnu Majah, 2903)

          Pada hadist di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan secara rinci kepada laki-laki tersebut apakah dia menghajikan Syubrumah haji wajib atau haji sunnah, ini menunjukkan keumuman hadits tersebut dan mencakup amal-amal sholeh lainnya.

Ketiga: Hadist Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:  

أَمَّا أَبُوكَ، فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ فَصُمْتَ، وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ نَفَعَهُ ذَلِكَ

“Adapun bapakmu, jika mengakui at-Tauhid, dan anda berpuasa serta bersedekah untuknya, maka akan membawa manfaat baginya.“( HR. Abu Daud 2883, Ahmad, 6704. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Isnadnya Hasan. Hal senada juga disampaikan oleh Syekh al-Albani di dalam Silsilah ash-Shahihah (1/ 483)

Dalam hadist tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan agar pahalanya sampai kepada kedua orang tuanya haruslah dia beragama Islam, dan tidak ada syarat-syarat lainnya. Hal itu menunjukkan sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia.  

Keempat: Hadist Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya mayit benar-benar diadzab karena ratapan keluarganya terhadapnya“  (HR. Al-Bukhari, 1208 dan Muslim, 1539)

          Berkata Ibnu Qudamah di dalam Asy-Syarh al-Kabir (2/426): “Jika tangisan saja bisa memberikan madharat kepada si mayit, maka sebaliknya membaca al-Qur’an akan memberikan manfaat baginya. Dan Allah lebih Mulia dari menyampaikan sanksi maksiat kepada si mayit, tetapi justru malah menutup sampainya pahala kepadanya.“

Kelima: Mengqiyaskan amal-amal sholeh yang lain kepada doa, puasa dan haji, karena semuanya adalah amal sholeh satu jenis. Yang ketiganya terdapat riwayat shahih yang menjelaskan bahwa itu bisa dihadiahkan kepada yang meninggal. 

Keenam: Sholat berjama’ah adalah bukti yang nyata bahwa perbuatan seseorang dapat membawa manfaat bagi orang lain. Karena dengan sholat berjama’ah pahala seseorang menjadi berlipat ganda dibanding dengan sholat sendiri.

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa menghadiahkan amal sholeh kepada si mayit boleh dan pahalanya akan sampai kepada orang yang mati.

Tetapi walaupun demikian, dianjurkan agar masing-masing beramal sholeh untuk dirinya sendiri, karena dialah yang paling membutuhkan amal-amal sholeh tersebut pada hari kiamat. Selain itu dia tetap mendoakan kepada orang yang mati dan memintakan ampunan untuk mereka. Hal itu, karena menghadiahkan amal sholeh kepada orang yang mati bukanlah kebiasaan para sahabat dan ulama-ulama terdahulu. Sikap ini diambil agar bisa keluar dari perbedaan pendapat ulama, khususnya mereka yang melarang perbuatan semacam ini. Wallahu A’lam


Klaten, 8 Syawal 1436 / 24 Juli 2015 M

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

 

KARYA TULIS