Karya Tulis
8068 Hits

Tangga-Tangga Kesuksesan Belajar: (10) Dekat Dengan Guru

Salah satu adab penuntut ilmu adalah belajar dari guru. Dia  belajar dari guru dua hal : belajar akhlaq dan belajar ilmu. Tanpa bimbingan guru dapat dipastikan seseorang akan gagal di dalam mencari ilmu. Diantara dasar-dasar keharusan belajar dari guru adalah sebagai berikut :

Pertama :  Firman Allah :

 قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ ائْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

.         “ Katakanlah: " Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Qur'an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar". ( Qs. al-Ahqaf : 4 )

           Ayat di atas menunjukkan bahwa ilmu yang diakui sebagai hujjah dan dalil adalah ilmu yang diwariskan dari para nabi atau orang-orang sebelum mereka, yang memang diakui oleh Allah. Bukan ilmu yang mereka ada-adakan sendiri tanpa ada riwayat dari orang sebelumnya. Ini semua menuntut adanya seorang guru ketika belajar. 

 Berkata al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (16/182): “ Berkata al-Harawi:“al-Itsarah wa al-Atsar artinya al-Baqiyah (yang tersisa) ....Berkata Mujahid:“Artinya riwayat yang kalian dapatkan dari orang-orang sebelum kalian. “ Berkata ‘Ikrimah dan Muqatil : “ artinya adalah riwayat dari para Nabi. Berkata al-Qordhi : “ artinya adalah Isnad ( terdapat sanad )”  ...Asal katanya dari al-Atsar yang berarti riwayat, dikatakan : Atsartu al-hadits...yaitu jika saya menyebutkannya dari selainmu. Dari situlah dikatakan : Hadist Ma’tsur yaitu hadits yang disampaikan khalaf ( orang yang belakangan ) dari salaf ( orang yang terdahulu ).”   

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim (7/274 ) : “ Makanya sebagian membaca ( atsaratin min ‘ilmin ) maksudnya adalah ilmu shahih yang mereka dapatkan dari seseorang pendahulu mereka, sebagaimana yang dikatakan Mujahid dalam ayat tersebut, yaitu seseorang yang meninggalkan suatu ilmu. “

Berkata Syekh as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan ( 1/779 ) : “ yaitu ilmu yang diwariskan dari para Rasul yang menyuruh hal tersebut “

Kedua  : Nabi Musa ‘alaihi as-salam, walaupun sudah menjadi nabi, tetapi tetap diperintahkan Allah untuk mencari ilmu, salah satunya kepada nabi Khidir ‘alaihi as-salam. Sebagaimana firman Allah :

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا 

“ Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ". ( Qs. al-Kahfi : 66 )

 Berkata Qatadah:“Seandainya seseorang sudah merasa cukup dengan ilmunya, tentunya nabi Musa akan merasa cukup dengan ilmunya, tetapi beliau masih mencari ilmu kepada nabi Khidhir. “(Jami’ Bayan al-Ilmi:1/ 120

Ketiga : Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,  walaupun sudah menjadi nabi dan sudah hafal al-Qur’an, akan tetapi masih belajar terus kepada Jibril, khususnya pada bulan Ramadhan, sebagaimana di dalam hadist Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكونُ فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan u­ntuk mempelajari al-Qur'an, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  lebih dermawan dari angin yang bertiup ." (HR. al-Bukhari).

Keempat :Berkata as-Sakhawi di dalam al-Jawahir wa ad-Durar ( 1/58 )

من دخل في العلم وحده؛ خرج وحده

“ Barang siapa yang masuk untuk menuntut ilmu sendiri, maka dia akan keluar sendiri juga. “

Maksudnya bahwa siapa saja yang belajar tanpa bimbingan dari guru atau syekh, maka dia tidak mendapatkan ilmu yang benar.

Kelima: Seorang penyair menulis :

من لم يشافه عالماً بأصوله ... ... فيقينه في المشكلات ظنون

“ Barang siapa yang belum belajar langsung kepada seorang alim dengan dasar-dasarnya…maka keyakinannya terhadap masalah-masalah yang rumit hanyalah berupa dugaan-dugaan belaka.

Manfaat Belajar dari Guru

Diantara manfaat belajar dengan guru adalah sebagai berikut :

Pertama : Efisien Waktu Dan Tenaga.

Belajar dengan guru jauh lebih efisien dibanding belajar sendiri melalui buku. Seorang penuntut ilmu, jika tidak memahami suatu masalah, bisa langsung bertanya kepada gurunya, tanpa susah payah dengan mencari jawabannya di buku-buku yang belum tentu di dapatnya. Seandainya dia mendapatkan apa yang dia cari, belum tentu dia bisa memahaminya dengan baik, karena kadang untuk memahami suatu masalah, perlu memahami terlebih dahulu ilmu-ilmu dasarnya, sehingga dia tidak bingung. Berbeda ketika dia belajar melalui guru, maka dia akan mengetahui seluk beluk ilmu yang dipelajarinya lewat keterangan gurunya yang sudah berpengalaman, bahkan dia akan mengerti banyak buku dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing buku tanpa harus membacanya dahulu, karena gurunya telah memberitahukan sebelumnya .

Kedua : Meminimalisir Kesalahan

Seorang penuntut ilmu yang belajar dengan seorang guru, maka kesalahannya akan relatif lebih sedikit jika dibanding dengan yang belajar langsung dari buku. Banyak nasehat yang diberikan para ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah :

مَنْ كَانَ شَيْخُهُ كِتَابَهُ ، كَانَ خَطَؤُهُ أَكْثَرُ مِنْ صَوَابِهِ

“Barang siapa yang gurunya buku, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.“

Nasehat ini, walau tidak mutlak kebenarannya, paling tidak bisa memacu kita untuk selalu mendekati dan belajar kepada para guru.

Diriwayatkan dalam buku-buku sejarah bahwa zaman dahulu terdapat seorang yang bernama : “ Tuma al-Hakim “. Dahulu bapaknya adalah seorang dokter, kemudian meninggal dunia dan mewariskan banyak buku-buku kedokteran kepadanya. Kemudian dia belajar dari buku-buku bapaknya, tanpa bimbingan seorang guru. Suatu ketika, dia menemukan tulisan dalam salah satu buku peninggalan bapaknya yang berbunyi :

حَيَّةُ سَوْدَاءَ شِفَاءُ لِكُلِّ دَاءٍ

“Ular hitam adalah obat untuk segala penyakit.“

Tanpa pikir panjang, dia mempraktikkan apa yang dalam buku tersebut, dan mencari ular hitam untuk dijadikan obat dari berbagai penyakit, akhirnya dia mati karena digigit ular tersebut.

Ternyata buku tersebut terdapat kesalahan cetak atau kesalahan dalam memberikan titik, padahal yang benar adalah :

حَبَّةُ سَوْدَاءَ شِفَاءٌ لِكُلِّ دَاءٍ

“Habbah Sauda’ adalah obat dari segala penyakit.”

Peristiwa tersebut akhirnya dijadikan peribahasa orang-orang Arab, dan Tuma al-Hakim dijadikan simbol kebodohan.

Abu Hayyan berkata dalam salah satu syairnya :


يظن الغمر أن الكتب تهدى       أخاً فهم لإدراك العلوم
وما يدرى الجهول بأن فيها      غوامض حيرت عقل الفهيم
إذا رمت العلوم بغير شيخ         ضللت عن الصراط المستقيم
وتلتبس الأمور عليك حتى       تصير أضل من "توما الحكيم"

“ Orang mengira bahwa buku-buku bisa memberikan petunjuk... untuk memahami banyak ilmu,

Sedangkan orang-orang bodoh tersebut tidak mengetahui bahwa di dalam buku-buku tersebut ....terdapat banyak teka-teki yang tidak bisa dipecahkan orang -orang pintar,

Jika anda belajar banyak ilmu tanpa bimbingan guru...maka anda akan tersesat dari jalan yang lurus, 

Karena anda akan banyak salah paham di dalamnya....sehingga anda akan menjadi orang yang lebih bodoh dari “ Tuma al-Hakim “

Berkata penyair lain :

قال حمار الحكيم توما      لو أنصفوني لكنت أركب

لأنني جاهل بسيط         وصاحبي جاهل مركب

“ Berkata keledainya al-Hakim Tuma : “ Jika mereka mau jujur, maka yang benar bahwa akulah yang menaiki dia,

Karena saya hanya bodoh sedikit... sedangkan tuanku bodohnya keterlaluan. “

Az-Zabidi di dalam Syarah al-Ihya’ (1/66), menyebutkan perkataan Ibnu Batlan tentang kekurangan belajar dari buku langsung :

 يوجد في الكتاب أشياء تصد عن العلم، وهى معدومة عند المعلم، وهى التصحيف العارض من اشتباه الحروف مع عدم اللفظ، والغلط بزوغان البصر، وقلة الخبرة بالإعراب، أو فساد الموجود منه، وإصلاح الكتاب، وكتابة ما لا يقرأ، وقراءة ما لا يكتب، ومذهب صاحب الكتاب، وسقم النسخ، ورداءة النقل، وإدماج القارئ مواضع المقاطع، وخلط مبادئ التعليم، وذكر ألفاظ مصطلح عليه في تلك الصناعة، وألفاظ يونانية لم يخرجها الناقل من اللغة، كالنوروس، فهذه كلها معوقة عن العلم، وقد استراح المتعلم من تكلفها عند قراءته على المعلم، وإذا كان الأمر على هذه الصورة، فالقراءة على العلماء أجدى وأفضل من قراءة الإنسان لنفسه، وهو ما أردنا بيانه   ، قال الصفدي: ولهذا قال العلماء: لا تأخذ العلم من صحفي ولا من مصحفي، يعنى: لا تقرأ القرآن على من قرأ من المصحف ولا الحديث وغيره على من أخذ ذلك من الصحف "ا هـ.

“ Banyak hal yang menghalangi seseorang dari mendapat ilmu jika hanya belajar dari buku saja,dan ini tidak terjadi jika belajar kepada guru, diantaranya adalah adanya kesalahan karena tidak jelasnya huruf-huruf yang ada apalagi tanpa harakat, lemahnya pandangan mata, tidak mengetahui i’rab, atau salah dalam mengi’rab, atau perbaikan buku dan tulisan dari orang yang tidak membaca dan kesalahan bacaan orang yang tidak menulis, subyektifitas pengarang buku, jeleknya tulisan dan penyalinan, kesalahan pembaca di tempat-tempat yang seharusnya dia berhenti, campur aduk dasar-dasar pengajaran, kadang ada istilah-istilah khusus dalam suatu bidang ilmu, begitu juga istilah-istilah Yunani yang belum diterjemahkan orang yang menukilnya, seperti an-Nurus. Ini semua menjadi hambatan dalam menuntut ilmu.

Seorang pelajar akan bebas dari itu semua jika dia membaca dengan bimbingan seorang guru. Jika gambarannya seperti ini, maka bisa disimpulkan bahwa membaca dengan bimbingan para ulama lebih tepat dan utama dibandingkan seseorang membaca buku sendiri.

Demikian apa yang hendak kami terangkan. Berkata ash-Shofadi : “ Oleh karenanya, para ulama berkata : “ Janganlah kamu mengambil ilmu dari orang yang hanya membaca Mushaf dan jangan pula mengambil ilmu dari orang yang hanya membaca Suhuf. “

Pada masa-masa sekarang, banyak buku-buku yang dicetak tanpa diteliti dahulu, sehingga banyak sekali kesalahan-kesalahan yang di dapat. Satu kalimat saja tidak tertulis, maka akibatnya akan fatal, khususnya dalam masalah hukum, jika suatu masalah dihukumi halal, Seharusnya tertulis “La Yahrum“ yang berarti tidak haram, karena satu huruf saja hilang, yaitu (lam alif), maka tulisannya menjadi “ Yahrum “, yang berarti haram, seketika juga hukum yang tadinya mubah berubah menjadi haram.

Terdapat beberapa contoh yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah : Dua orang yang tidak memahami sama sekali tentang komputer, ingin belajar dan menguasai ilmu–ilmu yang ada kaitannya dengan komputer. Yang satu belajar melalui guru dan rajin bertanya serta mengikuti kursus-kursus komputer, dan yang satu lagi, malas bertanya dan tidak mau mengikuti kursus-kursus, dia hanya duduk di rumah mengandalkan sebuah buku panduan tentang komputer. Tentu saja, yang belajar dengan guru akan lebih cepat bisa dan sedikit kesalahannya dibanding dengan yang belajar sendiri. Bahkan yang belajar sendiri akan banyak merusak komputer, demikian juga ilmu–ilmu yang lain.

Ketiga : Belajar Bersikap Hati-Hati

Belajar dengan guru akan mendidik seseorang untuk bersikap hati-hati di dalam menentukan hukum. Akhir-akhir ini banyak orang asbun (asal bunyi) dalam masalah agama. Dia tidak pernah belajar tentang hukum syar’I, tetapi hobinya berfatwa tentang masalah-masalah yang sama sekali tidak dikuasainya. Ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat. ( lihat DR. Nashir bin Abdu al-Karim al-Aqli, al-Fiqh fi ad-Dien,(Riyadh:Dar Imam Dakwah, 1413 H)Cet. Pertama, hal. 33 -34)

Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’I pernah berkata :

مَنْ تَفَقَّهَ مِنَ الْكُتُبِ ضِيَعَ الأَحْكَام

"Barang siapa belajar dari buku, maka dia akan banyak mempermainkan hukum“ ( lihat an-Nawawi dalam al-Majmu’, hal. 66)

 Keempat : Belajar adab dan sifat dari guru.

Tidak diragukan lagi, bahwa teman bergaul sangat mempengaruhi sikap dan sifat seseorang. Dalam mahfudhat disebutkan :

لَا تَسْأَلْ عَنِ المَرْءِ وَاسْأَلْ قَرِيْنَهُ ، فَإِنَّ القَرِيْنَ بِالْمَقَارِنِ يَقْتَدِي

"Janganlah engkau bertanya tentang seseorang kepada dirinya langsung, tapi tanyalah kepada temannya, karena seseorang akan selalu mengikuti temannya“.

Hal ini dikuatkan dengan suatu hadist yang menyebutkan bahwa :

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ بَائِعِ المِسْكِ؛ إِمَّا أَنْ يحذيك ، وَإمَّا أَنْ تَشْتَرِي مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَشُمَّ مِنْهُ رَائِحَةً طَيِّبَةً، وَمَثَلُ الْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَلِ نَافِخِ الْكِيْرِ؛ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَشُمّ مِنْهُ رَائِحَةً كَرِيْهَةً ”

“Perumpamaan teman yang baik, bagaikan penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya, atau kamu akan menghirup bau wangi darinya. Adapun permisalan teman yang jelek, bagaikan tukang las, kemungkinan bajumu terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap . (HR. al-Bukhari)

Seorang penuntut ilmu yang selalu dekat dan sering bergaul dengan gurunya, niscaya dia akan terpengaruh dengan akhlaq, adat dan beberapa sifat dan sikapnya. Ini sangat penting sekali, karena akan membuat seorang penuntut ilmu untuk selalu semangat dan tidak mudah putus asa, khususnya ketika melihat gurunya yang tenang, tegar dan tabah, serta sabar, tentunya dia akan ikut terpengaruh dengan sifat-sifatnya. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh para penuntut ilmu. Dalam suatu hikmah disebutkan :

تَشَبَّهُوْا بِالْكِرَامِ وَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثَلَهُمْ ، فإن التشبه بِهِمْ فَلَاحٌ

“Dekat-dekatilah orang-orang yang baik, walaupun kamu belum bisa seperti mereka, karena dekat-dekat dengan mereka adalah suatu kesuksesan.“

Oleh karena itu, para penuntut ilmu yang selalu mendekati guru-gurunya, kemungkinan besar dikemudian hari, dia akan seperti mereka.

Pengaruh Guru terhadap Murid :

Contoh murid-murid  yang dikemudian hari menjadi seperti gurunya,

Ahmad bin Hambal yang belajar kepada Imam asy-Syafi’i, yang dikemudian hari beliau menjadi Imam Madzhab sebagaimana Imam asy-Syafi’i.

Imam asy-Syafi’i sendiri belajar kepada Imam Malik, yang dikemudian  hari beliau juga menjadi Imam Madzhab sebagaimana Imam Malik.

 Ibnu Qayyim yang belajar kepada Ibnu Taimiyah,  yang dikemudian hari ilmu dan tulisan-tulisannya banyak menyerupai ilmu dan tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah.

Syekh al-Utsaimin yang belajar kepada Syekh Abdurrahman as-Sa’di,  yang dikemudian hari beliau menggantikannya sebagai pengajar dan khatib di masjid besar Unaizah. Bahkan gaya dan metode mengajarnyapun terpengaruh dengan gaya mengajar gurunya.

 Syekh ‘Athiyah Salim yang belajar kepada Syekh Amin asy-Syenkiti, yang dikemudian hari beliau menggantikannya sebagai guru dan pengajar di masjid Nabawi sebagaimana gurunya.

 

KARYA TULIS