Karya Tulis
6552 Hits

Hukum Berkumpul Memuji Mayit


 Sudah menjadi kebiasaan di sebagian masyarakat, jika salah seorang tokoh meninggal dunia, mereka mengadakan perkumpulan untuk memperingati kematiannya dengan menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan si mayit. Bagaimana  pandangan para ulama dalam masalah ini ? Di bawah ini penjelasannya :

Di dalam literatur fiqh, kegiatan seperti itu disebut dengan ar-Ritsa’ atau at-Ta’bin, yaitu : ratapan atau pujian terhadap mayit setelah dikubur. Ataupun bisa diartikan kesedihan terhadap mayit akibat sesuatu yang menimpanya. ( Lisan al-‘Arab:14/309) . Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Sa’ad bin Khaulah radhiyallahu 'anhu bahwasanya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ ) يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ (

Tetapi kasihan Sa’ad bin Khaulah“(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangkan kematian Sa’ad di Mekkah.) ( HR. Bukhari, 1296 )  

Berkata al-Hafidh Ibnu Hajar al-Atsqalani di dalam Fathu al-Bari (3/514) : “ Kalimat (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangkan kematian Sa’ad di Mekkah.) merupakan perkataan az-Zuhri.

Para ulama di dalam membahas hukum al-Maratsi, mereka membaginya dalam beberapa keadaan, diantaranya :

Keadaan Pertama : Jika acara tersebut diadakan dengan tujuan memuji-muji mayit yang bisa membuat orang-orang menjadi sedih kembali, maka hal ini tidak diperbolehkan dan masuk dalam katagori an-Niyahah (meratapi mayit). Hal ini berdasarkan hadist Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu :

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَى عَنِ الْمَرَاثِي

          “ Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang al-Maratsi “ ( HR. Ahmad, 18659 dan Ibnu Majah, 1592 serta di sahihkan oleh al-Hakim. Sebagian ulama mendhaifkan hadits ini karena di dalamnya terdapat Ibrahim al-Hijri, dia dhaifkan oleh Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Ma’in, an-Nasai dan lainnya )

          Berkata al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi ( 6/253) :

المرثية المنهي عنها ما فيه مدح الميت وذكر محاسنه الباعث على تهييج الحزن وتجديد اللوعة، أو فعلها مع الاجتماع لها، أو على الإكثار منها دون ما عدا ذلك

          “Al-Maratsi yang dilarang adalah yang di dalamnya terdapat pujian kepada si mayit dan penyebutan tentang kebaikan-kebaikannya yang membangkitkan kesedihan dan memperbaharuhi kegalauan. Atau melakukan hal tersebut dengan cara berkumpul atau memperbanyak hal-hal seperti itu.“( lihat juga ‘Aunu al-Ma’bud :8/48)  

Disebutkan di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah ( 22/98 ) :

". وَذَكَرَ النَّوَوِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ صَاحِبِ التَّتِمَّةِ أَنَّهُ يُكْرَهُ تَرْثِيَةُ الْمَيِّتِ بِذِكْرِ آبَائِهِ , وَخَصَائِلِهِ , وَأَفْعَالِهِ , وَالْأَوْلَى الِاسْتِغْفَارُ لَهُ . وَذَكَرَ الْحَنَابِلَةُ أَنَّ مَا هَيَّجَ الْمُصِيبَةَ مِنْ وَعْظٍ أَوْ إنْشَادِ شِعْرٍ فَمِنْ النِّيَاحَةِ أَيْ : الْمَنْهِيِّ عَنْهَا . قَالَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ " انتهى .

“ Imam an-Nawawi menjelaskan di dalam al-Majmu’ dari pengarang kitab at-Tatimmah, bahwa hukumnya makruh memuji-muji mayit dengan menyebutkan nenek moyangnya, sifat-sifatnya dan perbuatannya. Lebih baik memintakan ampun untuknya. Para ulama madzhab Hanabilah menyebutkan juga bahwa yang bisa membangkitkan suatu musibah dari ceramah atau pembacaan syair termasuk di dalam katagori meratapi mayit, yaitu sesuatu yang dilarang. Ini disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin. “

          Keadaan Kedua : Jika acara tersebut diadakan dengan tujuan menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit tanpa berlebih-lebihan dalam memuji dan tidak ada kebohongan di dalamnya, dan tidak membangkitkan kesedihan kembali serta acara tersebut tidak terulang setiap waktu, maka hal tersebut  dibolehkan. Dalilnya adalah hadist Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau berkata :                   

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: وَجَبَتْ ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ ,فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه، مَا وَجَبَتْ قَالَ: هذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَهذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ

“ Suatu ketika para sahabat melewati jenazah yang diangkat menuju pemakamannya, merekapun memuji jenazah ini. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : telah wajib.  Kemudian mereka melewati jenazah lain, maka merekapun memberikan penilaian jelek, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : telah wajib. Maka  Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bertanya,”Apanya yang wajib?” Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jenazah pertama kalian puji dengan kebaikan, maka dia  mendapatkan surga. Jenazah kedua kalian cela, maka dia mendapatkan neraka. Kalian adalah saksi Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari, 1367 dan Muslim, 1004).

Berkata al-Khaththabi di dalam Gharibu al-Hadits (1/649 ):

          وأما المراثي التي فيها ثناء على الميت ، ودعاء له ؛ فغير مكروه ، وقد رثى رسول الله صلي الله عليه وسلم غير واحد من الصحابة بمراثي رواها العلماء

          “ Adapun al-Maratsi yang di dalamnya terdapat pujian kepada si mayit dan mendoakannya, maka hal tersebut tidaklah makruh. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memuji beberapa sahabat sebagaimana yang diceritakan para ulama. “

          Al-Qarrafi di dalam al-Furuq (2/174) membagi al-Maratsi menjadi empat bagian : 1. Dosa besar, jika di dalamnya mengandung penentangan terhadap taqdir Allah 2. Dosa kecil, jika di dalamnya mengandung sesuatu yang bisa membangkitkan kesedihan ahli mayit 3. Mubah, jika isinya sekedar mengingatkan kematian. 4. Dianjurkan, jika di dalamnya terdapat motivasi bagi keluarga yang ditinggal agar sabar dan tabah serta merelakan kepergian si mayit dan mendoakannya agar diterima segala amal sholehnya di sisi Allah. 

Kesimpulan :

        Dari keterangan di atas, mengadakan perkumpulan untuk mengenang kebaikan si mayit dibolehkan dengan syarat-syarat sebagai berikut : (1) tujuannya untuk mengambil pelajaran sehingga amalnya bisa ditiru, (2) tidak mengandung penentangan terhadap ketetapan Allah, (3) tidak berlebih-lebihan dalam memujinya, (4) tidak ada kebohongan di dalamnya, (5) tidak membangkitkan kesedihan kembali, (6) acara tersebut tidak diadakan beberapa saat setelah mayit dikubur, tetapi diadakan setelah berlalu agak lama seperti beberapa tahun setelah kematian orang tersebut, (7). acara tersebut tidak terulang setiap waktu.

          Berkata di Muhammad bin Ali al-Hanafi di dalam ad-Durr al-Mukhtar ( 2/ 239) :

وَلَا بَأْسَ بِنَقْلِهِ قَبْلَ دَفْنِهِ وَبِالْإِعْلَامِ بِمَوْتِهِ وَبِإِرْثَائِهِ بِشَعْرٍ أَوْ غَيْرِهِ ، لَكِنْ يُكْرَهُ الْإِفْرَاطُ فِي مَدْحِهِ لَا سِيَّمَا عِنْدَ جِنَازَتِهِ

“ Tidak apa-apa memindahkan jenazah sebelum dikubur, dan mengumumkan kematiannya, serta memujinya dengan syair atau cara lain, tetapi dimakruhkan berlebih-lebihan di dalam memujinya apalagi disamping jenazahnya ( yang baru saja dikubur ).“

          Walaupun demikian, untuk kehati-hatian, sebaiknya tidak perlu mengadakan acara-acara seperti itu. Jika ada kebaikan dari si mayit yang perlu dicontoh, bisa disampaikan ketika ada keperluannya. Hal itu menghindari dari sifat ghuluw dan berlebih-lebihan terhadap orang-orang sholeh. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus. Wallahu A’lam.

 

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA  

Al-Madinah Al-Munawwarah, 23 Dzulhijjah 1436 H/ 6 Oktober 2015 M 

KARYA TULIS