Karya Tulis
7051 Hits

Batasan Aurat Muslimah di depan Wanita Kafir


          Para ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh membuka auratnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan dibolehkan membuka sebagian anggota badannya, seperti kepala, leher, lengan dan betis di depan laki-laki yang menjadi mahramnya.

          Tetapi mereka berbeda pendapat tentang aurat wanita yang boleh dibuka di depan wanita muslimah. Mayoritas ulama dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah serta pendapat shahih dari Hanafiyah, bahwa aurat wanita di depan wanita muslimah adalah antara pusat dan lutut. ( An-Nawawi, al-Majmu’ : 3/167 ). Sedangkan menurut riwayat dari Hanafiyah bahwa yang dibolehkan untuk diperlihatkan adalah sebagaimana mereka di depan laki-laki yang menjadi mahramnya. ( Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq : 8/219 ).

          Mereka juga berbeda pendapat tentang aurat wanita muslimah di depan wanita kafir, apakah sama dengan aurat di depan laki-laki yang bukan mahram, atau sama dengan auratnya di depan wanita muslimah ?

          Pendapat Pertama : Aurat wanita muslimah di depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan laki-laki yang bukan mahramnya. Ini pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama dari Syafi’iyah, seperti al-Baghawi dan an-Nawawi sebagaimana di dalam Raudhatu ath-Thalibin (7/25). Diantara dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ

“ Janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka “ ( Qs.an-Nur : 31)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 6/47 ) :

وقوله:( أَوْ نِسَائِهِنَّ ) يعني: تُظهر ظهر زينتها أيضًا للنساء المسلمات دون نساء أهل الذمة؛ لئلا تصفهن لرجالهن، وذلك -وإن كان محذورًا في جميع النساء -إلا أنه في نساء أهل الذمة أشدّ، فإنهن لا يمنعهن من ذلك مانع، وأما المسلمة فإنها تعلم أن ذلك حرام فتنزجر عنه.

 “ (أَوْ نِسَائِهِنَّ) yaitu seorang wanita muslimah boleh memperlihatkan perhiasannya yang lahir di depan wanita muslimah, tetapi tidak boleh di depan wanita ahli dzimmah (wanita kafir ), agar mereka tidak membeberkan auratnya kepada laki-laki kafir. Walaupun hal itu ( membeberkan ) terlarang juga bagi semua wanita, tetapi lebih terlarang kepada wanita kafir, karena tidak ada yang melarang mereka berbuat seperti itu. Berbeda dengan wanita muslimah, karena dia mengetahui bahwa hal itu terlarang, sehingga dia tidak berani melakukannya. “  Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujahid.

 Larangan tersebut terdapat di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  

لاَ تُبَاشِرِالمَرْأَةُ المَرْأَةَ ، فَتَصِفَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إلَيْهَا

Janganlah seorang perempuan bersentuhan dengan perempuan lain, kemudian menceritakan auratnya kepada suaminya, seakan-akan dia melihatnya”  ( HR. Bukhari dan Muslim )

Jawaban : Bahwa makna (أَوْ نِسَائِهِنَّ) masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah wanita muslimah, sebagian mengatakan wanita secara umum. Jika ada beberapa kemungkinan tentang makna tersebut, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil. Sedangkan riwayat dari Ibnu Abbas dan Mujahid yang menyebutkan hal tersebut dinilai lemah oleh sebagian ulama.

 Adapun dhomir ( (هن dalam ayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki  di dalam Ahkamu al-Qur’an ( 3/326 ) dimaksudkan untuk penyesuaian dengan dhomir-dhomir lainnya yang jumlahnya pada ayat tersebut sampai 25 dhomir. Jadi bukan dimaknai khusus wanita muslimah, tetapi berlaku bagi seluruh wanita.   

   Kedua : Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu sebagaimana di dalam tafsir ath-Thabari ( 19/160), bahwa beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu 'anhu  yang berisi : “ Telah datang kepadaku berita bahwa wanita-wanita (muslimah ) masuk ke pemandian umum yang di dalamnya terdapat wanita-wanita ahlul kitab, maka laranglah mereka berbuat seperti itu.”  

 Jawaban : Berkata Ibnu ‘Imad sebagaimana di dalam Hasyiatu ar-Ramli (3/111):“ Pelarangan di atas hendaknya hanya berlaku pada wanita muslimah yang memperlihatkan badannya melebihi apa yang biasa terlihat ketika sedang bekerja. Adapun jika yang terlihat itu saja (kepala, leher, lengan, betis), maka tidak ada larangannya, karena hal itu boleh dilihatkan kepada wanita kafir. “

Pendapat Kedua : Aurat wanita muslimah di depan wanita kafir sebagaimana aurat wanita di depan wanita lainnya. Ini pendapat sebagian dari Malikiyah seperti Ibnu al-Arabi dan sebagian Syafi’iyah, seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi  dan dari Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Ibnu al-Utsaimin.  Adapun dalil mereka adalah sebagai berikut :

          Pertama : bahwa yang dimaksud (أَوْ نِسَائِهِنَّ) pada ayat di atas adalah semua wanita, baik yang muslimah maupun yang kafir. Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 7/464 ) :

وحكم المرأة مع المرأة حكم الرجل مع الرجل سواء ، ولا فرق بين المسلمتين ، وبين المسلمة والذمية ، كما لا فرق بين الرجلين المسلمين وبين المسلم والذمي في النظر

          “ Hukum (aurat) wanita di depan wanita sama dengan hukum (aurat ) laki-laki di depan laki-laki, tidak ada perbedaan apakah kedua-duanya wanita muslimah atau yang satu muslimah dan yang lain wanita kafir. Begitu juga tidak ada perbedaan apakah dua laki-laki tersebut semuanya muslim atau yang satu (kafir) dzimmi. Ini semua kaitannya dengan (hukum ) melihat ( aurat). “

          Berkata Imam Ahmad : “ Sebagian orang berpendapat bahwa seorang muslimah tidak boleh membuka khimarnya (jilbabnya ) di depan wanita Yahudi atau Nashrani. Adapun pendapat saya, bahwa yang tidak dibolehkan hanyalah jika seorang wanita kafir melihat kemaluan wanita muslimah, begitu juga dia tidak boleh membantu wanita muslimah ketika melahirkan. “  

          Kedua : Dahulu wanita-wanita Ahlul Kitab sering mendatangi istri-istri nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak menggunakan hijab ketika menemui  mereka, dan nabi pun tidak memerintahkan mereka menggunakan hijab. Diantaranya adalah ketika perempuan Yahudi berkunjung ke rumah Aisyah menanyakan sesuatu hal. Begitu juga ketika Asma’ binti Abu Bakar didatangi ibunya yang masih kafir, kemudian beliau bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh menyambung silaturahim dengannya, maka beliau menjawaba : “ Boleh “. Kedua hadist tersebut terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim.

          Ketiga : Terjadi perbedaan illat ( alasan) antara wanita muslimah harus berhijab ketika berada di depan laki-laki yang bukan mahramnya dengan ketika dia tidak berhijab di depan wanita kafir. Sehingga tidak bisa disamakan dalam hukumnya. 

          Keempat : Pendapat ini lebih fleksibel dan lebih dekat dengan realita di masyakat di mana sangat susah seorang wanita muslimat tidak bertemu dengan wanita kafir di toilet atau di tempat -tempat lain yang dikhususkan wanita.  

          Kesimpulan :

          Dari keterangan di atas, disimpulkan bahwa pendapat yang lebih sesuai dengan kemaslahatan mayoritas wanita muslimah adalah bolehnya membuka sebagian auratnya, seperti kepala, leher, lengan, dan betis di depan wanita kafir. Karena kalau hal itu dilarang, maka akan memberatkan mereka, sebagaimana pernah disampaikan oleh al-Alusi di dalam tafsir Ruh al-Ma’ani ( 19/143) : “  Pendapat ini lebih memudahkan bagi masyarakat, karena hampir susah bagi wanita muslimah menghindar dari wanita kafir. “  Pernyataan al-Alusi ini pada abad ke 19 M, tentunya hari ini keadaannya lebih sulit untuk menhindari hal tersebut, terutama yang tinggal di kota-kota besar, dan di negara-negara Barat.

Berkata Ibnu Hajar  al-Atsqalani : “ Yang lebih shahih adalah haram wanita kafir melihat kepada aurat wanita muslimah yang tidak biasa dibuka ketika bekerja, kecuali dia sebagai tuannya atau mahramnya. Dan peristiwa datangnya wanita dzimmiyah ( kafir ) ke rumah istri-istri Rasulullah yang terdapat di dalam hadits-hadist shahih cukup sebagai dalil bahwa mereka boleh melihat sebagian anggota badan wanita muslimah yang sering  terlihat ketika bekerja. “

Adapun perkataan ulama-ulama terdahulu untuk tidak membuka jilbabnya di depan wanita kafir bisa dimaknai sebagai suatu anjuran, sebagaimana pendapat al-Makhul, Ubadah bin Nusai dan as-Samarqandi dari Hanafiyah.

Bagi wanita muslimah yang mampu menjaga diri dan tidak membuka aurat mereka sama sekali di depan wanita kafir tentunya hal itu lebih baik. Wallahu A’lam.

 

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

Mekkah al-Mukarramah, 3 Dzulhijjah 1436 H / 17 September 2015 M

KARYA TULIS