Karya Tulis
3621 Hits

Hukum Membayar Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Menyusui


          Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui jika khawatir akan keselamatan dirinya, maka keduanya boleh tidak berpuasa Ramadhan dan menqadha’ puasanya pada bulan lain. Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (3/80) : “ Kami tidak mengetahui perbedaan para ulama dalam masalah ini, karena keduanya dianggap seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap keselamatan dirinya “

          Tetapi para ulama berbeda pendapat jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa karena khawatir terhadap janin dalam kandungannya atau anak yang sedang disusuinya, serta tidak khawatir terhadap dirinya sendiri, apakah dia harus mengqadha’ puasanya saja, atau disertai dengan membayar fidyah ?

          Pendapat Pertama : Keduanya harus menqadha’ puasa dan membayar fidyah. Ini pendapat shahih dalam madzhab Syafi’i dan perkataan Imam Ahmad.

          Berkata Abu Bakar al-Hashni asy-Syafi’i di dalam Kifayatu al-Akhyar (1/205) : “ Jika wanita hamil dan menyusui khawatir dengan  berpuasa akan membahayakan mereka berdua, seperti jatuh sakit, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus mengqadha’nya, sebagaimana kewajiban orang yang sakit. Ini berlaku umum, anaknya ikut terkena sakit atau tidak, sebagaimana yang disebutkan Qadhi Husain, dan tidak perlu membayar fidyah. Tetapi jika mereka berdua khawatir terhadap anaknya, seperti terjadi keguguran bagi wanita hamil dan berkurangnya susu bagi wanita yang menyusui, maka keduanya boleh tidak puasa, tetapi harus mengqadha dan membayar fidyah menurut pendapat yang paling dhahir. “ 

          Dalil mereka sebagai berikut :

          Pertama : Firman Allah,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“ Dan wajib bagi orang-orang yang mampu menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”(Qs.al-Baqarah : 184)

          Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang mampu berpuasa, kemudian berbuka karena suatu hal, maka harus membayar fidyah. Berkata Ibnu Abbas : “ Ayat di atas diturunkan kepada laki-laki dan wanita yang sudah tua, padahal mereka kuat berpuasa, tetapi dibolehkan tidak berpuasa dan harus membayar (fidyah) setiap harinya dengan memberi makan satu orang miskin. Begitu juga wanita hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anaknya, maka boleh berbuka dan membayar fidyah. “ (Riwayat Abu Daud, 2317)

Jawabannya, bahwa ayat di atas telah dimansyukh (dihapus) hukumnya dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“ Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,”(Qs.al-Baqarah : 185)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (1/499) : “ Ayat di atas menunjukkan kewajiban puasa Ramadhan bagi yang muqim dan sehat, memberikan keringanan bagi yang musafir dan sakit, serta kewajiban  membayar fidyah bagi orang yang sudah lanjut usia, yang tidak mampu lagi berpuasa. “

Wanita hamil dan menyusui yang mampu berpuasa maka wajib baginya berpuasa, jika tidak mampu maka boleh tidak berpuasa, tetapi mengqadha di hari lain, seperti orang yang sakit.

Kedua : Puasa adalah ibadah yang di dalamnya terdapat kewajiban mengqadha’ dan membayar kaffarah yang besar ( bagi yang menggauli istrinya di siang bulan Ramadhan), maka boleh diwajibkan di dalamnya qadha’ dan kaffarah kecil (bagi wanita hamil dan menyusui ) sebagaimana ibadah haji.  (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir (3/293)

Pendapat Kedua : Wanita menyusui wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, sedangkan wanita hamil hanya mengqadha’ puasa saja. Ini pendapat Malik dalam riwayat yang lebih benar (lihat Ibnu Juzai, al-Qawanin al-Fiqhiyah, 101, al-Qurthubi, al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, 2/193) dan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i.

Mereka beralasan bahwa wanita yang menyusui bisa menyewa wanita lain untuk menyusui anaknya, maka dia tidak perlu meninggalkan puasanya. Adapun wanita hamil tidak bisa mewakilkan kehamilannya kepada orang lain, sehingga dia hanya berkewajiban mengqadha’ saja.

Begitu juga kekhawatiran wanita hamil terhadap janinnya seperti kekhawatiran terhadap salah satu anggota badannya yang sakit, maka berkewajiban mengqadha’ saja, sebagaimana orang sakit.

Pendapat Ketiga : Bagi wanita hamil dan menyusui hanya berkewajiban mengqadha’ saja dan tidak ada kewajiban membayar fidyah sama sekali. Ini pendapat Abu Hanifah (lihat al-Maushili, al-Ikhtiyar, 1/174, al-Kasani, Badai’ ash-Shonai’,2/97) dan  salah satu pendapat madzhab Syafi’i , serta madzhab adh-Dhahiriyah (Ibnu Hazm, al-Muhalla, 4/410)

Dalil mereka sebagai berikut :

Pertama : Hadist Anas bin Malik ,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

“ Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat. Dan (menggugurkan) dari musafir,wanita hamil dan menyusui puasa." ( HR. Abu Daud, 2056, dan Nasai, 2276)  

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah.

Kedua : Udzur wanita hamil dan menyusui seperti udzurnya orang sakit, sehingga boleh meninggalkan puasa dan mengqadha’ saja, tanpa membayar fidyah.

Ketiga :  Kewajiban membayar fidyah diberlakukan untuk orang yang tidak mampu mengqadha’ puasa saja, maka bagi wanita hamil dan menyusui yang masih mampu berpuasa, jika meninggalkan puasa, hendaknya mengqadha’ saja.

Keempat : Tidak berrkumpul pengganti dan yang diganti dalam satu waktu, sebagaimana tayamum dan wudhu, begitu juga tidak berkumpul antara kafarah dan qadha’ puasa. (as-Sarkhasyi, al-Mabsuth, 3/99)

Kelima : Tidak boleh mewajibkan seseorang untuk membayar sejumlah harta kecuali ada perintah dari al-Qur’an dan hadits, di sini tidak ada dalil dari al-Qur’an dan haditsnya. Kita harus hati-hati dalam masalah ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ ، وَأَمْوَالَكُمْ ، وَأَعْرَاضَكُمْ ، حَرَامٌ عَلَيْكُمْ

“ Maka sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram bagi kalian (untuk mengambilnya tanpa hak) “ (HR. Bukhari dan Muslim )

Keenam : Pendapat ini sesuai dengan ruh kemudahan di dalam Islam dan tidak membebani masyarakat dengan sesuatu yang belum tentu mereka memilikinya. 

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa Ramadhan karena khawatir terhadap dirinya sendiri maupun khawatir terhadap bayi atau janinnya, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali mengqadha’ puasa pada bulan lain sebanyak puasa yang dia tinggalkan. Jika dia tidak mampu berpuasa, maka dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkannya. Sehingga tidak berkumpul antara qadha’ dan fidyah. Wallahu A’lam.

Pasar Kecapi, 13 Sya’ban 1437 / 20 Mei 2016 M

KARYA TULIS