Hukum Menggauli Wanita Haid
Pengertian Haid
Di dalam Syareh Shahih Muslim (3/204), an-Nawawi menyebutkan bahwa haid secara bahasa adalah sesuatu yang mengalir, seperti kalimat (hadha al-wadi, yaitu lembah itu mengalir airnya). Adapun secara istilah menurut Abus Syujak di dalam matannya at-Taqrib (hlm.17) : “ Darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan. “
Hukum Menggauli Wanita Haid
Dasar utama dalam masalah ini adalah firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’.Oleh karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,dan janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci.Apabila mereka telah bersuci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” (Qs. al-Baqarah, 222)
Para ulama sepakat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menggauli istrinya yang sedang haid dengan cara berjima’, dan itu merupakan dosa besar. Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (3/204) : “ Menggauli istri (pada saat haid) di kemaluannya hukumnya haram menurut kesepakan kaum muslimin dengan dalil nash al-Qur’an dan Sunnah yang sahih. Berkata para sahabat kami, “ Seandainya seorang muslim menyakini bolehnya berjima’ dengan dengan wanita haid, maka dia telah kafir murtad…Jika dia berjima’ dengannya secara sengaja, padahal tahu dalam keadaan haid dan tahu keharamannya, dan atas pilihannya sendiri, maka dia telah melakukan dosa besar.“
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menggaulinya selain berjima’ menjadi tiga pendapat,
Pendapat Pertama, mengatakan bahwa suami tidak boleh menggauli sedikitpun dari badan wanita haid, artinya seluruh badannya haram bagi suaminya. Ini riwayat dari Ibnu Abbas dan Ubaidah as-Salmani. Mereka beralasan dengan keumuman ayat di atas yang memerintahkan menjauhi wanita haid secara mutlak dengan tidak merincinya.
Jawabannya, keumuman ayat di atas telah dijelaskan oleh beberapa hadits yang akan disebutkan kemudian. Al-Qurthubi di dalam tafsirnya (3/87) menyatakan bahwa pendapat ini aneh, dan jauh dari kebenaran. Hal yang sama juga disampaikan an-Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim (3/205).
Pendapat Kedua, menyatakan bahwa suami boleh menggauli dengan seluruh badan istrinya yang haid kecuali yang berada diantara pusar dan lutut. Ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Dalil mereka sebagai berikut,
Pertama, hadist Aisyah radhiyallahu’anha ia berkata,
وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
“Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (HR. Bukhari, 300)
Kedua, hadits Maimunah radhiyallahu’anha ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُبَاشِرَ نِسَاءَهُ فَوْقَ الإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggauli istri-istrinya di atas sarung sedangkan mereka haid,” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ketiga menyatakan bahwa suami boleh menggauli dengan seluruh badan istrinya yang haid, kecuali tempat keluarnya darah haid, yaitu kemaluannya. Ini pendapat asy-Syafi’I yang shahih. An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini paling kuat dalilnya. Adapun dalilnya sebagai berikut :
Pertama, hadist Aisyah radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا اَلنِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap isterimu yang haid) kecuali menikah (jima’)” (HR. Muslim, 302)
Kedua, diriwayatkan dari Masruq, bahwa beliau berkata,
سألت عائشة ما يحل للرجل من امرأته إذا كانت حائضًا؟ قالت: كلّ شيء إلاّ الجماع.
“ Saya bertanya kepada Aisyah tentang batasan laki-laki menggauli istrinya ketika haid ? Beliau berkata : “ Boleh semuanya kecuali jima’ “ ( Abdur Razaq di al-Mushannaf, 7439, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 1/220)
Jawaban atas dalil-dalil pendapat kedua, bahwa perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas menunjukkan sesuatu yang dianjurkan, bukan sesuatu yang wajib. Kemudian jika terdapat pertentangan antara perbuatan dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka yang didahulukan adalah perkataannya, sebagaimana yang ditetapkan para ulama ushul fiqh.
Kesimpulannya, bahwa batasan laki-laki menggauli istrinya yang haid diperinci terlebih dahulu :
Pertama, jika laki-laki tersebut tidak bisa menahan syahwatnya, sebaiknya tidak menggauli istrinya dalam keadaan haid, kecuali antara pusar dan lutut, dan memerintahkan istrinya untuk menutup daerah tersebut dengan kain. Ini untuk menjaga agar dirinya tidak terjerumus ke dalam perbuatan haram.
Kedua, jika laki-laki tersebut mampu menahan syahwatnya, dibolehkan untuk menggauli istrinya di bagian manapun juga dari anggota badannya kecuali jima’. Wallahu A’lam.
Hukuman bagi yang Menggauli Wanita Haid
Apakah seseorang yang mendatangi istrinya (berjima’ ) dalam keadaan haid diharuskan membayar kaffarat sebagai penebus dosa yang ia lakukan ? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
Pendapat Pertama, wajib membayar kaffarat. Ini pendapat asy-Syafi’I yang lama (al-Qadim) dan riwayat dari Ahmad. Mereka beralasan dengan hadis Ibnu Abbas radhiyallallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada orang yang mendatangi isterinya dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya.”(HR. Ahmad,2121 dan an-Nasai,9105)
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf, bahwa beliau berkata, ”Jika dia menggauli istrinya di awal keluarnya darah, maka hendaklah bersedekah satu dinar,dan jika di akhir keluarnya darah, maka setengah dinar.”
Pendapat Kedua, dia tidak wajib membayar kaffarat. Ini pendapat mayoritas ulama, termasuk pendapat asy-Syafi’I yang baru (al-Jadid) dan kuat. Alasannya bahwa hadits yang menyebutkan kaffarat lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran. Berkata an-Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim (3/205: “ (Hadist Ibnu Abbas ) di atas adalah hadist lemah menurut kesepakatan al-Huffadh.”
Batasan Waktu Larangan.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan menggauli wanita haid, dimulai ketika adanya darah haid dan berakhir ketika wanita tersebut bersih dari haid dan mandi. Ini berdasarkan firman Allah :
وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“ Janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci.Apabila mereka telah bersuci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” (Qs. al-Baqarah, 222)
Kalimat ( apabila mereka telah bersuci) maksudnya bersuci dengan mandi, jika ada air, atau dengan tayamum jika tidak ada air.
Sebagian ulama, seperti Abu Hanifah membolehkan seorang laki-laki menggauli istri yang sudah bersih dari haid dengan berhentinya darah walaupun belum mandi, ini berlaku jika haidnya sampai sepuluh hari. Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/587) disebutkan bahwa Mujahid, Ikrimah dan Thawus membolehkannya dengan syarat berwudhu terlebih dahulu. Wallahu A’lam,
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
23 Dzulhijjah 1437 H/25 September 2016 M
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »