Karya Tulis
5316 Hits

Hukum Mengkonsumsi Obat Penunda Haid


Akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang menanyakan hukum mengkonsumsi obat penunda haid. Kenapa mengkonsumsi obat tersebut ? Jawaban mereka : “ Agar bisa puasa Ramadhan secara penuh, sangat rugi pada bulan yang penuh berkah tersebut tidak bisa berpuasa, membaca al-Qur’an, sholat terawih, iktikaf di masjid dan meraih Lailatul Qadar.” Ada juga sebagian ibu yang ingin mengkonsumsi obat tersebut agar bisa Umrah dan Haji secara tenang. Bagaimana hukumnya ?

Hakikat Obat Penunda Haid

Obat Penunda Haid adalah obat yang bisa dipakai untuk menunda atau mempercepat datangnya haid tergantung kepada keinginan wanita yang bersangkutan. Salah satu obat jenis ini yang populer adalah Primolut N.

Primolut N berbentuk tablet,tidak  boleh digunakan sembarangan, karena harus tahu indikasi, kontraindikasi, dan efek samping yang bisa ditimbulkannya. Oleh karenanya untuk mengkonsumsinya harus dengan resep dokter. Bahan aktif yang terkandung dalam Primolut N tablet adalah Norethisterone. Ini merupakan bentuk sintetis dari progesteron, hormon yang secara alami terdapat dalam tubuh wanita yang terutama berhubungan dengan siklus menstruasi dan kehamilan.

 

Penggunaan pil penunda haid dibagi menjadi dua; (1) Memajukan saat haid, ini dengan cara meminum pil atau tablet yang hanya berisi hormon estrogen atau kombinasi pada hari kelima dari siklus haid dari hari kedua sampai hari ketiga sebelum datangnya haid yang diinginkan. (2). Menunda saat haid, ini dengan cara meminum pil yang hanya berisi progesterone atau kombinasi pada hari sebelum haid berikutnya datang sampai hari kedua sebelum haid yang diinginkan, karena haid biasanya akan datang dua hari setelah penghentian pil tersebut. (mediskus.com)

 

Hukum Mengkonsumsi Obat Penunda Haid

Berbicara tentang hukum mengkonsumsi obat penundaan haid dalam fiqh, bisa dibagi menjadi dua masalah, pertama mengkonsumsi obat penunda haid dalam ibadah puasa Ramadhan, kedua, mengkonsumsi obat tersebut dalam ibadah Haji.

 

Pertama : Mengkonsumsi Obat Penunda Haid dalam Ibadah Puasa Ramadhan.

 

Yang perlu digarisbawahi bahwa haid adalah ketentuan Allah yang ditetapkan kepada wanita, sebagaimana di dalam hadits,

هَذَا شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ

Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada anak-anak wanita Adam. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Berdasarkan hadits di atas, hendaknya setiap muslimah menerima ketetapan tersebut dengan sepenuh hati. Ini terwujud dalam keterangan di bawah ini ;

 

(1) Mengkonsumsi obat penunda haid tidak akan menambah pahala dan tidak pula menambah kebaikan. Karena Allah telah menetapkan haid bagi wanita dengan hikmah dan tujuan yang baik, bukan untuk merendahkan wanita.

 

(2) Menggunakan obat tersebut justru menyebabkan haid wanita menjadi tidak teratur, sehingga membingungkannya, apakah dia sedang haid atau tidak, karena datang dan perginya haid jadi tidak menentu.

 

(3) Dari sisi hukum fiqh, pada dasarnya segala sesuatu adalah mubah dan boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Maka mengkosumsi obat penunda haid hukumnya boleh selama tidak membahayakan bagi wanita tersebut. Efek samping yang ditimbulkannya, bisa merubah status hukum dari  yang mubah menjadi makruh, atau menjadi haram, tergantung pada besar kecilnya bahaya yang ditimbulkannya.

 

(4) Mengkonsumsi obat tersebut harus seizin suami karena akan menganggu kesuburan dan berpengaruh pada kehamilan, sebagaimana jika istri ingin berpuasa sunnah harus izin kepada suaminya, karena terkait dengan hubungan suami istri.

 

(5). Jika seorang wanita berpuasa karena dalam keadaan suci akibat pengaruh obat penunda haid, maka puasanya tetap sah. Berkata ad-Dasuqi di dalam al-Hasyiah ‘Ala asy-Syareh al-Kabir (1/168) :

 

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَرْأَةَ إمَّا أَنْ تَسْتَعْمِلَ الدَّوَاءَ لِرَفْعِ الْحَيْضِ عن وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَفِي هذه يُحْكَمُ لها بِالطُّهْرِ في الْوَقْتِ الْمُعْتَادِ الذي كان يَأْتِيهَا فيه وَتَأَخَّرَ عنه.

“ Kesimpulannya, bahwa seorang wanita jika menggunakan obat penunda haid dari waktunya yang biasa, Maka dia dihukumi suci (dengan obat ini) pada waktu yang biasanya datang haid kepadanya.”  

 

(6) Jika wanita haid meninggalkan sholat, puasa, membaca al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lain yang sejenis, dengan niat melaksanakan perintah Allah, maka akan mendapatkan nilai ibadah yang tidak kalah besar pahalanya dengan pahala wanita lain yang berpuasa dan  melaksanakan sholat.

(7) Mengkonsumsi obat penunda haid mirip dengan usaha merubah ciptaan Allah atau ketetapan Allah kepada wanita. Setiap usaha ke arah itu, akan menyebabkan kerusakan dan ketidak seimbangan dalam hidup yang terwujud dalam efek samping yang ditimbulkan dari obat tersebut.

(8) Diantara efek samping dari penggunaan obat penunda haid adalah; Insomnia, rontok rambut, menambah berat badan, depresi, pusing,  perubahan libido, perubahan siklus menstruasi, sakit kepala dan mual, bahkan bisa menyebabkan kemandulan.

Kedua : Hukum Menggunakan Pil Penunda Haid pada Ibadah Haji.        

Hukum menggunakan pil penunda Haid pada ibadah Haji agak berbeda dengan hukum menggunakannya pada ibadah Ramadhan. Letak perbedaannya, bahwa pengunaan pada bulan Ramadhan bukan termasuk darurat, karena tidak menimbulkan kepayahan, justru itu adalah keinginan wanita untuk memayahkan diri sendiri dalam beribadah pada bulan Ramadhan.

Berbeda penggunaannya pada ibadah haji, di dalamnya terdapat tujuan untuk menghilangkan kepayahan dari dirinya dalam ibadah, karena jika dia tidak mengkonsumsi obat tersebut, mengakibatkan wanita tidak bisa melaksanakan salah satu rukun Haji, yaitu Thawaf Ifadhah. Jika dia pulang bersama rombongan ke tanah air, dia masih harus  menyempurnakan haji pada tahun berikutnya dan ini sangat berat bagi seorang wanita, khususnya yang tinggal di Indonesia. Di dalam Kaidah Fiqh disebutkan; المشقة تجلب التيسير (Kepayahan itu bisa mengundang Kemudahan.)  

Namun demikian, maka perlu diperhatikan keterangan sebagai berikut :

(1) Wanita  yang sedang haid masih bisa melaksanakan kegiatan ibadah haji, sebagaimana wanita lain yang tidak haid, seperti Sa’i, Mabit di Mina dan Muzdalifah, Wukuf di Arafah, melempar Jumrah dan lain-lain, hanya saja dia tidak boleh Thawaf. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang haji kecuali Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)

(2) Thawaf  Ifadhah bagi wanita haid bisa dilaksanakan pada hari-hari Tasyriq, atau pada hari-hari lain selama bulan Dzulhijjah, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas untuk menyempurnakan ibadah hajinya. Sebagian ulama membolehkan Thawaf Ifadhah dalam keadaan haid, jika darurat sekali, dengan menggunakan pembalut, agar darahnya tidak tercecer mengotori masjid, walaupun hal ini masih menjadi perselisihan para ulama. 

(3) Wanita yang haid jika sudah terbiasa melaksanakan ibadah tertentu, tiba-tiba berhalangan karena haidnya, maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang melaksanakan ibadah tersebut, sebagaimana tersebut di dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika salah seorang hamba sakit atau bersafar, maka tetap dicatat pahalanya, seperti pahala ketika ia dalam keadaan tidak bersafar atau ketika sehat. “ ( HR.Bukhari dan Muslim)


Kesimpulan

       Dari keterangan di atas bisa disimpulkan sebagai berikut,

(1) Haid adalah ketetapan Allah bagi wanita, di dalamnya mengandung banyak hikmah dan pelajaran. Wanita Muslimah hendaknya ridha dengan ketetapan ini, sabar di dalam menghadapinya, mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, seperti meninggalkan shalat dan puasa, tidak menyentuh al-Qur’an, tidak melakukan thawaf di Ka’bah dan lain-lainnya.

(3) Wanita Muslimah tidak perlu menyusahkan diri sendiri dengan mengkonsumsi obat penunda haid dengan dalih ingin ikut beribadah seperti muslimah yang lainnya. Karena hal itu justru akan merugikan dirinya dan terganggu kesehatannya. Terdapat kesan bahwa dia tidak ridha dengan taqdir-Nya. Maka, mengkonsumsi obat ini hukumnya makruh.

(4) Khusus pada ibadah Haji dan Umrah, sebagian ulama membolehkan seorang wanita mengkonsumsi obat tersebut untuk menghindari kepayahan yang lebih berat, dan ini masuk dalam katagori darurat, tidak ada pilihan lainnya. Wallahu A’lam.

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pondok Gede, 26 Muharram 1438 H/ 27 Oktober 2016 M

KARYA TULIS