Karya Tulis
1172 Hits

Bab 1 Tauhid Menumbuhkan Sifat Adil dan Amanah (Bag-1)


Bab 1

Tauhid Menumbuhkan Sifat Adil dan Amanah

 

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

(Qs. an-Nisa: 58)

 

 Pelajaran (1): Perintah Allah bagi Para Pejabat

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

Para pejabat negara yang beriman kepada Allah dan menyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan, dan satu-satunya Dzat yang harus ditaati, mereka akan melaksanakan segala perintah Allah sekuat tenaganya. Termasuk perintah Allah pada ayat di atas.

Menurut Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim (2/338) perintah Allah untuk menyampaikan amanat pada ayat di atas mencakup semua amanat yang diberikan kepada manusia, yang bisa dikelompokkan menjadi dua bagian:

Pertama: Amanat berupa hak Allah kepada manusia, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, membayar kaffarat, nadzar dan puasa.   

Kedua: Amanat berupa hak-hak manusia yang harus ditunaikan, seperti barang titipan, dan lain-lainnya.

Sebagian ulama, seperti Ibnu Taimiyah di dalam as-Siyasah asy-Syar’iyah fi Ishlahi ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah (hal. 12) menyebutkan bahwa ayat tersebut ditujukan lebih khusus kepada para pemegang amanah rakyat, terutama pemerintah dan para pejabat, agar melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar. Tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan (abused of power) untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Untuk mewujudkan hal itu, Allah memberikan dua panduan khusus kepada mereka, sebagaimana keterangan di bawah ini.

Pelajaran (2): Dua Panduan Pejabat Muslim

Ayat di atas memberikan dua panduan secara khusus kepada pemerintah dan pejabat muslim, yaitu, (1) menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan (2) menghukumi manusia dengan adil. Keterangannya sebagai berikut;

Pertama:  Menyampaikan Amanat Kepada yang Berhak

أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,

Amanat adalah salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh pemimpin muslim yang bertauhid kepada Allah. Karena Allah menciptakan manusia di muka bumi ini untuk menjadi khalifah, memakmurkan bumi ini sesuai dengan tuntunan Allah yang diturunkan melalui para nabi dan rasul-Nya, dimulai dari Nabi Adam dan berakhir pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.

 Jauh sebelum manusia, ‘amanat’ ini ditawarkan kepada langit dan bumi, serta gunung-gunung, para makhluk Allah yang besar. Akan tetapi mereka enggan untuk mengambilnya dan merasa berat membawanya, kemudian ‘amanat’ tersebut diambil oleh manusia. Iya, oleh manusia yang tidak mampu menjalankannya, manusia yang zalim dan jahil. Allah berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.“ (Qs. al-Ahzab: 72)

Yang dimaksud ‘amanah’ pada ayat di atas menurut mayoritas ulama adalah melaksanakan segala perintah Allah, yang diiringi dengan pahala jika melaksanakannya dengan baik, dan sanksi jika menyelewengkannya. Berkata asy-Syinqithi di dalam Adhwau al-Bayan (6/258): “Allah menyebut pada ayat ini, bahwasanya Dia mengemukakan amanat, yaitu kewajiban (agama) -disertai dengan pahala dan sanksi- kepada langit dan bumi serta gunung, tetapi mereka enggan untuk mengambilnya dan merasa berat karena takut akan sanksi yang menyebabkan turunnya adzab Allah dan murka-Nya.”

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa penyebab manusia tidak bisa memegang amanah ada dua, yaitu zalim dan jahil.  

(a) Zalim (ظَلُومًا) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Syirik adalah salah satu bentuk kezaliman yang paling besar. Karena meletakkan penyembahan dan peribadatan bukan kepada Allah. Zalim juga berarti menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri (abused of power).

Biasanya orang berbuat zalim karena memiliki sarana dan fasilitas, berupa kekayaan, ilmu, kekuasaan, jabatan, maupun pengaruh. Dalam keadaan seperti itu dorongan syahwat dunia sangat kuat, maka banyak diantara mereka yang berjatuhan di tengah-tengah derasnya arus syahwat dan tersedianya fasilitas.

Di dalam al-Qur’an, sifat ‘zalim’ ini sering disematkan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah memberikan kepada mereka fasilitas ilmu, harta dan kekuasaan. Orang yang menyalahgunakan ilmu, harta dan jabatan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah akan mendapatkan murka Allah (al-Maghdhubi ‘Alahim).  Merekalah golongan pertama yang membuat kerusakan di muka bumi ini, dan merekalah sesungguhnya biak kerok hancurnya suatu bangsa dan negara. Untuk melihat bagaimana peran Yahudi dalam merusak tatanan dunia, silahkan baca Disertasi Abdullah ath-Thail, Judzur al-Bala’ (Yahudi, Akar Malapetaka Dunia). 

Penyakit yang menghinggapi kalangan Yahudi ini, disebut dengan ‘Penyakit Syahwat’, adalah penyakit yang sering menjangkiti orang yang memiliki ilmu, harta dan jabatan, kemudian dia menyalahgunakannya untuk memuaskan syahwat dan nafsu dunianya.

(b) Jahil (جَهُولًا) adalah orang yang tidak punya ilmu. Bisa jadi dia semangat untuk berbuat baik, dan ada keinginan kuat untuk membuat perbaikan di muka bumi ini, bahkan cita-citanya ingin masuk surga. Akan tetapi karena tidak berbekal ilmu, hanya semangat saja, maka bukan kebaikan yang didapat, tapi justru kejelekan. Bukan perbaikan yang dikerjakan, tapi justru kerusakan. Bukan surga yang dimasuki, tapi justru tersesat ke neraka; na’udzubillahi min dzalik.

Penyakit yang menimpa orang-orang jahil semacam ini, sering disebut dengan ‘Penyakit Syubhat’. Yaitu penyakit orang yang hanya mempunyai semangat saja, tetapi tidak mempunyai modal ilmu, sehingga semangatnya bisa mengarahkannya kepada kesesatan dan kerusakan. Di dalam al-Qur’an disebut dengan “adh-Dhallin” (orang-orang yang sesat di jalan). Penyakit ini sering menimpa orang-orang Nashara dan sejenis mereka.

Untuk mengobati penyakit di atas adalah dengan cara mencari ilmu, dan salah satu ilmu yang wajib dipelajari setiap orang adalah ‘Ilmu Tauhid’. Ilmu tentang ke-Esaan Allah, bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang wajib disembah, dimintai pertolongan, tempat bergantung dan tempat mengadu segala masalah. Dia-lah sumber segala ilmu.  Allah berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (Qs. Muhammad: 19)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah mencari ilmu tentang Allah, bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Dan bahwa yang tidak mengetahui ‘ilmu tauhid’ tersebut, dipastikan akan berbuat kerusakan di muka bumi ini secara sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, walaupun niatnya ingin memperbaiki bumi ini.

As-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/787) berkata: “Ilmu yang Allah perintahkan ini, yaitu Ilmu Tauhid, hukumnya fardhu ‘ain atas setiap manusia, dan tidak gugur darinya, siapa saja orang itu, bahkan semuanya membutuhkan ilmu ini.”

Kesimpulan: jika kedua kelompok ini (orang zalim dan jahil) bertemu, maka dipastikan akan mengakibatkan kerusakan yang besar di muka bumi ini. Dan itu yang terjadi sekarang. Negara manapun jika dipegang dua kelompok ini, maka akan menjadi rusak, rakyat sengsara, ekonomi morat-marit, kezaliman merajalela di mana-mana, yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin. Itu semua terjadi karena ‘amanat’ telah disia-siakan oleh dua kelompok manusia di atas. Wallahu Musta’an. 

Apa solusinya? Solusinya adalah dengan mencari jalan yang lurus (Shirath al-Mustaqim), yaitu jalannya para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin. ‘Jalan Tauhid’, jalan Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, menangkal kebodohan dan luapan syahwat dengan menggabungkan antara ilmu dan amal sekaligus.

Kedua: Menghukumi Manusia dengan Adil

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”

Panduan kedua untuk pejabat muslim dari ayat di atas adalah ‘menghukumi manusia dengan adil’. Kenapa begitu? Jawabannya karena Allah adalah Maha Adil, orang Islam yang ‘Tauhid’-nya kuat dan pengenalan terhadap Allah begitu mendalam, dia akan meniru beberapa sifat Allah, diantaranya sifat Adil.

Berbuat adil ketika menghukumi manusia adalah perintah Allah, dan ini berdampak kepada kesejahteraan dan keamanan. Sebaliknya perbuatan zalim akan mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan konflik sosial. Keduanya akan membuat negara lemah dan goyang.

Berbuat adil kadang disebut dalam al-Qur’an dengan kata ‘al-Haq’, sebagaimana firman-Nya,

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan ‘kebenaran (adil)’ dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad: 26)

Allah memerintahkan kepada Nabi Daud untuk menghukumi manusia dengan ‘al-Haq’ (kebenaran). Sedangkan pada surat an-Nisa’ di atas Allah memerintahkan setiap pejabat untuk menghukumi manusia dengan ‘Adil’, ini menunjukkan bahwa pengertian adil adalah al-Haq (kebenaran), yaitu seluruh apa yang diperintahan Allah dan Rasul-Nya.  Dari situ, dikatakan bahwa menghukumi manusia dengan adil adalah menghukumi manusia dengan al-Haq (kebenaran) sebagaimana yang diajarkan dan disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah.  

Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/711): “Hukumlah di antara manusia dengan al-Haq (kebenaran), yaitu dengan adil. Dan ini tidak akan terwujud kecuali dengan (tiga hal): (1) Ilmu tentang kewajiban (teori); (2) Ilmu tentang realita yang ada (fakta dan data); (3) Kemampuan untuk menerapkan kebenaran.”  

Terkadang, Allah membedakan antara istilah Adil dan Ihsan, sebagaimana di dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. an-Naml: 90)

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil terlebih dahulu, kemudian baru memerintahkan perbuatan Ihsan. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya. Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya, atau meletakkan sesuatu pada tempatnya. Adil di sini adalah lawan dari zalim. Sebagai contoh, jika seseorang bekerja di suatu perusahaan, maka dia berhak mendapatkan gaji, sesuai dengan kerjanya. Jika dia bekerja selama lima jam, maka gaji yang diterima adalah gaji lima jam bekerja. Jika dia bekerja selama satu bulan, maka dia mendapatkan gaji bekerja satu bulan. Sebaliknya, jika dia membolos satu hari, maka gajinya dipotong satu hari.  

Sedang Zalim adalah memberikan gaji dua jam untuk pegawai yang sudah bekerja lima jam, atau memberi gaji sepuluh hari untuk pegawai yang sudah bekerja selama satu bulan, atau bahkan tidak memberi gaji kepadanya sama sekali.

Adapun Ihsan adalah memberikan sesuatu kepada seseorang lebih dari hak yang sebenarnya, ini semata-mata kebaikan sang pemberi.  Sebagai contoh seseorang yang hanya bekerja satu bulan, tapi mendapatkan gaji satu bulan dengan tambahan uang transport dan uang makan. Atau bekerja satu bulan, tapi mendapatkan gaji dua bulan. Sebaliknya, ketika pegawai itu membolos tidak masuk kantor tiga hari, dia dimaafkan, dan tetap mendapatkan gaji utuh satu bulan.

Berbuat adil itu hukumnya wajib, seperti melaksanakan shalat lima waktu dan membayar zakat. Sedangkan berbuat Ihsan itu hukumnya sunnah, seperti melaksanakan shalat sunnah rawatib, infak dan sedekah. Makanya, Allah memerintahkan yang wajib terlebih dahulu, kemudian baru memerintahkan yang sunnah.  

Pelajaran (3): Amanat dan Adil adalah Pondasi Negara

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa  pemerintahan yang baik dan kuat adalah pemerintahan yang dibangun di atas dua pondasi utama, yaitu;  Amanat dan Adil.  Dua pondasi pemerintahan tersebut disebutkan Allah di dalam beberapa firman-Nya, diantaranya;

(1) Firman Allah,  

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِين.

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Qs. al-Qashash: 26)

Ayat di atas menunjukkan bahwa pekerja (pegawai) yang baik, adalah pegawai yang memenuhi dua kriteria, yaitu: (a) al-Qawi, kuat di dalam menjalankan tugas-tugasnya, dan kuat di dalam menegakkan keadilan. (b) al-Amin, dapat memegang amanah, jujur dan tidak menyalahgunakan jabatannya.  

 

(2) Firman Allah sunhanahu wa tala,  

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ.

“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.". (Qs. Yusuf: 55)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kriteria untuk menjadi pejabat yang diajukan Nabi Yusuf adalah: (a) Hafizh, pandai menjaga amanah, (b)’Alim, pandai dan mengetahui seluk beluk pekerjaannya, sehingga bisa berbuat adil di dalam memutuskan suatu perkara.

Dari ayat di atas, bisa diambil kesimpulan bolehnya seseorang mempromosikan dirinya untuk jabatan atau untuk suatu pekerjaan, tapi dengan dua syarat:

(1) orang lain tidak mempunyai keahlian yang dimilikinya,

(2) dia berniat untuk memberikan kemaslahatan umum, seperti jabatan yang kosong atau belum diperoleh orang yang ahli dan amanat, atau dia mengetahui jika jabatan atau pekerjaan tersebut diisi orang lain, akan menjadi rusak.

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (4/395): “Seseorang dibolehkan memuji dirinya (dengan menyebutkan keahliannya), di saat orang lain belum mengetahuinya, tentunya sesuai dengan keperluan. ... (Nabi Yusuf) pernah meminta suatu pekerjaan, karena dia mengetahui bahwa dirinya mampu, dan dia berniat untuk memberikan kemaslahatan umum.”

Bahkan, sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil suatu jabatan pada keadaan tertentu. Dicontohkan di dalam masalah fiqh, jika di suatu masjid tidak ada imam yang mampu membaca al Qur’an dengan baik dan benar, kecuali dirinya, maka baginya wajib untuk menjadi imam. Bahkan di dalam Madzhab Syafi’i (al-Malibari, Fathu Mu’in: 2/43) disebutkan bahwa “Tidak boleh seorang yang pandai membaca al-Qur’an (al-Qari’) bermakmum di belakang orang awam yang tidak pandai membaca al-Qur’an (al-Ummi), yaitu yang tidak bisa membaca al-Fatihah  seluruhnya atau sebagiannya, walaupun hanya salah dalam satu huruf…”

Pelajaran (4): Amanah Barometer Keimanan

Amanah merupakan barometer keimanan seseorang. Pejabat muslim yang imannya kuat dan ‘tauhidnya’ mendalam, pasti mampu memegang amanah jabatannya. Dia akan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, karena selalu merasa diawasi Allah setiap saat. Sebaliknya, pejabat yang tidak amanah dipastikan keimanan dan ‘tauhidnya’ lemah. Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا دِينَ لِمَنْ لا عَهْدَ لَهُ وَلا إِيمَانَ لِمَنْ لا أَمَانَةَ لَهُ

“Tidak ada agama bagi yang tidak menepati janji, dan tidak ada iman bagi yang tidak mempunyai amanat.”  (HR. Ahmad. Hadits shahih)  

Pelajaran (5): Amanah Telah Diangkat dari Manusia

Amanah hari ini telah diangkat dari kebanyakan manusia, ini berdasarkan hadist Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ الْأَمَانَةُ، وَآخِرُ مَا يَبْقَى الصَّلَاةُ، وَرُبَّ مُصَلٍّ لَا خَيْرَ فِيهِ

“Yang pertama kali diangkat dari manusia adalah amanat, dan akhir  yang tersisa adalah shalat, dan boleh jadi orang yang shalat tidak ada kebaikan di dalamnya.” (HR. al-Baihaqi di dalam Syu’abu al-Iman (4892), dan ath-Thabrani di dalam Mu’jam  ash-Shaghir (387), berkata al-Haitami di dalam Majma’ al-Bahrain (7/ 321): “Di dalamnya terdapat Hakim bin Nafi’ dipercaya oleh Ibnu Ma’in dan dilemahkan Abu Zur’ah, selebihnya perawinya terpercaya)

(bersambung)

KARYA TULIS