Karya Tulis
1376 Hits

Bab 1 Masjid dan Mushalla


 

الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ

“Para Malaikat berdo'a untuk salah seorang dari kalian selama dia masih pada posisi shalatnya dan belum berhadats, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat. Dimana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.”

(HR. al-Bukhari, 619)

 

(1). Pengertian Masjid

Masjid secara bahasa adalah tempat untuk sujud. Adapun secara istilah, masjid adalah setiap tempat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan shalat lima waktu berjama’ah.

Masjid juga bisa diartikan setiap tempat khusus yang disediakan seseorang di rumahnya atau kantornya atau di tempat tertentu untuk melaksanakan shalat wajib atau sunnah.  Karena pentingnya kedudukan masjid di dalam Islam, al-Qur’an menyebutnya sebanyak 18 kali.

Apa perbedaan antara Masjid dengan Masjid al-Jami’ ?

Al-Jami’ adalah sifat dari masjid, bisa diartikan masjid yang bisa menampung orang banyak. Biasanya disebut Masjid al-Jami’ jika digunakan untuk pelaksanaan shalat Jum’at.

Berkata Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani di dalam al-Masajid (hal. 7), “Boleh disebut al-Masjid al-Jami’, boleh juga disebut Masjid al-Jami’, menisbatkan Masjid kepada al-Jami’ yang berarti masjid untuk hari dimana banyak orang berkumpul. Al-Masjid al-Jami’ kadang untuk penyebutan masjid yang digunakan untuk pelaksanaan shalat Jum’at, walaupun kecil, karena bisa menampung jama’ah pada waktu tertentu.”  

(2). Pengertian Mushalla

Adapun mushalla menurut pengertian syar’i sebagaimana yang tersebut di dalam beberapa hadist mempunyai beberapa arti diantaranya,

(Pertama) Mushalla adalah tanah lapang untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha, atau shalat-shalat berjama’ah lainnya yang dihadiri oleh banyak orang. Dalilnya adalah hadits Abu 'Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa,  

 أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

“Suatu rombongan datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya).” (HR. Abu Daud, 977. Berkata Ibnu Hajar di dalam Bulughul Maram, hadist ini sanadnya shahih.)

Mushalla dalam hadits di atas adalah lapangan terbuka untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri.

(Kedua) Mushalla adalah tempat shalat seseorang, baik di dalam masjid maupun di tempat lain. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

 الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ

“Para Malaikat berdo'a untuk salah seorang dari kalian selama dia masih pada posisi shalatnya dan belum berhadats, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat. Dimana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.” (HR. al-Bukhari, 619)

Mushalla dalam hadits di atas bisa diartikan masjid dan bisa diartikan tempat di mana dia shalat, baik di dalam masjid, maupun di tempat lainnya.

Bisa disimpulkan dari dua hadits di atas bahwa setiap masjid pasti mushalla, dan tidak setiap mushalla disebut masjid.

Az-Zarkasyi di dalam buku I’lam as-Sajid bi Ahkami al-Masajid (hal. 27) menerangkan pengertian masjid dan mushalla, sebagai berikut: “Ketika sujud merupakan amal ibadah shalat yang paling mulia, karena posisinya paling dekat dengan Tuhan, maka penyebutan tempat ibadah shalat diambil darinya, disebutlah Masjid (tempat sujud), tidak disebut Marka’ (tempat ruku’). Kemudian istilah ‘masjid’ digunakan untuk menyebut tempat khusus yang dipergunakan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Sehingga muncul istilah “Al-Mushalla” sebagai tempat berkumpul untuk pelaksanaan shalat Ied dan sejenisnya. Istilah ini berbeda hukumnya dengan masjid.”

(3). Perbedaan Masjid dan Mushalla

Apa perbedaan antara masjid dan mushalla? Jawabannya, untuk kalangan orang Indonesia, mereka menganggap bahwa masjid adalah tempat yang bisa dipakai untuk shalat berjama’ah dalam jumlah yang banyak dan bisa digunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Sedangkan mushalla hanya boleh dipakai untuk melaksanakan shalat jama’ah lima waktu dalam jumlah yang terbatas, serta tidak bisa digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at. Walaupun untuk melaksanakan shalat Jum’at tidak disyaratkan harus di masjid. Berkata Syihabuddin ar-Ramli di dalam Nihayatu al-Muhtaj (6/464),

لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط

“Hal itu karena pelaksanaan shalat Jum’at tidak disyaratkan harus di masjid.”

Perbedaan Masjid dan Mushalla menurut sebagian ulama bisa diringkas dalam beberapa poin di bawah ini,

(Pertama) Masjid adalah tempat shalat yang sudah diwakafkan, oleh karenanya masjid tidak boleh dijual. Berkata an-Nawawi di dalam Minhaju ath-Thalibin (170),

الأظهر أن الملك في رقبة الموقوف ينتقل إلى الله تعالى، أي ينفك عن اختصاص لآدمي فلا يكون للواقف ولا للموقوف عليه

“Yang lebih tepat, bahwa kepemilikan tanah wakaf dipindahkan kepada Allah, yaitu sudah tidak ada hubungannya dengan kepemilikan manusia sama sekali. Oleh karenanya tidak ada hak di dalamnya bagi yang mewakafkan maupun yang menerima wakaf.”

Adapun Mushalla, boleh dimiliki oleh seseorang, dan boleh dijualbelikan, atau dipindahkan ke tempat lain, bahkan boleh di tempat sewaan.

(Kedua) Tidak dibolehkan bagi orang yang haid dan junub tinggal di masjid tetapi boleh tinggal di mushalla.

(Ketiga) I’tikaf dan tahiyatul masjid hanya bisa dilakukan di masjid, dan tidak bisa dilakukan di mushalla. Berkata al-Khatib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtaj (5/329),

 ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف

“Tidak ada suatu ibadah yang membutuhkan masjid kecuali shalat tahiyatul masjid, i’tikaf dan thawaf.”

(Keempat) Tidak membangun sesuatu di atas masjid, seperti apartemen tempat tinggal, atau bahkan tempat tinggal imam. Berkata Ibnu ‘Abidin di dalam Hasyiyah-nya (3/371),

“Kalau bangunan masjid sudah sempurna kemudian ingin membangun rumah untuk tempat tinggal imam di atasnya maka harus dilarang.”

 

***

KARYA TULIS