Karya Tulis
1448 Hits

Bab 2 Tempat-tempat Terlarang untuk Shalat


Para ulama berbeda pendapat tentang tempat-tempat yang dilarang shalat di dalamnya. Salah satu penyebab perbedaan mereka adalah terdapatnya beberapa hadits terkait yang masih diragukan keshahihannya, sebagian hadits yang lain masih bersifat umum.

Di antara hadits yang menyebut masalah ini adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ : فِي الْمَزْبَلَةِ ، وَالْمَجْزَرَةِ ، وَالْمَقْبَرَةِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ ، وَفِي الْحَمَّامِ ، وَفِي مَعَاطِنِ الْإِبِلِ ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ

 “Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang  seseorang mengerjakan shalat di tujuh tempat; tempat sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah jalan, kamar mandi, kandang unta dan di atas bangunan Ka’bah. (HR. at-Tirmidzi, 346. Ibnu Majah, 746. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Ibnu ‘Umar, sanadnya tidak kuat.’)

Para ulama juga berbeda pendapat tentang alasan dilarangnya shalat di tempat-tempat tersebut. Berkata al-Mardawai di dalam al-Inshaf, “Larangan shalat di tempat-tempat tersebut alasannya adalah ta’abbud (ketaatan mutlak sebagai bentuk ibadah). Alasan inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama. ... Ada yang berpendapat bahwa alasan dilarangnya shalat di tempat tersebut adalah terdapatnya najis.”

Di bawah ini pembahasan secara rinci mengenai tempat-tempat yang dilarang untuk shalat; 

1. Tempat Sampah

Alasan utama dilarangnya shalat di tempat sampah adalah terdapatnya najis. Menurut al-Hanafiyah dan al-Malikiyah, boleh melakukan shalat di tempat sampah jika tidak terdapat najis. Ini berdasarkan keumuman hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu di atas yang menyatakan bahwa seluruh tanah itu suci. Alasan lain, bahwa sampah itu ada dua jenis; sampah yang najis dan sampah yang tidak najis seperti kertas, kardus, dedaunan, dan lainnya.

2. Tempat Penyembelihan

Tempat penyembelihan dilarang untuk shalat di dalamnya, karena diprediksi banyak darah dan kotoran yang najis. Jika tempat tersebut bersih dari dua hal itu maka dibolehkan.

Pertanyaannya: Kenapa pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam penyembelihan hewan kurban dilakukan di al-mushalla?

Jawabannya: (1) Bahwa yang dimaksud al-mushalla pada zaman itu adalah lapangan yang dipakai untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha, bukan mushalla yang dipahami oleh umat Islam Indonesia. (2) Tujuan menyembelih hewan kurban di lapangan agar lebih leluasa dan umat Islam bisa berkumpul lebih banyak untuk menyaksikan ritual penyembelihan hewan kurban, sekaligus sebagai syiar Islam. (3) Penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah pelaksanaan shalat ‘Idul Adha, sehingga dianggap tempat tersebut masih bersih dan suci.

3. Kuburan

Sebagian ulama terutama al-Hanabilah berpendapat tidak sah shalat di kuburan secara mutlak, baik di kuburan yang dibongkar maupun yang tidak dibongkar, dengan menggunakan sajadah atau tidak, kuburan di rumah maupun kuburan umum. Adh-Dhahiriyah juga berpendapat seperti itu.  

Imam asy-Syafi’i membedakan antara kuburan yang sudah dibongkar dan yang belum dibongkar. Beliau mengatakan bahwa jika kuburan tersebut sudah bercampur dengan daging orang mati dan nanahnya, dan apa saja yang keluar darinya, maka tidak boleh shalat di dalamnya karena tempat tersebut dianggap najis. Akan tetapi jika seseorang shalat di tempat yang suci dari kuburan itu maka dianggap sah.

Adapun ats-Tsauri dan al-Auza’i serta Imam Abu Hanifah berpendapat makruh shalat dalam kuburan.

Sedangkan Imam Malik berpendapat boleh shalat di kuburan, tetapi hadits di atas membantah pendapat ini. (al-Mubarakfury, Tuhfatu al-Ahwadzi, 2/219-220)

Dalam hal ini terdapat pengecualian yaitu bolehnya shalat jenazah di kuburan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata,

أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ

“Bahwa seorang wanita berkulit hitam atau seorang pemuda biasanya menyapu masjid, pernah dicari oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun menanyakannya. Para sahabat menjawab, "Orang itu telah meninggal." Beliau bersabda: "Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?" Sepertinya mereka menganggap remeh urusan kematiannya. Beliau pun bersabda: "Tunjukkanlah kepadaku di mana letak kuburannya." Maka para sahabat pun menunjukkan kuburannya, dan akhirnya beliau menshalatkannya. Setelah itu, beliau bersabda: "Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena shalat yang aku kerjakan atas mereka (doaku atas mereka)." (HR. al-Bukhari, 440 dan Muslim, 1588. Ini lafadz Muslim)

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (2/197),

وَفِي الْحَدِيثِ فَضْلُ تَنْظِيفِ الْمَسْجِدِ ، وَالسُّؤَالِ عَنْ الْخَادِمِ وَالصَّدِيقِ إِذَا غَابَ . وَفِيهِ الْمُكَافَأَةُ بِالدُّعَاءِ وَالتَّرْغِيبُ فِي شُهُودِ جَنَائِزِ أَهْل الْخَيْرِ وَنَدْبُ الصَّلَاة عَلَى الْمَيِّتِ الْحَاضِرِ عِنْدَ قَبْرِهِ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ ، وَالْإِعْلَام بِالْمَوْتِ .

“Hadits di atas menunjukkan;

(1) keutamaan membersihkan masjid, (2) bertanya kepada pembantu atau teman jika terputus beritanya, (3) membalas kebaikan dengan mendoakannya, (4) anjuran untuk menghadiri jenazah orang baik, dan (5) menshalatkan mayit secara langsung di kuburannya bagi yang tidak sempat menshalatkannya, serta (6) mengumumkan kematian seseorang.”

4. Persimpangan Jalan

Yang dimaksud persimpangan jalan di sini adalah persimpangan jalan yang dilalui banyak manusia, atau jalan raya yang sangat padat lalu lintasnya. Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah (an-Nawawi, al-Majmu’ 3/162) mengatakan makruh shalat di persimpangan jalan karena hal itu akan mengganggu lalu lintas masyarakat dan menyebabkan tidak khusyu’ dalam shalat. Bahkan bisa menjadi haram jika menyebabkan madharat yang lebih besar, seperti terjadinya kecelakan lalu lintas yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Adapun jika ada kebutuhan mendesak atau darurat seperti pelaksanaan shalat Jum’at atau shalat ‘Id yang membutuhkan jalan tersebut, maka hal itu dibolehkan. Inilah yang dilakukan umat Islam selama ini di seluruh pelosok dunia.

Begitu juga dibolehkan melakukan shalat di persimpangan jalan yang tidak dilalui oleh manusia atau tidak terpakai, karena tidak mengganggu orang lain dan tidak pula mengganggu kekhusyu’an shalat.

  1. Dalam hal ini, tidak dianjurkan mendirikan masjid di tepi jalan yang berisik, di mana suara kendaraan bermotor dan hiruk pikuk orang di sekitarnya terdengar dari dalam masjid. Karena suara-suara tersebut akan mengganggu kekhusyu’an shalat, apalagi jika suara imam pelan, dan tidak menggunakan mikrofon.   

5. Kamar Mandi

Kamar mandi adalah tempat orang mandi, baik dengan menggunakan air panas, maupun air dingin,   khusus pribadi maupun terbuka untuk umum. Zaman dahulu kamar mandi adalah pemandian umum yang di dalamnya terdapat air hangat. Kemudian istilah itu dipakai untuk menyebut setiap tempat pemandian walaupun airnya tidak hangat. Berkata al-Mubarakfury di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi (2/219),

وَالْحَمَّامَ بِتَشْدِيدِ الْمِيمِ الْأُولَى هُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي يُغْتَسَلُ فِيهِ بِالْحَمِيمِ وَهُوَ فِي الْأَصْلِ الْمَاءُ الْحَارُّ ثُمَّ قِيلَ لِمَوْضِعِ الِاغْتِسَالِ بِأَيِّ مَاءٍ كَانَ

Al-Hammam (pemandian) adalah tempat untuk mandi dengan menggunakan air panas karena lafazh (al-hamim) maknanya air panas. Kemudian (al-hammam) ini digunakan untuk menyebut setiap tempat untuk mandi secara umum.”

Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat di dalam kamar mandi hukumnya makruh, karena dikhawatirkan terdapat najis. Jika dipastikan tidak ada najisnya maka dibolehkan.

Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’  (3/159),

والأصح أن سبب النهي كونه مأوى الشياطين فتكره كراهة تنزيه وتصح الصلاة.

“Dan pendapat yang benar bahwa sebab dilarangnya (shalat di kamar mandi) karena tempat tersebut digunakan untuk berkumpulnya para syetan, sehingga dimakruhkan shalat di dalamnya, walaupun tetap sah shalatnya.”

Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat di kamar mandi tidak sah, ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Seluruh bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi, 317; Abu Daud, 492; Ibnu Majah, 745. Para ulama berbeda pendapat di dalam menghukumi hadits ini, sebagian mengatakan mudhtharib, dan sebagian yang lain seperti Ibnu Hibban dan al-Hakim men-shahihkannya. Ibnu Taimiyah mengatakan sanadnya baik (al-Munawi, Faidhu al-Qadir (3/174)).

6. Kandang Unta

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat di kandang unta. Ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat di kandang unta hukumnya tidak sah. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin Samrah radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا

Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?" Beliau menjawab, "Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu." Dia bertanya lagi, "Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?" Beliau menjawab, "Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?" Beliau menjawab, "Ya boleh." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang unta?" Beliau menjawab, "Tidak".” (HR. Muslim, 539)

Ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ

“Shalatlah kalian di kandang kambing dan jangan kalian shalat di tempat menderumnya unta.” (HR. At-Tirmidzi, 317. Berkata at-Tirmidzi, ‘Hadits ini Hasan Shahih.’)

Makna (أَعْطَانِ) jamak dari (العطن) artinya tempat yang dekat dengan tempat minumnya unta, dimana setiap unta yang telah meminum itu kembali ke tempat tersebut sambil menunggu unta lainnya bergantian minum. Jika semua sudah meminum dan berkumpul di situ. Itulah makna (أَعْطَانِ الْإِبِلِ) tempat menderumnya unta. Bahkan kadang-kadang seekor unta tidak cukup minum sekali. Setelah dia istirahat di (أَعْطَانِ) maka dia pergi ke tempat minum yang sama untuk mengulangi meminumnya kedua, ketiga, dan seterusnya (an-Nawawi, al-Majmu’, 3/160)

Hadits di atas menunjukkan adanya larangan untuk shalat di dalam kandang unta. Jika larangan itu dilanggar maka menyebabkan tidak sahnya shalat. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi,

النهي يدل على فساد المنهى عنه

“Setiap larangan itu menunjukkan rusaknya amalan yang dilarang.”

An-Nawawi di dalam al-Majmu’ (3/161) menyebutkan bahwa jika seseorang shalat di tempat menderumnya unta atau kandang kambing kemudian tersentuh sesuatu dari kencing atau kotorannya maka shalatnya menjadi batal. Dan jika dia menggelar sesuatu yang bersih (tikar atau sajadah) kemudian shalat di atasnya atau dia shalat di tempat yang bersih dalam kandang tersebut maka shalatnya sah.

Di dalam hadits di atas terdapat larangan shalat di tempat menderumnya unta dan tidak terlarang shalat di kandang kambing. Larangan tersebut tidak terkait dengan najis, tetapi lebih disebabkan kekhawatiran terkenanya amukan unta. Dan itu tidak terjadi pada hewan kambing karena kambing adalah hewan yang tenang. Dari situ bisa dipahami bahwa larangan shalat di tempat menderumnya unta hukum makruh, bukan haram berdasarkan alasan di atas.

Sebagian ulama menyebut alasan dilarangnya shalat di kandang unta karena sebagai tempat tinggalnya syetan. Dan seringkali unta tersebut mengeluarkan kotoran sehingga menyebabkan tidak khusyu’nya shalat.

Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing". Para sahabat bertanya: "Termasuk engkau juga?" Maka Beliau menjawab: "Ya, aku pun menggembalakannya dengan upah beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk Makkah".(HR. al-Bukhari, 2102)

7. Atap Ka’bah

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat di atas atap Ka’bah,

(Pendapat Pertama) mengatakan bahwa shalat di atas atap Ka’bah hukumnya sah tetapi makruh. Ini pendapat al-Hanafiyah dan asy-Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa yang dimaksud kiblat adalah tempat dan ruangan udara yang di atasnya hingga ke arah langit. Bukan bangunannya, karena kalau bangunan Ka’bah dipindahkan ke tempat lain, tetap tidak boleh menghadap kepadanya.

Begitu juga, jika seseorang shalat di atas gunung atau bangunan yang sangat tinggi melebihi bangunan Ka’bah, maka shalatnya dianggap sah walaupun di depannya tidak ada bangunan Ka’bah.

(Pendapat Kedua) mengatakan bahwa shalat di atas atap Ka’bah hukumnya tidak sah. Ini pendapat al-Hanabilah. Mereka beralasan bahwa orang yang shalat di atas atap Ka’bah tidak menghadap ke kiblat, tetapi menghadap ke arah lain.

Kelima: Bagaimana Hukum Shalat di dalam Ka’bah?

Mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, asy-Syafi’iyah, pendapat dari al-Malikiyah dan riwayat dari al-Hanabilah mengatakan bahwa shalat di dalam Ka’bah hukumnya boleh, baik shalat fardhu maupun sunnah. Mereka berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadist, diantaranya,

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".” (Qs. al-Baqarah: 125)

Ayat di atas terdapat perintah untuk membersihkan Ka’bah dan perintah ini tidak mempunyai arti kalau bukan untuk shalat, maka shalat di dalam Ka’bah hukumnya boleh.

Hadist dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ هُوَ وَأُسَامَةُ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ ثُمَّ مَكَثَ فِيهَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ مَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جَعَلَ عَمُودَيْنِ عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودًا عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ثُمَّ صَلَّى

Bahwasanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke Ka'bah bersama-sama dengan Usamah, Bilal, dan Usamah bin Thalhah al-Hajabi, lalu dikuncinya pintu dan mereka ditinggal di dalam beberapa lama. Ibnu Umar berkata; Aku bertanya kepada Bilal ketika ia keluar, "Apa yang diperbuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam?" Bilal menjawab, "Beliau berdiri shalat antara dua tiang, yang satunya sebelah kiri dan yang satunya lagi sebelah kanan serta tiga tiang berada di belakangnya. Ketika itu Ka’bah mempunyai enam tiang, lalu beliau shalat di situ." (HR. Muslim, 2358)

Hadist di atas menunjukkan secara jelas akan kebolehan shalat di dalam Ka’bah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya, dan tidak ada dalil yang menerangkan bahwa itu hanya untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga berlaku umum untuk umatnya.

 

***

 

KARYA TULIS