Karya Tulis
1213 Hits

Bab 3 Shalat Tahiyatul Masjid


عَنْ أَبِي قَتَادَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

Dari Abu Qatadah as-Salami, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah ia shalat dua rakaat sebelum ia duduk." 

(HR. al-Bukhari, 425)

 

Pertama: Makna Tahiyatul Masjid dan Sebab Penamaannya

Tahiyatul Masjid maknanya penghormatan terhadap masjid. Shalat Tahiyatul Masjid berarti shalat untuk menghormati masjid.

Pada awalnya shalat Tahiyatul Masjid belum mempunyai nama, dan tidak tersebut dalam hadits di atas. Kemudian untuk memudahkan masyarakat, para ulama memberikan nama dengan shalat Tahiyatul Masjid. Ini masuk dalam katagori penamaan dilihat dari sesuatu yang menjadi penyebabnya, seperti shalat Tahiyatul Masjid  disebabkan masuk masjid, atau dilihat dari sisi tempat, yaitu masjid. Kadang juga penamaan suatu shalat dilihat dari sisi waktunya, seperti shalat Dhuha, shalat karena berada di waktu dhuha.  

Sebagian ulama berpendapat, sebagaimana Ibnu Hajar al-Haitami di dalam Tuhfatu al-Muhtaj (7/304), jika seseorang shalat Tahiyatul Masjid dengan niat untuk menghormati tempat, maka shalatnya tidak sah, karena tujuan shalat adalah untuk Allah, tidak boleh diniatkan yang lainnya.

Adapun hadist yang menyebutkan penamaan shalat ini dengan shalat Tahiyatul Masjid, adalah hadits dhaif sekali, tidak boleh dijadikan sandaran. Hadits tersebut adalah hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau berkata,

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، جَالِسٌ وَحْدَهُ، قَال يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّ لِلْمَسْجِدِ تَحِيَّةً، وَإِنَّ تَحِيَّتَهُ رَكْعَتَانِ، فَقُمْ فَارْكَعْهُمَا، قَالَ فَقُمْتُ فَرَكَعْتُهُمَا

“Suatu ketika aku masuk masjid, tiba-tiba saya dapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk sendirian, kemudian bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya masjid itu mempunyai pernghormatan, dan sesungguhnya penghormatannya adalah shalat dua rakaat, maka berdirilah dan shalatlah dua rakaat.” Berkata Abu Dzar, “Maka aku berdiri dan shalat dua rakaat.” (HR. Ibnu Hibban, 361. Hadist ini dhaif sekali, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Ibrahim bin Hisyam bin Yahya al-Ghassani, dia ditolak oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah. Adz-Dzahabi berkata, dia adalah matruk (ditinggal riwayatnya)) 

Kedua: Hukum Shalat Tahiyatul Masjid

Shalat Tahiyatul Masjid hukumnya sunnah. Jika dilakukan akan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun sabdanya: (Hendaknya janganlah ia duduk) dalam hadits di atas, memang menunjukkan larangan duduk di masjid sebelum melakukan shalat dua rakaat. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan pada dasarnya suatu larangan itu menunjukkan keharaman, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum tersebut. Tetapi larangan dalam hadits ini tidak menunjukkan keharaman, hanya menunjukkan kemakruhan. Karena ada dalil yang memalingkannya, yaitu kewajiban shalat hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Itu menunjukkan bahwa shalat Tahiyatul Masjid hukumnya sunnah.

Berkata an-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim (5/226), “Hadits di atas menunjukkan anjuran untuk shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat, dan shalat tersebut hukumnya sunnah  menurut kesepakatan kaum muslimin.” (Lihat juga an-Nawawi, al-Majmu’ , 4/52)

Anjuran untuk melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid ini berlaku bagi semua yang masuk masjid. Bagaimana dengan Khatib Jum’at, apakah juga dianjurkan melakukan shalat Tahiyatul Masjid? Sebagian ulama berpendapat bahwa Khatib Jum’at  tidak dianjurkan melakukan shalat Tahiyatul Masjid, tetapi hendaknya langsung naik dan duduk di atas mimbar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama beliau menjadi Khatib Jum’at.

Menurut hemat penulis hal ini berlaku jika Khatib Jum’at masuk masjid, sedangkan waktu Shalat Jum’at sudah tiba, maka sebaiknya dia langsung naik mimbar, dan tidak perlu melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Akan tetapi jika Sang Khatib datang jauh sebelum tiba waktu adzan Jum’at, maka tetap dianjurkan untuk melakukan shalat tahiyatul masjid berdasarkan keumuman hadist yang memerintahkan shalat Tahiyatul Masjid.

Ketiga: Masuk Masjid Berkali-kali

Para ulama berbeda pendapat bagi yang masuk masjid berkali-kali, apakah dianjurkan untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid setiap masuk masjid, atau cukup sekali saja.

Pendapat (1): mengatakan bahwa jika seseorang masuk masjid berkali-kali dalam waktu yang berdekatan, cukup baginya  melakukan shalat Tahiyatul Masjid sekali. Ini pendapat al-Hanafiyah dan sebagian asy-Syafi’iyah.

Mereka menganalogikan (qiyas) dengan orang yang masuk Kota Mekkah berkali-kali, seperti sopir,  maka cukup baginya berihram sekali saja. Begitu juga para qari’ dan pengajar al-Qur’an, maka cukup baginya melakukan sujud tilawah sekali saja.

Pendapat (2): mengatakan bahwa jika seseorang masuk masjid berkali-kali, tetap dianjurkan untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid setiap masuk masjid. Ini pendapat sebagian ulama al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah.

Mereka berdalil bahwa setiap perintah yang terikat dengan suatu syarat, maka wajib atau dianjurkan untuk dilaksanakan setiap syarat itu ada. Maka setiap masuk masjid, walaupun berkali-kali, tetap dianjurkan untuk melaksanakannya. Ini seperti perintah untuk memotong tangan pencuri di dalam firman-Nya,

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah: 38)

Ayat di atas menunjukkan perintah untuk memotong tangan pencuri. Jika dia mencuri lagi, maka diperintahkan untuk memotong tangannya lagi dan seterusnya.

Ini juga seperti perintah mengikuti apa yang dikatakan muadzin bagi setiap orang yang mendengar adzan dan ini berlaku setiap terdengar suara adzan.

Pendapat (3): mengatakan bahwa jika seseorang masuk masjid berkali-kali dalam waktu yang berdekatan, maka cukup melakukan shalat Tahiyatul Masjid sekali saja. Tetapi jika masuk masjid terulang kembali dalam waktu yang lama, maka dianjurkan untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Ini pendapat ulama al-Malikiyah.

Mereka berdalil dengan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengantar istri beliau yang bernama Shafiyah bin Huyai bin Akhthab keluar masjid sebentar, padahal  beliau sedang iktikaf. Kemudian beliau masuk masjid lagi tanpa melakukan Shalat Tahiyatul Masjid.

Pendapat ketiga ini lebih detail dan lebih bisa diterima, karena melihat kemaslahatan umat serta mempertimbangkan kebiasaan masyarakat. Wallahu A’lam.

 

Keempat: Shalat Tahiyatul Masjid di Waktu Terlarang

Yang dimaksud waktu-waktu terlarang untuk mengerjakan shalat adalah; ketika terbenam matahari, ketika terbit matahari, ketika matahari berada di tengah langit, bakda shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari, bakda shalat Subuh sampai terbit matahari.  

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengerjakan shalat di waktu-waktu terlarang di atas;

Pendapat (1): mengatakan bahwa shalat Tahiyatul Masjid tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan al-Hanabilah. (Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, 1/297; Ibnu Rusydi, Bidayatu al-Mujtahid, 1/110)

Mereka berdalil beberapa hadits sebagai berikut,

(a) Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau berkata,

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

"Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali." (HR. Muslim, 1373)

Hadist di atas menunjukkan larangan shalat di tiga waktu. Larangan ini bersifat umum, termasuk di dalamnya shalat Tahiyatul Masjid.

(b) Hadits ‘Amru bin ‘Abasah as-Sulami radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Hendaklah kamu shalat Subuh, kemudian berhentilah dari shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit diantara dua tanduk syetan, dan pada waktu itu orang-orang kafir pada sujud kepadanya. Kemudian shalatlah, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga pertengahan siang, kemudian berhentilah dari shalat, karena pada waktu itu api neraka sedang dinyalakan. Dan apabila bayangan sudah kembali maka shalatlah kamu, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga kamu shalat ‘Ashar. Kemudian berhentilah shalat, sampai  matahari terbenam. Karena matahari terbenam diantara dua tanduk syetan dan pada waktu itulah orang-orang kafir sujud kepadanya." (HR. Muslim, 1374)

Hadist di atas menunjukkan larangan shalat di dua waktu yaitu bakda shalat Subuh sampai matahari terbit dan bakda ‘Ashar sampai matahari terbenam. Larangan ini bersifat umum, termasuk di dalamnya shalat tahiyatul masjid.

Pendapat (2): mengatakan bahwa shalat Tahiyatul Masjid boleh dilakukan setiap masuk masjid walaupun di waktu-waktu terlarang. Ini  pendapat asy-Syafi’iyah dan riwayat dari al-Hanabilah. (An-Nawawi, al-Majmu’, 4/52; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 23/191)

Mereka berdalil dengan keumuman hadits Abi Qatadah di atas yang memerintahkan seseorang untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid setiap masuk masjid.

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan ‘waktu-waktu shalat yang terlarang’ maksudnya adalah larangan untuk melakukan shalat mutlak, yaitu shalat yang tidak terkait dengan waktu dan tempat, atau shalat yang tidak mempunyai sebab tertentu. Sedangkan shalat Tahiyatul Masjid masuk dalam kategori shalat-shalat yang mempunyai sebab yang terkait dengan tempat, maka shalat ini tidak masuk dalam larangan hadist di atas.

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut;

(a) Hadist Yazid bin al-Aswad radhiyallahu 'anhu,

 أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَلَاةَ اَلصُّبْحِ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ لَمْ يُصَلِّيَا، فَدَعَا بِهِمَا، فَجِيءَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا، فَقَالَ لَهُمَا: "مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا?" قَالَا: قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا. قَالَ: "فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمْ، ثُمَّ أَدْرَكْتُمْ اَلْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ، فَصَلِّيَا مَعَهُ، فَإِنَّهَا لَكُمْ نَافِلَةٌ

“Bahwa dia pernah shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika telah usai shalat, beliau melihat dua orang laki-laki yang tidak ikut shalat. Beliau memanggil kedua orang itu, lalu keduanya dihadapkan dengan tubuh gemetaran. Beliau bertanya pada mereka: "Apa yang menghalangimu sehingga tidak ikut shalat bersama kami?" Mereka menjawab: Kami telah shalat di rumah kami. Beliau bersabda: "Jangan berbuat demikian, bila kamu berdua telah shalat di rumahmu kemudian kamu melihat imam belum shalat, maka shalatlah kamu berdua bersamanya karena hal itu menjadi sunah bagimu. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Daud, an-Nasa’i. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi)

Berkata Ibnu Huzaimah di dalam Shahihnya (2/262), “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadist di atas, telah menyuruh orang yang sudah shalat di rumahnya, untuk shalat bersama imam lagi, dan shalatnya bersama imam dianggap shalat sunnah. Seandainya larangan shalat bakda Subuh sampai terbit matahari adalah larangan secara umum, bukan larangan khusus, tentunya orang yang telah shalat Subuh tidak boleh shalat bersama imam dengan niat shalat sunnah.”

(b) Hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bahwasanya beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعْتُكَ تَنْهَى عَنْ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ وَأَرَاكَ تُصَلِّيهِمَا؟ قَالَ: يَا ابْنَةَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ، فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، فَهُمَا هَاتَانِ

“Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku mendengar anda pernah melarang shalat dua raka'at setelah 'Ashar namun aku juga melihat anda mengerjakannya. Beliau berkata: "Wahai binti Abu Umayyah, kamu bertanya tentang dua raka'at setelah 'Ashar. Sungguh aku kedatangan rombongan orang dari suku 'Abdul Qais yang menyebabkan aku terhalang dari mengerjakan dua raka'at setelah Zhuhur. Itulah yang aku kerjakan (setelah 'Ashar).” (HR. al-Bukhari, 1157 dan Muslim, 1377)

Hadits di atas menunjukkan kebolehan melakukan shalat rawatib bakda shalat ‘Ashar. Perbuatan beliau berlaku umum bagi seluruh kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah kekhususan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pendapat tentang kekhususan tersebut dijawab oleh an-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim, bahwa tidak ada kekhususan dalam masalah ini dengan bukti beliau tidak mengatakan shalat tersebut khusus untuk beliau kepada Ummu Salamah, maka hadist tersebut tetap berlaku umum.

Berkata an-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim (3/193),

أَنَّ الصَّلَاة الَّتِي لَهَا سَبَب لَا تُكْرَه فِي وَقْت النَّهْي ، وَإِنَّمَا يُكْرَه مَا لَا سَبَب لَهَا . وَهَذَا الْحَدِيث هُوَ عُمْدَة أَصْحَابنَا فِي الْمَسْأَلَة وَلَيْسَ لَنَا أَصَحُّ دَلَالَة مِنْهُ ، وَدَلَالَته ظَاهِرَة

  1. “Bahwa shalat yang memiliki sebab tidak makruh dikerjakan di waktu-waktu terlarang. Adapun yang dimakruhkan adalah shalat yang tidak mempunyai sebab. Hadist ini menjadi pegangan utama dalam madzhab kami tentang masalah ini. Bagi kami tidak ada dalil yang lebih shahih   daripada hadist di atas, dan dalilnya sangat jelas.”

An-Nawawi juga menjelaskan pelajaran lain yang bisa diambil dari hadist di atas, diantaranya adalah,

أَنَّهُ إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَصَالِح وَالْمُهِمَّات بُدِئَ بِأَهَمِّهَا ، وَلِهَذَا بَدَأَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِيثِ الْقَوْم فِي الْإِسْلَام ، وَتَرَكَ سُنَّة الظُّهْر حَتَّى فَاتَ وَقْتهَا لِأَنَّ الِاشْتِغَال بِإِرْشَادِهِمْ وَهِدَايَتهمْ وَقَوْمهمْ إِلَى الْإِسْلَام أَهَمُّ .

“Jika terjadi benturan antara beberapa maslahat dan tugas, maka didahulukan yang paling penting. Makanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan untuk berbicara dengan tamu yang ingin masuk Islam, serta mengakhirkan sunnah bakda Dzhuhur, bahkan sampai waktunya habis. Hal itu karena menyibukkan diri untuk memberikan petunjuk dan hidayah kepada mereka jauh lebih penting.”

Berkata Mula Ali Qari di dalam Mirqatu al-Mafatih (2/825),  

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: فِيهِ أَنَّ تَعْلِيمَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّوَافِلِ حَتَّى رَوَاتِبِ الصَّلَاةِ،

Berkata Ibnu Hajar, “Hadist di atas menunjukkan bahwa mengajarkan al-Huda (suatu petunjuk) dan ilmu lebih utama daripada mengerjakan ibadah sunnah, walaupun itu sunnah rawatib.”

Kelima: Shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram

Masjidil Haram mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki masjid-masjid yang lain, di antaranya bahwa shalat di dalamnya dilipatgandakan sampai 100.000 kali lipat. Pertanyaannya: apakah shalat Tahiyatul Masjid mempunyai kekhususan di Masjidil Haram? Para ulama berbeda pendapat di dalamnya.

Pendapat Pertama mengatakan jika seorang muslim masuk Masjidil Haram, maka disunnahkan baginya untuk melakukan thawaf, baik dalam keadaan berihram maupun tidak, kecuali jika  khawatir tertinggal shalat berjamaah, maka tidak perlu thawaf. Ini menunjukkan bahwa melakukan thawaf lebih utama dari pada shalat Tahiyatul Masjid.

Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil, diantaranya adalah,

(a) Firman Allah,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.” (Qs. al-Hajj: 26)

Pada ayat di atas, Allah mendahulukan penyebutan thawaf sebelum shalat atau ruku’ dan sujud. Itu menunjukkan keutamaan thawaf dibanding dengan shalat Tahiyatul Masjid.

(b) Hadist ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya beliau berkata,

 أن أول شيء بدأ به حين قدِم مكة أنه توضَّأ، ثم طاف بالبيت، ثم حج أبو بكر فكان أول شيء بدأ به الطواف بالبيت

“Bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Mekkah maka pekerjaan yang dimulai pertama kali adalah berwudhu lalu thawaf di Ka’bah. (HR. al-Bukhari, 1641 dan Muslim, 1236)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memulai dengan thawaf, bukan dengan shalat Tahiyatul Masjid.

Berkata an-Nawawi, “Memulai dengan melakukan thawaf itu dianjurkan bagi setiap orang yang masuk (ke Masjidil Haram) baik dalam keadaan berihram maupun tidak. Kecuali jika dia khawatir tertinggal shalat wajib atau sunnah rawatib atau sunnah muakkadah atau shalat berjamaah.”

Berkata Syeikh Bin Baz, “Jika seorang muslim masuk Masjidil Haram maka disunnahkan baginya untuk melakukan thawaf kemudian shalat dua rakaat. Jika hal itu tidak memungkinkan atau karena malas atau karena waktu iqamat sudah dekat maka hendaknya dia melakukan shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat.”

Pendapat Kedua mengatakan jika seseorang masuk Masjidil Haram maka ada dua keadaan;

(a) Keadaan pertama, dia masuk Masjidil Haram dengan niat thawaf, baik thawaf tersebut untuk ibadah haji atau umrah ataupun thawaf sunnah, maka hendaknya memulainya dengan thawaf. Thawaf ini meruapakan bentuk penghormatan kepada Masjidil Haram. Makanya dalam keadaan seperti ini dia tidak dianjurkan memulainya dengan shalat Tahiyatul Masjid sebelum thawaf.

Apabila keadaannya tidak memungkinkan untuk melakukan thawaf karena penuh sesak atau ada sebab lain, maka tidak mengapa ia melakukan shalat Tahiyatul Masjid sebelum melakukan thawaf.

(c) Keadaan kedua, jika dia masuk Masjidil Haram dengan niat shalat atau menghadiri majlis taklim atau berdzikir dan membaca al-Qur’an, maka dianjurkan untuk shalat Tahiyatul Masjid sebagaimana yang dianjurkan di masjid-masjid lainnya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Abi Qatadah di atas tentang perintah untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid, setiap seseorang masuk ke dalam masjid.

Keenam: Hukum Shalat Tahiyatul Masjid Setelah Duduk

Jika seseorang masuk masjid dan terlanjur duduk karena lupa atau tidak tahu, tetap apakah diperintahkan mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid?

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;

Pendapat Pertama mengatakan bahwa shalat tahiyatul masjid tetap diperintahkan walaupun seseorang sudah duduk. Ini pendapat al-Hanafiyah, al-Malikiyah, dan sebagian pendapat asy-Syafi’iyah. (az-Zaila’I, al-Bahru ar-Raiq, 2/38)

Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثم قال: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Seorang laki-laki yang bernama Sulaik al-Ghathafani masuk masjid pada hari Jumat sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, dia langsung duduk, maka beliau bersabda, Wahai Sulaik, berdirilah dan shalatlah dua rakaat, serta peringan shalatnya”. Kemudian beliau bersabda, Jika salah satu dari kalian masuk masjid, sedangkan imam berkhutbah, maka hendaknya dia shalat dua rakaat, dan memperingan shalatnya.” (HR. al-Bukhari, 889 dan Muslim, 875)

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa shalat Tahiyatul Masjid menjadi gugur ketika seseorang sudah terlanjur duduk, dan tidak perlu meng-qadha’nya. Sebagian lain merinci masalah ini, yaitu ketika duduknya belum lama, maka dia dianjurkan untuk berdiri lagi untuk shalat Tahiyatul Masjid. Tetapi jika duduknya sudah lama, maka tidak dianjurkan untuk berdiri dan shalat Tahiyatul Masjid. Ini adalah pendapat asy-Syafi’iyah. (an-Nawawi, al-Majmu’, 4/53) 

Dari keterangan di atas, maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa duduk tidaklah menggugurkan perintah shalat Tahiyatul Masjid berdasarkan hadist Sulaik al-Ghathafani di atas.

Ketujuh: Jumlah Rakaat Shalat Tahiyatul Masjid

Pada dasarnya  shalat tahiyatul masjid itu berjumlah dua rakaat sebagaimana di dalam sabdanya: (فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ) hendaknya dua shalat dua raka’at. Ini berlaku di saat seseorang melakukan shalat Tahiyatul Masjid sendiri.

Akan tetapi manakala dia melakukannya bersama jama’ah, maka jumlah rakaatnya tidak harus dua rakaat, namun disesuaikan dengan shalat berjama’ah yang sedang dia ikuti. Contohnya sebagai berikut: jika seseorang masuk masjid dan mendapati shalat berjama’ah sudah ditegakkan maka dia tidak dianjurkan untuk shalat Tahiyatul Masjid sendiri. Akan tetapi hendaknya dia bergabung dengan jama’ah shalat tersebut. Shalat yang dia lakukan bersama jama’ah tersebut sudah mewakili shalat Tahiyatul Masjid juga (walaupun secara tidak langsung). Sebab inti dari shalat Tahiyatul Masjid adalah menghormati masjid dengan tidak duduk sampai dia shalat terlebih dahulu. Ini terwujud dengan shalat dua rakaat ketika sendiri, atau bergabung dengan jama’ah shalat sejumlah rakaat yang mereka kerjakan.

Ini berlaku juga ketika seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan adzan shalat Subuh, maka dia melakukan shalat Qabliyah Subuh dua rakaat, dan shalat ini sudah mewakili shalat Tahiyatul Masjid. Berkata Ibnu Nujaim di dalam al-Bahru ar-Raiq (2/38),

وقد قالوا إنَّ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا عِنْدَ دُخُولِهِ فَرْضًا أو سُنَّةً فَإِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ التَّحِيَّةِ بِلَا نِيَّةٍ

“Para ulama berkata, ‘Setiap shalat yang dilakukan ketika masuk masjid, baik itu shalat fardhu maupun sunnah, maka shalat tersebut telah mewakili shalat Tahiyatul Masjid, (walaupun) tidak diniatkan’.”

Al-Munawi di dalam Faidhu al-Qadir (1/337) menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat Tahiyatul Masjid tidak harus dua rakaat, boleh lebih. Karena jumlah rakaat dalam hadits tidak mempunyai mafhum mukhalafah, menurutnya bahwa ini kesepakatan ulama.

Kedelapan: Hukum Shalat Tahiyatul Masjid di Mushalla

Shalat Tahiyatul Masjid hanya dilakukan ketika seseorang masuk masjid. Bagaimana hukumnya jika seseorang masuk ke dalam mushalla, ruang serba guna dan lapangan ketika shalat Id? Jawabannya, tidak diperintahkan untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid jika seseorang masuk ke mushalla atau ruang serbaguna yang digunakan untuk shalat Jum’at atau lapangan shalat Id. Berkata al-Khatib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtaj (5/329),

ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف

“Tidak ada suatu ibadah yang membutuhkan tempat masjid kecuali shalat Tahiyatul Masjid, i’tikaf dan thawaf.”

 

***

KARYA TULIS