Karya Tulis
2156 Hits

Bab 4 Hukum Duduk dan Tidur di Masjid


1. Hukum Duduk di Masjid Bagi yang Berhadast Kecil

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama, Dibolehkan bagi yang berhadast kecil untuk duduk di masjid. Sebagian mengatakan bahwa ini merupakan kesepakatan ulama. Dalilnya bahwa Ahlush Shuffah mereka tidurnya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlush Shuffah adalah orang-orang muhajirin yang fakir tidak memiliki rumah, mereka menetap dan tidur di masjid Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa bagi yang berhadast kecil dimakruhkan duduk di masjid. Di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan bahwa Abu Sawwar tidak menyukai seseorang yang sengaja duduk-duduk di masjid padahal dia belum berwudhu. Diriwayatkan juga bahwa Sa’id Ibnu al-Musayyib dan al-Hasan al-Basri ketika ditanya tentang seorang yang berhadast kecil, mereka berdua berkata, “Hendaknya dia melewati masjid saja dan jangan duduk di dalamnya.”

Adapun orang yang mabuk dilarang untuk tinggal di masjid. Ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisa: 43)

2. Hukum Duduk di Masjid Bagi yang Berhadast Besar

A. Hukum Orang Junub Berdiam di Masjid

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang junub berdiam di masjid.

Pendapat Pertama, mengatakan tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (az-Zaila’i, Tabyinu al-Haqaiq 1/56; al-Qarrafi, adz-Dzakhirah 1/314; an-Nawawi, al-Majmu’ 2/160)

Dalil mereka adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“(Jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Qs. an-Nisa: 43)

Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/160, “Berkata Imam asy-Syafi’i di dalam al-Umm, ‘Berkata ulama al-Qur’an, ‘Arti ayat di atas adalah Janganlah kalian mendekati tempat shalat.’ Berkata asy-Syafi’i, ‘Pernyataan itu benar karena tidak ada orang melewati shalat, yang ada adalah orang melewati tempat shalat, yaitu masjid’.”

Kelompok pertama yang melarang orang yang junub berdiam di masjid berbeda pendapat: apakah orang junub jika hanya melewati masjid tanpa berdiam diri juga dibolehkan? Mayoritas ulama dari kelompok ini mengatakan boleh, berdasarkan ayat di atas (Qs. an-Nisa: 43). Sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya.

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa dibolehkan orang junub untuk berdiam di masjid jika dia berwudhu, ini pendapat al-Hanabilah. (Ibnu Qudamah, al-Mughni 1/107)

Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya beliau berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sedang junub, tetapi mereka sudah berwudhu seperti wudhunya shalat.” Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Zaid bin Aslam.

Pendapat Ketiga, mengatakan bahwa boleh bagi orang yang junub untuk berdiam di masjid secara mutlak. Ini pendapat madzhab adh-Dhahiriyah.

(a) Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berjumpa dengannya di salah satu jalan Madinah, sementara ia dalam keadaan junub." Abu Hurairah berkata, 'Aku malu dan pergi diam-diam'. Abu Hurairah lalu pergi mandi dan kembali lagi setelah itu, beliau lalu bertanya: "Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah menjawab: "Aku tadi junub. Dan aku tidak suka bersama Tuan sedang aku dalam keadaan tidak suci." Beliau pun bersabda: "Subhaanallah! Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak itu najis".” (HR. al-Bukhari, 274)

Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim itu tidak najis, artinya walaupun dia dalam keadaan junub dan berdiam di masjid, tidak akan membuat masjid menjadi najis.

(b) Mereka juga mengatakan bahwa jika seorang musyrik saja boleh berdiam di masjid sebagaimana yang terjadi pada Tsumamah bin Utsal ketika diikat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa hari di tiang masjid. Maka orang muslim yang junub tentunya lebih dibolehkan.

Kesimpulan: Dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil yang disebut oleh pendapat ketiga adalah tertolak, karena dua hal sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/160;

(1) Syari’ah telah membedakan antara orang musyrik dengan orang muslim yang sedang junub. Sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas. Kalau syari’ah membedakan antara keduanya maka tidak boleh disamakan.

(2) Orang musyrik tidak meyakini kehormatan masjid maka syari’ah tidak memaksanya. Sedangkan orang muslim meyakininya maka harus menghormati. Hal ini seperti jika seorang kafir harbi merusak barang seorang muslim, maka tidak wajib untuk menggantinya. Berbeda dengan seorang muslim yang merusak barang saudaranya, maka dia wajib menggantinya.

B. Hukum Wanita Haid Berdiam di dalam Masjid

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat Pertama, menyatakan bahwa tidak dibolehkan wanita haid untuk berdiam diri di dalam masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya;

(1) Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Qs. an-Nisa: 43)

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang junub tidak boleh mendekati masjid kecuali hanya sekedar lewat tanpa berdiam diri. Begitu juga wanita haid, karena haid seperti orang yang junub, sama-sama berhadats besar.

(2) Hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,

أَمَرَنَا تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar para gadis dan wanita-wanita yang dipingit pada dua hari raya, dan beliau memerintahkan para wanita yang sedang haid menjauh dari mushalla (tempat shalat) kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari, 927 dan Muslim, 1473)

Hadits di atas menunjukkan larangan wanita haid untuk mendekati tempat shalat ‘Id. Tempat shalat ‘Id dihukumi masjid. Dan ini menunjukkan larangan wanita haid untuk masuk masjid.

(3) Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya,

أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِي حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ

“Dia menyisir rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat sedang haidh ketika Beliau sedang i'tikaf di masjid, ketika itu Beliau menjulurkan kepala Beliau kepadanya.” (HR. al-Bukhari, 1905)

Hadits di atas menunjukkan bahwa ‘Aisyah dalam keadaan haid menyisir rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar masjid. Seakan beliau mengetahui bahwa wanita haid tidak boleh masuk masjid.

(4) Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ

“Karena saya tidak menghalalkan masuk masjid untuk orang yang sedang haid dan juga orang yang sedang junub.” (HR. Abu Daud, 201)

Hadits di atas secara tegas menunjukkan ketidakbolehan seorang wanita haid untuk tinggal di masjid

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa wanita haid boleh berdiam diri di dalam masjid, jika dia berwudhu’ dan ada keperluan untuk menuntut ilmu atau sejenisnya, serta tidak mengotori masjid. Ini adalah pendapat sebagian ulama al-Hanabilah, al-Muzani, Abu Daud, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Hazm.

Mereka berdalil dengan beberapa hadits dan atsar di bawah ini;

(1) Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 

 إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

“Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis. (HR. al-Bukhari, 274)

Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim itu tidak najis, artinya seorang wanita, walaupun sedang haid, dirinya tidak najis, yang najis hanyalah tempat keluarnya haid. Jika tempat tersebut dibalut, sehingga tidak mengotori masjid, maka dibolehkan dia berdiam diri di masjid. Ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ

“Sesungguhnya haidmu tidak terletak pada tanganmu (maksudnya tidak akan mengotori).” (HR. Muslim, 450)

(2) Hadits wanita yang dahulu bekerja di Masjid Nabawi sebagai cleaning service dan pengumpul sampah. Dia berdiam diri di masjid. Ini menunjukkan bolehnya wanita haid tinggal di masjid karena wanita tersebut tidak lepas dari haid.

(3) Atsar yang diriwayatkan ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya beliau berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sedang junub, tetapi mereka sudah berwudhu seperti wudhunya shalat.” Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Zaid bin Aslam.

(4) Mereka juga mengatakan bahwa jika seorang musyrik saja boleh berdiam di masjid sebagaimana yang terjadi pada Tsumamah bin Utsal ketika diikat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa hari di tiang masjid. Maka seorang wanita muslimah yang haid, tentunya lebih dibolehkan.

(5) Adapun hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang larangan seorang wanita haid masuk masjid yang dijadikan dalil kelompok pertama adalah hadits dhaif, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Jasrah binti Dajajah. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia mempunyai banyak keanehan. Di dalamnya juga terdapat perawi lain yang bernama Faliyat bin Khalifah, ini adalah perawi yang tidak dikenal, sebagaimana disebutkan oleh Abi Hatim di dalam al-Jarh wa at-Ta’dil.

Hadits di atas juga didhaifkan oleh al-Khaththabi di dalam Ma’alim as-Sunan, Ibnu al-Qayyim di dalam Tahdzib as-Sunan, an-Nawawi di dalam al-Majmu’, dan Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla.

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa wanita yang haid hendaknya tidak ke masjid dan berdiam diri di dalamnya, jika tidak ada keperluan. Tetapi jika ada keperluan seperti mendengarkan pengajian dan itu sangat diperlukan baginya, maka dibolehkan dengan beberapa syarat, diantaranya berwudhu sebelum masuk masjid, membalut tempat keluarnya haid dengan pembalut dan tebal dan aman, duduk di bagian belakang masjid atau jika memungkinkan duduk di teras atau luar masjid.

Kesimpulan ini menggabungkan antara kedua pendapat ulama di atas, serta memberikan kemudahan dan manfaat bagi wanita haid. Kesimpulan ini dikuatkan dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ

“Janganlah kalian menghalangi kaum wanita pergi ke masjid Allah.” (HR. al-Bukhari, 849 dan Muslim, 668)

3. Hukum Duduk di Masjid Bagi yang Sudah Berwudhu

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat Pertama, mengatakan dianjurkan bagi yang sudah berwudhu untuk duduk di masjid dengan tujuan beribadah seperti beri’tikaf, membaca al-Qur’an, belajar, mendengar ceramah, menunggu shalat dan lainnya. Jika hanya duduk di masjid tanpa mengerjakan apa-apa maka hal itu tetap dibolehkan.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ وَقَالَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ

“Dan Malaikat akan mendo'akan salah seorang dari kalian selama dia masih pada tempat shalatnya yang dia dijadikannya sebagai tempat shalatnya, (do'a malaikat tersebut): Ya Allah, berilah shalawat untuknya. Ya Allah, rahmatilah dia, selama dia belum berhadats dan tidak menyakiti orang lain disana. Dan Beliau bersabda, Salah seorang diantara kalian sudah dianggap mendirikan shalat, ketika menunggu waktu shalat didirikan.” (HR. al-Bukhari, 1976)

Berkata Ibnu Bathal, “Barang siapa yang merasa dosanya banyak dan ingin menghapusnya tanpa harus berletih lelah, hendaknya dia tinggal di masjid setiap habis shalat agar mendapatkan doanya para malaikat dan permintaan ampun malaikat kepada Allah subhanallahu wa ta’ala.”

Pendapat Kedua, tetapi ar-Rayyani menganggap hal itu makruh. Pendapat ar-Rayyani ini tertolak. Berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas.

Berkata al-Muhallab mengomentari hadits di atas bahwasanya berhadast kecil di dalam masjid adalah sebuah kesalahan yang menyebabkan tidak mendapatkan istighfar dan doanya malaikat.

Mereka berdalil dengan hadits,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Jika seorang dari kalian masuk ke dalam masjid maka janganlah dia duduk sebelum shalat dua raka'at.” (HR. al-Bukhari, 1097)

Sesungguhnya hadits di atas memerintahkan seseorang untuk melakukan shalat jika masuk masjid. Perintah untuk shalat berarti perintah untuk berwudhu.

Jawaban dari dalil di atas, bahwa shalat tahiyatul masjid hukumnya sunnah bukan wajib. Jika shalat tahiyatul masjid dihukumi sunnah, maka wudhu untuk shalat tersebut juga dihukumi sunnah. Bahkan Imam Zarkasyi dalam kitab I’lamu as-Sajid hal. 314 menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang seseorang yang tidak sempat shalat Tahiyatul Masjid, diantaranya sebagai berikut;

(a) Imam al-Ghazali, “Seandainya seseorang masuk masjid dan langsung duduk dianjurkan untuk membaca:

سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر

Karena dzikir-dzikir tersebut menyamai keutamaan shalat dua rakaat.

(b) Ibnu Rif’at di dalam al-Kifayah juga menyebutkan seperti yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali.

(c) Berkata Imama an-Nawawi di dalam al-Adzkar, “Berkata sebagian sahabat kami ‘Barangsiapa yang masuk masjid dan tidak sempat shalat Tahiyatul Masjid karena hadats kecil atau kesibukan lainnya, maka dianjurkan untuk membaca 4 dzikir:

سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر

(d) Adapun dalil dari perkataan para ulama di atas tentang 4 dzikir tersebut bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari dzikir-dzikir tersebut kepada orang-orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah. Jika hal itu sah untuk mengganti syarat shalat fardhu maka dalam shalat sunnah lebih bisa diterima. Hanya saja dalam hal ini ada catatan, kalau di dalam hadits di atas menerangkan bahwa bacaan al-Fatihah diganti dengan dzikir. Keduanya dari jenis perkataan. Ini tidak ada masalah. Berbeda dengan apa yang disebut oleh ulama di atas, shalat Tahiyatul Masjid diganti dengan dzikir. Di sini perbuatan diganti dengan perkataan, tentunya berbeda.

(e) Ibnu Bathal menyebutkan di dalam Syarh al-Bukhari dari Jabir bin Zaid, seroang imam besar tabi’in bahwasanya beliau pernah berkata, “Jika engkau masuk masjid maka shalatlah Tahiyatul Masjid. Jika tidak bisa maka berdzikirlah (menyebut nama Allah), jika engkau mengerjakan ini seakan-akan engkau sudah shalat.”

4. Hukum Tidur di Masjid

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat Pertama, mengatakan boleh tidur di masjid dan tidak makruh. Ini pendapat asy-Syafi’i dan disepakati oleh ulama asy-Syafi’iyah. Berkata Ibnu al-Mundzir di dalam al-Isyraf, “Yang membolehkan tidur di masjid diantaranya Ibnu al-Musayyib, ‘Atha’, al-Hasan al-Basri dan asy-Syafi’i.” Bahkan ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Dalil mereka sebagai berikut;

(1) Hadist ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

وَكُنْتُ غُلَامًا شَابًّا وَكُنْتُ أَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Pada suatu hari di jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam aku tidur di masjid.” (HR. al-Bukhari, 1054 dan Muslim, 4528)

(2) Diriwayatkan juga bahwa Ali bin Abi Thalib, Sufwan bin Umayyah, keduanya pernah tidur di masjid. Sebagaimana di dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ قَالَتْ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ وَيَقُولُ قُمْ أَبَا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَابٍ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke rumah Fatimah namun 'Ali tidak ada di rumah. Beliau lalu bertanya: "Kemana putera pamanmu?" Fatimah menjawab, "Antara aku dan dia terjadi sesuatu hingga dia marah kepadaku, lalu dia pergi dan tidak tidur siang di rumah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seseorang: "Carilah, dimana dia!" Kemudian orang itu kembali dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya, ketika itu Ali sedang berbaring sementara kain selendangnya jatuh di sisinya hingga ia tertutupi debu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membersihkannya seraya berkata: "Wahai Abu Thurab, bangunlah. Wahai Abu Thurab, bangunlah.” (HR. al-Bukhari, 422 dan Muslim, 4426)

(3) Diriwayatkan bahwa seorang wanita pembersih masjid yang meninggal pada jaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidurnya di masjid. Sebagaimana di dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

قَالَتْ فَجَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَتْ قَالَتْ عَائِشَةُ فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ

“Lalu wanita kulit hitam ini menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan masuk Islam. Berkata, 'Aisyah radhiyallahu 'anhu: Wanita ini memiliki kemah kecil di dalam masjid.” (HR. al-Bukhari, 420)

(4) Tsummamah bin Utsal juga tidur di masjid sebelum keislamannya sebagaimana di dalam hadits di bawah ini,

بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, pasukan itu lalu kembali dengan membawa seorang laki-laki dari bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka kemudian mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid.” (HR. al-Bukhari, 442 dan Muslim, 3310)

(5) Ahlus Shuffah mereka tidur di masjid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(6) Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan kemah di masjid untuk tidur Sa’ad bin Muadz yang terluka dalam Perang Khandaq agar beliau bisa menjenguknya setiap saat.

Pendapat Kedua, mengatakan tidak boleh tidur di masjid. Kecuali jika dia seorang musafir yang membutuhkan tempat tidur, maka dibolehkan menurut Malik, Ahmad dan Ishaq. Dan juga dibolehkan tidur untuk menunggu waktu shalat. Ini pendapat Ibnu Abbas.

Pendapat Ketiga, mengatakan makruh hukumnya tidur di masjid, ini pendapat Ibnu Mas’ud, Mujahid, Sa’id bin Zubair, dan al-’Auza’i.

 

***

 

KARYA TULIS