Karya Tulis
2549 Hits

Bab 5 Hukum Beraktifitas di Masjid


1. Hukum Beraktifitas Mubah di Masjid

Beraktifitas di dalam masjid pada dasarnya dibolehkan, selama tidak bertentangan dengan tujuan didirikannya masjid. Ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bawah ini;

قَالَتْ عَائِشَةُ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرَ إِلَى لَعِبِهِمْ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ أَجْلِي حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ فَاقْدِرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ حَرِيصَةً عَلَى اللَّهْوِ

Aisyah berkata; "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di pintu kamarku, sementara orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau menutupiku dengan kainnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Kemudian beliau berdiri (agar aku lebih leluasa melihat), sampai saya sendiri yang berhenti (setelah bosan) melihatnya. Karena itu, berilah keleluasaan kepada anak-anak wanita untuk bermain." (HR. al-Bukhari 5236, dan Muslim 1481)

 

Pelajaran dari hadits di atas;

(1) Hadits di atas menunjukkan kebolehan mengadakan kegiatan mubah di masjid, bahkan dalam bentuk permainan mubah yang membawa maslahat bagi umat Islam, seperti latihan bela diri dan senjata (tombak).

Berkata al-Auza’i, “’Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak menyukai latihan pada waktu malam hari. Dikatakan, ‘Kenapa?’ Dia menjawab, ‘Karena pada malam hari masjid dipakai.’”

Secara tidak langsung perkataan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menunjukkan dibolehkannya latihan panahan di masjid pada siang hari ketika tidak digunakan untuk shalat.

(2) Dari sini bisa disimpulkan kebolehan latihan memanah, bela diri, dan sejenisnya di dalam masjid selama tidak mengotori dan merusak perabot masjid karena kegiatan-kegiatan di atas masuk dalam kategori i’dad al-quwah (mempersiapkan kekuatan umat Islam).

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (1/549), “Bermain tombak bukan sekedar permainan biasa tetapi lebih kepada melatih keberanian di dalam berperang dan mempersiapkan diri menghadapi musuh.”

Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (6/271), “Hadits di atas menunjukkan kebolehan latihan menggunakan senjata dan sejenisnya dari alat-alat perang di dalam masjid. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan serupa yang mendukung persiapan jihad.”

Berkata Ibnu Rajab di dalam Fathu al-Bari (3/340), “Maksud dari hadits ini dibolehkan bermain dengan tombak di masjid karena hal itu termasuk dalam kategori latihan berjihad. Dan ini merupakan bagian dari ibadah.”

(3) Setiap kegiatan yang manfaatnya untuk kaum muslimin secara umum terutama di dalam penegakan ajaran Islam maka boleh dilakukan di masjid selama tidak mengotori atau merusak masjid.

Diriwayatkan dari Qadhi Iyadh dari sebagian gurunya bahwasanya mereka mengatakan, “Sesungguhnya yang dilarang untuk dilakukan di masjid adalah aktifitas yang manfaatnya kembali kepada personal. Adapun kegiatan-kegiatan yang manfaatnya untuk kaum muslimin secara umum, khususnya dalam menegakkan ajaran Islam seperti latihan pedang dan memperbaiki alat-alat perang selama tidak mengotori masjid, maka tidak apa-apa.”

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (1/549), “Berkata al-Muhallab, ‘Masjid adalah tempat beraktifitasnya kaum muslimin. Maka setiap aktifitas yang bermanfaat agama dan kembali kepada kaum muslimin itu dibolehkan.

2. Hukum Mengeraskan Suara di Masjid

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

Abu Sa'id al-Khudri dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (al-Qur'an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (al-Qur'an) atau dalam shalatnya." (HR. Abu Daud, 1135)

Pelajaran dari hadits di atas;

(1) Hadits di atas menunjukkan larangan mengeraskan suara di masjid secara umum, walaupun dengan membaca al-Qur’an atau dzikir. Karena hal itu akan mengganggu orang lain yang ada di masjid.

Namun masih kita temui banyak dari jama’ah yang membaca al-Qur’an keras-keras, khususnya di masjid-masjid pesantren tahfizh al-Qur’an. Mereka menganggap hal itu suatu yang wajar karena mereka sedang menghafal al-Qur’an. Padahal bacaan mereka yang kencang, secara tidak sadar telah mengganggu orang-orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah.

Begitu juga masjid-masjid yang melantunkan dzikir bakda shalat secara keras, dapat mengganggu orang-orang yang shalat. Semua ini masuk dalam kategori larangan dalam hadits di atas.

(2) Larangan mengeraskan suara di dalam masjid dikuatkan dengan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Hendaklah yang berada tepat di belakang shalatku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka tiga kali, dan hendaklah kalian menjauhi kebisingan dan perselisihan pasar'." (HR. Muslim 655)

Berkata an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 4/156, “Maksud (haisyatul aswaq) adalah pertengkaran, perselisihan, tingginya suara, kebisingan dan fitnah yang terjadi di pasar.”

Hadits di atas menunjukkan larangan berbuat gaduh dan meninggikan suara di masjid sebagaimana kebisingan dan teriakan yang terjadi di dalam pasar.

Termasuk dalam hal ini para pedagang di sebagian masjid yang menawarkan dagangan mereka di saat orang-orang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Dan keadaan semacam ini terulang kembali ketika imam shalat telah mengucapkan salam, tanda selesainya shalat, mereka (para pedagang) langsung berbondong-bondong menuju pintu masjid untuk menawarkan dagangan mereka kembali kepada jama’ah yang keluar dari masjid. Ironisnya, mereka tidak ikut shalat jama’ah dan mengeluarkan suara yang keras ketika menawarkan dagangannya sehingga mengganggu jama’ah yang berada di dalam masjid.

(3) Hal-hal yang dibolehkan untuk mengeraskan dalam masjid, diantaranya adalah mengumandangkan adzan, shalat jahriyah, khutbah Jum’at, begitu juga ceramah keagamaan.

Bagaimana dengan bacaan al-Qur’an yang dilantunkan melalui speaker sebelum adzan Subuh dan sebelum datangnya waktu shalat Jum’at?

Jawabannya bahwa hal itu tergantung kepada maslahat dan madharat. Jika masyarakat sekitar merasa nyaman dan tidak terganggu dengan suara tersebut, maka hukumnya boleh. Tetapi jika hal tersebut mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitar masjid, maka sebaiknya hal itu dihindari. Karena Islam datang tidak untuk mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Ini berbeda dengan adzan, karena dia adalah pemberitahuan kepada masyarakat sekitar akan datangnya waktu shalat dan durasi waktunya sangat pendek, berbeda dengan lantunan al-Qur’an yang dikeraskan melalui speaker yang terkadang berlangsung selama berjam-jam.

(4) Tingkat-tingkatan mengeraskan suara.

Mengeraskan suara di dalam masjid memiliki beberapa tingkatan. Al-Bukhari di dalam as-Shahih menyebutkan Bab Mengeraskan Suara di dalam Masjid, kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang menunjukkan larangan mengeraskan suara, sekaligus menyebutkan hal-hal yang menunjukkan kebolehannya. Jika mengeraskan suara itu dibutuhkan maka dibolehkan. Sebaliknya jika tidak dibutuhkan maka dilarang. 

Diantara yang terjadi di masyarakat adalah mengeraskan suara di dalam pengajian. Jika peserta pengajian sedikit, sepuluh orang umpamanya, maka tidak perlu menggunakan pengeras suara apalagi menggunakan speaker luar. Begitu juga dalam keadaan shalat berjama’ah, jika jumlah jama’ah hanya lima orang, tidak perlu menggunakan pengeras suara.

Pada dasarnya dalam masalah ini merujuk kepada kebutuhan. Dan kebutuhan itu disesuaikan dengan kadarnya. Jika mengeraskan suara itu tidak dibutuhkan dalam ibadah shalat, dzikir, serta membaca al-Qur’an maka tidak dianjurkan untuk dilakukan.

Demikian pula mengeraskan suara pada saat tidak diperlukan sebenarnya telah menghinakan masjid. Seperti seseorang yang berbicara di depan anda dengan suara yang keras dan tinggi, padahal hal itu tidak diperlukan. Maka perbuatan seperti itu dianggap menghinakan anda.

Sebaliknya merendahkan suara adalah bukti penghormatan. Sebagaimana anda berada di depan orang yang anda hormati tentu anda akan berbicara dengan pelan dan lembut sesuai dengan kebutuhan. Jika anda berteriak keras di hadapannya seakan-akan anda tidak menghormatinya dan menghinakannya. Begitulah jika seseorang berteriak keras di masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

(5) Mengeraskan suara di depan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terlarang ketika beliau masih hidup. Hal itu juga terlarang ketika beliau telah wafat di kuburan beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Qs. al-Hujurat, 49: 2)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (7/365), “Ayat ini adalah adab kedua yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang beriman agar tidak meninggikan suara di hadapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan kepada dua sahabat yang mulia yaitu Abu Bakr dan Umar. Ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata,

كَادَ الْخَيِّرَانِ أَنْ يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَفَعَا أَصْوَاتَهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ رَكْبُ بَنِي تَمِيمٍ فَأَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ وَأَشَارَ الْآخَرُ بِرَجُلٍ آخَرَ قَالَ نَافِعٌ لَا أَحْفَظُ اسْمَهُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي قَالَ مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا فِي ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ } الْآيَةَ{

“Hampir saja dua orang terbaik binasa, yaitu Abu Bakar dan 'Umar radliallahu 'anhuma, keduanya mengangkat suara mereka di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu tatkala datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam utusan Bani Tamim. Salah satu dari keduanya menunjuk Al Aqra' bin Habis Al Hanzhali, saudara Bani Mujasyi', dan yang lain menunjuk pada yang lainnya (Qa’qa’ bin Ma’bad). Abu Bakar berkata kepada 'Umar, sesungguhnya kamu hanya ingin menyelisihiku. 'Umar berkata, ‘Saya tidak ingin menyelisihimu,’, lalu kedua suaranya meninggi di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka turunlah ayat; ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,’ (Ibnu Az Zubair) berkata, 'Maka Umar setelah turun ayat itu tidaklah mendengar perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hingga ia betul-betul memahaminya.” (HR. al-Bukhari)

Ini dikuatkan atsar dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau melihat dua orang yang sedang mengeraskan suara mereka di masjid maka beliau berkata, “Seandainya kalian berdua adalah penduduk kota ini (Madinah), niscaya akan aku pukul kalian.”

Teks lengkapnya terdapat di dalam atsar berikut ini,  

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ فَجِئْتُهُ بِهِمَا قَالَ مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا قَالَا مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ قَالَ لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari as-Sa'ib bin Yazid berkata, "Ketika aku berdiri di dalam masjid tiba-tiba ada seseorang melempar aku dengan kerikil, dan ternyata setelah aku perhatikan orang itu adalah 'Umar bin Al Khaththab. Dia berkata, "Pergi dan bawalah dua orang ini kepadaku." Maka aku datang dengan membawa dua orang yang dimaksud, Umar lalu bertanya, "Siapa kalian berdua?" Atau "Dari mana asalnya kalian berdua?" Keduanya menjawab, "Kami berasal dari Tha'if" 'Umar bin al-Khaththab pun berkata, "Sekiranya kalian dari penduduk sini maka aku akan hukum kalian berdua! Sebab kalian telah meninggikan suara di Masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam".” (HR. al-Bukhari, 450)

Hal ini dikuatkan dengan hadits dari Ka’ab bin Malik bahwasanya ia berkata,

أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتٍ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ يَا كَعْبُ فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ ضَعْ الشَّطْرَ فَقَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُمْ فَاقْضِهِ

Bahwa dia pernah menagih hutang Ibnu Abi Hadrad kepadanya di dalam masjid di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu suara keduanya meninggi hingga terdengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang berada di rumah. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui keduanya dengan menyingkap tabir kamar Beliau dan memanggil Ka'ab bin Malik seraya berkata: "Wahai Ka'ab". Maka Ka'ab menjawab: "Ya, wahai Rasulullah". Maka Beliau memberi isyarat dengan tangan, agar Ka'ab merelakan setengahnya. Maka Ka'ab berkata: "Aku sudah menawarkannya wahai Rasulullah". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bangkit dan laksanakanlah". (HR. al-Bukhari, 2511)

Para ulama berbeda pendapat di dalam memahami hadits di atas;

Pertama, berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (1/552), “Hadits di atas menunjukkan bolehnya mengeraskan suara di masjid jika tidak sampai berlebihan.”

Kedua, diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau melarang mengeraskan suara di dalam masjid secara mutlak.

Ketiga, diriwayatkan dari Imam Malik juga bahwa beliau membedakan antara mengeraskan suara di masjid karena menyampaikan ilmu dan mengajak kebaikan, serta pada hal-hal yang memang dibutuhkan untuk mengeraskan suara, maka ini boleh. Sedangkan mengeraskan suara karena keributan (yang tidak diperlukan) maka tidak boleh.

Keempat, al-Muhallab mengatakan, “Seandainya mengeraskan suara di dalam masjid tidak boleh, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang kedua sahabat di atas.”

Kelima, sebagian ulama mengatakan hadits di atas justru merupakan dalil dilarangnya mengeraskan suara di dalam masjid. Karena kerasnya kedua sahabat itu membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kamar beliau kemudian mendamaikan keduanya, dengan tujuan masalah cepat selesai dan agar kegaduhan segera selesai.

 

 

(6) Mengeraskan suara menurut empat madzhab.

Berkata al-Hanafiyah, “Makruh hukumnya mengeraskan suara dengan dzikir kecuali bagi yang sedang belajar.” Berkata di dalam Hasyiatu al-Hamawi menukil dari asy-Sya’rani bahwasanya beliau berkata, “Para ulama salaf dan khalaf menganjurkan dzikir jama’ah di masjid kecuali kalau hal itu mengganggu orang tidur atau yang sedang shalat atau orang yang membaca al-Qur’an maka hal itu dilarang.”

Berkata al-Malikiyah, “Dimakruhkan meninggikan suara di masjid dengan dzikir, membaca al-Qur’an, menuntut ilmu, melebihi suara khatib. Begitu juga kemakruhan ini berlaku di luar masjid. Adapun kriteria makruh meninggikan suara di masjid adalah jika tidak menyebabkan orang yang shalat menjadi tidak fokus. Jika itu terjadi maka hukumnya berubah menjadi haram. Adapun di masjid Mekkah secara khusus dan Mina maka dibolehkan meninggikan suara di dalamnya menurut pendapat yang masyhur.”

Berkata az-Zarkasyi dari asy-Syafi’iyah, “Dimakruhkan ribut dan meninggikan suara di masjid.”

Berkata Ibnu Muflih dari al-Hanabilah, “Masjid hendaknya dijaga dari suara gaduh dan pembicaraan yang tidak bermanfaat serta meninggikan suara. Hal ini menjadi tidak makruh jika membicarakan hal yang mubah atau yang dianjurkan.”

Diriwayatkan dari Ibnu Uqail bahwasanya tidak mengapa mengadakan diskusi di dalam masalah  fiqih serta masalah-masalah lainnya di dalam masjid. Jika hal itu bertujuan mencari kebenaran. Tetapi jika hal itu bertujuan untuk menang-menangan dan menimbulkan permusuhan atau yang disebut debat kusir maka tidak boleh dilakukan di masjid. Adapun dialog atau debat selain dalam masalah ilmu maka dilarang untuk dilakukan di dalam masjid.

3. Hukum Membaca Syair di Masjid

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa jika isi syair itu mengandung kemuliaan Islam, memotivasi orang berjihad dan berjuang untuk menegakkan Islam, serta hal-hal yang mengajak kebaikan maka itu dibolehkan.

Ini berdasarkan atsar Hasan bin Tsabit yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyib bahwasanya dia berkata,

مَرَّ عُمَرُ فِي الْمَسْجِدِ وَحَسَّانُ يُنْشِدُ فَقَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيهِ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ نَعَمْ

“Umar berjalan di dalam masjid sedangkan Hassan sedang bersya'ir lalu ('Umar mencelanya) maka Hassan berkata; "Aku pernah bersya'ir di masjid dan saat itu ada orang yang lebih baik darimu". Kemudian dia berpaling dan menemui Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu seraya berkata; "Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah anda mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Penuhilah permohonanku."Ya Allah kuatkanlah dia dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril 'alaihissalam)". Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Iya". (HR. al-Bukhari, 2973 dan Muslim, 2485)

Ini dikuatkan dengan hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

شَهِدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ مَرَّةٍ فِي الْمَسْجِدِ وَأَصْحَابُهُ يَتَذَاكَرُونَ الشِّعْرَ وَأَشْيَاءَ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَرُبَّمَا تَبَسَّمَ مَعَهُمْ

“Aku menyaksikan Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam lebih dari seratus kali di masjid, sementara para sahabat beliau saling menyampaikan sya'ir dan segala perkara jahiliyah yang pernah mereka lakukan, kemudian mereka tertawa, sementara beliau hanya tersenyum kepada mereka.” (HR. Ahmad, 19937 dan at-Tirmidzi, 2777. Dan beliau berkata, “Ini Hadits Hasan Shahih.”)

Hanya saja jika nasyid tersebut menyebabkan keributan dan kegaduhan maka tidak dibolehkan, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Ma’sud radhiyallahu ‘anhu,

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ

“Hendaklah yang berada tepat di belakang shalatku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka tiga kali, dan hendaklah kalian menjauhi kebisingan dan perselisihan pasar.” (HR. Muslim, 655)

Berkata Imam an-Nawawi di dalam Syarah Muslim (2/174) hadits no. 655, “Maksud (Haisyatul aswaq) adalah campur-baurnya suara, adanya pertengkaran, perselisihan, suara tinggi dan bising serta timbulnya fitnah yang terjadi di dalam pasar.”

Menurut Mula ‘Ali Qari dalam Mirqatul Mafatih (3/850) hadits no 1089, bahwa (Haisyatul aswaq) mempunyai beberapa arti, diantaranya;

(1) Tingginya suara, hal ini dilarang karena seseorang yang sedang shalat, dia berada di hadapan Allah, hendaknya dalam keadaan tenang dan menjaga adab beribadah.

(2) Bercampur-baurnya suara, maksudnya bahwa jama’ah yang berada di masjid bercampur baur tidak karuan seperti di pasar, tidak bisa membedakan orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan di dalam shaf. Dan ini yang paling sesuai dengan alur hadits di atas.

  1. (3) Sibuk dengan urusan pasar, sehingga tidak fokus terhadap ibadah shalat.    

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa melantunkan syair dalam masjid hukumnya haram. Ini berdasarkan hadits ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya (‘Abdullah bin ‘Amru bin al-’Ash) bahwasanya beliau berkata,

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ وَعَنْ الْبَيْعِ وَالِاشْتِرَاءِ فِيهِ وَأَنْ يَتَحَلَّقَ النَّاسُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ

“Dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau melarang dari melantunkan sya'ir di dalam masjid, transaksi jual beli, dan membuat halaqah (perkumpulan) pada hari Jum'at sebelum waktu shalat.” (HR. at-Tirmidzi, 296. Beliau mengatakan, “Hadits ‘Abdullah bin ’Amru bin al-’Ash di atas adalah Hadits Hasan.”)

Hadits ini menghapus hadits-hadits yang membolehkan melantunkan syair di dalam masjid. Tetapi ini hanya pendapat satu orang yang bernama Abu ‘Abdul Malik al-Buwaini, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (1/549) dan beliau menganggap pendapat ini sangat lemah.

Pendapat Ketiga, mengatakan bahwa melantunkan syair di dalam masjid hukumnya boleh tetapi makruh. Pendapat ini menggabungkan antara hadits yang melarang melantunkan syair di dalam masjid dan hadist-hadits yang membolehkan.

Kesimpulannya, dari ketiga pendapat di atas yang paling kuat adalah pendapat pertama yang membolehkan melantunkan syair di dalam masjid dengan beberapa syarat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (1/549), “Menggabung antara dua hadits di atas dengan menafsirkan hadits yang melarang itu khusus syair-syair jahiliyah, sedangkan yang dibolehkan adalah syair-syair non jahiliyah.

Berkata al-Mubarakfury di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi (2/276), “Berkata Ibnu al-Arabi, ‘Tidak apa-apa melantunkan syair di dalam masjid jika untuk menegakkan agama dan syariat’.”

Berkata az-Zarkasyi di dalam I’lamu as-Sajid (hal. 322), “Seyogyanya tidak melantunkan syair di masjid yang tidak memuji indahnya Islam dan tidak pula memotivasi akhlak mulia. Karena kalau selain itu hukumnya haram. Ini disebutkan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarhu al-Muhadzdzab.”

4. Hukum Mencari Barang Hilang di Masjid

Dimakruhkan mencari barang hilang di masjid. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ لَا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

“Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, hendaklah dia mendoakan, 'Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu, karena masjid bukan dibangun untuk ini.” (HR. Muslim, 880)

Berkata Muhammad Syamsul Haq Abadi (1329 H) di dalam Aunul Ma’bud (2/2) yang intinya menyebutkan bahwa:

(1) Arti (يَنْشُد) adalah mencari. Sedangkan arti (ضَالَّة) adalah binatang yang hilang atau tersesat, baik jantan maupun betina. Adapun barang hilang disebut (ضَائِع) atau (وَلَقِيط).

(2) Makna (لَا أَدَّاهَا اللَّه إِلَيْك) adalah mudah-mudahan Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang dan kamu tidak menemukannya. Ini adalah doa kepada orang yang mencari barangnya yang hilang di masjid.

(3) Dan ini menunjukkan kebolehan mendoakan kepada orang yang mencari barangnya hilang di masjid tidak menemukan barang tersebut. Ini bentuk sanksi psikologis kepadanya agar tidak mengulangi perbuatannya. Di dalam hadits di atas juga terdapat larangan mengeraskan suara untuk mencari barang.

Sebagian ulama berpendapat, jika yang hilang adalah anak kecil, maka boleh mencarinya di masjid untuk menjaga keselamatan jiwa anak.

Hal-hal yang dibolehkan di dalam menyelesaikan hilangnya barang di masjid;

(1) Bicara langsung dengan imam masjid untuk memberitahu tentang barang yang hilang.

(2) Menulis di papan pengumuman yang berada di luar masjid. Adapun pengumuman barang hilang atau sejenisnya di papan pengumuman yang berada di dalam masjid dimakruhkan karena akan menyita perhatian jama’ah masjid yang hendak shalat.

5. Hukum Menegakkan al-Hudud di Masjid

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُسْتَقَادَ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنْ تُنْشَدَ فِيهِ الْأَشْعَارُ وَأَنْ تُقَامَ فِيهِ الْحُدُودُ

“Dari Hakim bin Hizam bahwa ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pelaksanaan hukuman qishas dalam masjid, melantunkan syair (buruk) dan pelaksanaan hudud secara umum".” (HR. Abu Daud 4590, Ahmad 3/34, al-Hakim 4/378, ad-Daruquthni 3/86, al-Baihaqi 8/328. Berkata Ibnu Hajar di dalam al-Talkhish al-Habir 4/78, sanadnya tidak ada cacat dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Daud 3/850)

Pertama: Hukum Menegakkan al-Hudud di Masjid

Menegakkan al-hudud termasuk syiar Allah yang agung. Disebutkan di dalam atsar, “Menegakkan satu al-had (hukuman Allah) di muka bumi lebih baik daripada hujan 20 atau 60 tahun.”

Hal ini menunjukkan bahwa penegakkan al-hudud akan mengundang keberkahan dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala karena termasuk penegakkan syariat Allah di muka bumi.

Al-hudud terbagi menjadi tiga;

(1) Murni hak Allah, seperti hukuman bagi pelaku zina dan minum khamr.

(2) Murni hak manusia, seperti hukuman bagi pelaku pencurian dan pembunuhan.

(3) Gabungan antara hak Allah dan hak manusia.

Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum menegakkan al-hudud di masjid.

Pendapat Pertama, mengatakan tidak boleh menegakkan al-hudud di masjid. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.

Berkata Ibnu al-Munir, “Barangsiapa yang berpendapat makruh memasukkan jenazah di masjid untuk dishalatkan karena khawatir akan keluar sesuatu yang najis maka menegakkan al-hudud di masjid lebih dilarang karena berpotensi menetesnya darah akibat cambukan. Tentunya kalau al-hudud berupa qishah pembunuhan, lebih terlarang.”

Berkata di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi, “Dimakruhkan menegakkan al-hudud di masjid agar terjaga kehormatan masjid.”

Mereka juga beralasan bahwa masjid adalah tempat untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah, jangalah kita jadikan tempat adzab dan hukuman.

Pendapat Kedua, mengatakan dibolehkan menegakkan al-hudud di masjid. Ini pendapat asy-Sya’bi dan Ibnu Abi Laila.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan larangan menegakkan al-hudud di masjid semuanya berderajat dha’if.

Pendapat Ketiga, mengatakan boleh menegakkan al-hudud di masjid jika hukumannya ringan dan sedikit, seperti memukul, mencambuk beberapa cambukan yang tidak mengeluarkan darah. Jika hukuman itu berat maka hendaknya dilakukan di luar masjid.

Kedua: Bagaimana dengan Menegakkan al-Hudud di Mekkah?

Syeikh Athiyah Salim dalam Syarh Bulughul Maram mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh menegakkan al-qishash di Mekkah, karena keharaman kota ini. Allah berfirman,

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Qs. Ali Imran: 97) 

Oleh karenanya, orang tersebut ditunggu sampai keluar Mekkah. Jika belum keluar maka dia batasi geraknya, tidak melakukan transaksi jual beli dan diisolasi untuk tidak bisa bergaul dengan penduduk Mekkah. Sehingga akhirnya dia akan keluar sendiri. Setelah keluar barulah ditegakkan al-qishash terhadapnya.

 

***

KARYA TULIS