Karya Tulis
1076 Hits

Bab 11 Hukum Jual Beli di Masjid


Masjid adalah tempat yang digunakan untuk melaksanakan shalat, dzikir dan membaca al-Qur’an. Tetapi kita dapatkan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dan menerima tamu di dalam masjid.

Pertama: Apakah Dibolehkan Melakukan Transaksi Jual Beli di dalam Masjid?

Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, hal itu terkait dengan perbedaan pendapat di dalam memahami hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُولُوا : لاَ أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا : لاَ رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ

“Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah, Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.” Dan jika kamu melihat orang mencari barang yang hilang di masjid, maka katakanlah,“Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. (HR. at-Tirmidzi (1231), Ibnu Huzaimah (1305), al-Baihaqi (4518))

Para ulama berbeda pendapat di dalam memahami hadist di atas dengan rincian sebagai berikut; 

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya makruh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan sebagian al-Hanabilah seperti IbnuTaimiyah.    

Berkata Sulaiman al-Bujairmi asy-Syafi’i,  

وَيُكْرَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فِي الْمَسْجِدِ وَسَائِرُ الْعُقُودِ كَالْبَيْعِ إلَّا النِّكَاحَ فَيُسَنُّ عَقْدُهُ فِيهِ ، وَكَذَا يُكْرَهُ نَشْدُ الضَّالَّةِ فِيهِ

“Dimakruhkan untuk jual beli di masjid, dan seluruh transaksi sejenis jual beli, kecuali pernikahan, maka disunnahkan dilakukan di dalamnya. Begitu juga dimakruhkan untuk mencari barang yang hilang.“ (Tuhfatu al-Habib ‘ala al-Khatib: 3/666)  

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya haram. Ini pendapat sebagian dari ulama al-Hanabilah.

Alasan mereka adalah sebagai berikut; 

(1) Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Hadist tersebut menunjukkan larangan, dan pada asalnya setiap larangan itu menunjukkan keharaman.

(2) Bahwa masjid tidaklah dibangun untuk keperluan jual beli, tetapi untuk berdzikir, shalat dan membaca al-Qur’an.

(3) Diriwayatkan bahwa ‘Imran al-Qashir ketika melihat seseorang berdagang di masjid, beliau langsung menegurnya dan mengatakan kepadanya,  

هذه سوق الآخرة فإن أردت التجارة فاخرج إلى سوق الدنيا 

“Ini adalah pasar akhirat, jika anda ingin berdagang, maka keluarlah ke pasar dunia.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 4/337) 

Pendapat Ketiga, mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya boleh. Ini pendapat sebagian asy-Syafi’iyah sebagaimana disebutkan an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (2/203).

Sebagian ulama al-Hanafiyah membolehkan jual beli jika tidak dalam jumlah yang besar dan ramai sehingga menyerupai pasar. Berkata ath-Thahawi,

وكذلك النهي عن البيع فيه هو الذي يغلب عليه حتى يكون كالسوق لأنه لم ينه عليا عن خصف النعل فيه مع أنه لو اجتمع الناس لخصف النعال فيه كره فكذلك البيع وإنشاد الشعر والتحلق قبل الصلاة فما غلب عليه كره وما لا فلا

Begitu juga larangan jual beli (di dalam masjid) maksudnya adalah jual beli dalam partai besar, sehingga terkesan masjid seperti pasar. Alasannya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang ‘Ali menjual jasa perbaikan sandal. Walaupun demikian jika jasa perbaikan sandal ini menjadi ramai, hukumnya menjadi makruh. Hukum seperti ini berlaku pada jual beli, membacakan syair dan membuat halaqah sebelum shalat (Jum’at), yaitu jika hal itu membuat keramaian, maka dimakruhkan, jika tidak, maka tidak apa-apa.” (Hasyiatu Ibnu Abidin, 1/660) 

Berkata al-Marghiyani di dalam al-Hidayah (1/133) terkait I’tikaf di masjid,

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيعَ وَيَبْتَاعَ فِي الْمَسْجِدِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُحْضِرَ السِّلْعَةَ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْتَاجُ إلَى ذَلِكَ بِأَنْ لَا يَجِدَ مَنْ يَقُومُ بِحَاجَتِهِ

“Dibolehkan bagi mu’takif untuk melakukan kegiatan jual beli di masjid tanpa membawa barang-barang dagangan, karena kadang terdapat mu’takif yang membutuhkan barang tersebut, sedangkan tidak ada orang yang bisa membantunya untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.”(Al-Hidayah: 1/133) 

Maksud dari pernyataan di atas, dibolehkan membeli barang-barang yang dibutuhkan mu’takif, seperti makanan dan pakaian. Adapun kegiatan jual beli dengan tujuan berdagang, maka hukumnya makruh, apalagi jika dilakukan oleh mu’takif (tentunya lebih makruh lagi).

Di dalam beberapa riwayat Imam Malik disebutkan bahwa transaksi yang bentuknya kecil dan remeh, boleh dilakukan di masjid. Sebaliknya, jika transaksi tersebut dalam jumlan yang besar, apalagi sampai membawa barang dagangan ke dalam masjid, maka hukumnya makruh. Berkata al-Baji,

رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ فِي الْمَجْمُوعَةِ لَا بَأْسَ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي الْمَسْجِدِ دِينًا 

  “Diriwayatkan dari Ibnu al-Qasim dari Imam Malik di dalam al-Majmu’ah, “Tidak mengapa seseorang membayar utang kepada temannya di dalam masjid.” (al-Muntaqa Syarah al-Muwatha: 1/ 342) 

Disebutkan juga di dalam kitab yang sama,  

فَأَمَّا أَنْ يُسَاوِمَ رَجُلًا بِثَوْبٍ عَلَيْهِ أَوْ سِلْعَةٍ تَقَدَّمَتْ رُؤْيَتُهُ لَهَا وَمَعْرِفَتُهُ بِهَا فَيُوَاجِبُهُ الْبَيْعَ فِيهَا فَلَا بَأْسَ بِهِ

“Adapun seseorang yang menawar baju yang sedang dipakai orang lain, atau barang yang pernah dia lihat sebelumnya dan telah mengetahuinya kemudian ingin membelinya, maka tidak apa-apa.”

Kedua: Apakah Jual Belinya Sah?

  Mayoritas ulama mengatakan jual belinya sah, bahkan tidak sedikit yang menyebutkan kesepakatan ulama dalam hal ini. Diantara ulama yang menukil kesepakatan tersebut adalah Ibnu Bathal, al-Mawardi, al-Iraqi, dan Ibnu Muflih.  

Berkata Ibnu Qudamah,

 إن باع فالبيع صحيح لأن البيع تم بأركانه وشرطه ولم يثبت وجود مفسد له وكراهة ذلك لا توجب الفساد كالغش في البيع والتدليس والتصرية وفي قول النبي صلى الله عليه وسلم قولوا : ( لا أربح الله تجارتك)  من غير اخبار بفساد البيع دليل على صحته والله أعلم

“Jika seseorang berjualan di masjid, maka jual belinya sah, karena jual belinya telah memenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak ada hal yang menyebabkan rusaknya jual beli tersebut. Adapun kemakruhan untuk berjualan di masjid tidak secara otomatis menyebabkan jual beli tersebut rusak.  Sebagaimana kecurangan dan penipuan serta manipulasi susu kambing di dalam jual beli. Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah (Maka katakanlah, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.”) tanpa mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak, hal ini menunjukkan keabsahan jual beli tersebut. (al-Mughni: 4/ 337) 

Al-Mardawai salah seorang ulama al-Hanabilah di dalam kitab al-Inshaf (3/347) menyebutkan bahwa Ibnu Habirah mengatakan jual beli yang dilakukan di masjid hukumnya tidak sah. Tentunya pendapat ini sangat lemah dan menyelisihi pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah di atas.

Ketiga: Batasan Masjid

Masjid adalah bangunan yang secara khusus digunakan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Biasanya bangunan ini terbuat dari tembok, sebagian terbuat bambu.

Pertanyaannya: apakah teras atau halaman masjid termasuk masjid, sehingga terkena hukum larangan jual beli di dalamnya?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini; 

Pendapat  Pertama: Jika teras atau halaman masjid bersambung dengan masjid, baik atapnya atau lantainya, serta ditembok (dipagari), maka termasuk masjid.  Ini adalah pendapat  asy-Syafi’I dan riwayat dari Ahmad. Berkata an-Nawawi, 

المراد بالرحبة ما كان مضافا إلى المسجد محجرا عليه وهو من المسجد نص الشافعي على صحة الاعتكاف فيها

“Yang dimaksud dengan halaman (teras) masjid adalah tempat yang bersambung dengan masjid dan ditembok (dipagari) sekitarnya, maka termasuk masjid.  Ini ditegaskan oleh imam asy-Syafi’i akan sahnya i’tikaf di dalamnya. (al-Majmu’ : 6/507)

Pendapat Kedua: Mengatakan bahwa teras atau halaman masjid itu bukan bagian dari masjid, sehingga tidak sah iktikaf di dalamnya dan sebaliknya dibolehkan jual beli di dalamnya. Ini pendapat Imam Ahmad dalam riwayat yang shahih darinya. Berkata al-Mardawai,  

رحبة المسجد ليست منه علي الصحيح من المذهب والروايتين

“Teras masjid bukanlah bagian dari masjid menurut pendapat yang benar dalam Madzhab  (al-Hanbali) dan dalam dua riwayat Imam Ahmad dalam masalah ini. (al-Inshaf: 3/258)

Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya beliau berkata,  

كن المعتكفات إذا حضن أمر رسول الله-صلى الله عليه و سلم – بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن.

“Para wanita yang beritikaf jika sedang haid diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik i’tikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid.”

Pendapat kedua ini dikuatkan dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْيَهُودِيِّ وَالْيَهُودِيَّةِ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِهِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk merajam terhadap seorang laki-laki dan perempuan Yahudi di dekat pintu masjidnya. (HR. Ahmad (4/196). Hadist Hasan)

Dikuatkan juga dengan hadist ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

Bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata,“Wahai Rasulullah seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan memakainya  untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. (HR al-Bukhari, 886)   

 

***

KARYA TULIS