Karya Tulis
757 Hits

Bab 14 Ketika Pintu Langit Terbuka


فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

 

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."

(Qs. Yusuf: 15)

 

Pelajaran dari ayat di atas

 

Pelajaran (1) Bersekongkol dalam Kejahatan

 

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ

 

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia).”

 

Ayat di atas menjelaskan betapa besar kejahatan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf ketika mereka bersepakat untuk memasukkan Yusuf ke dalam dasar sumur. Padahal baru saja mereka mengambil Yusuf dari sisi bapaknya dengan cara yang terlihat seolah-olah mereka akan menyayangi, menghibur dan menjaga Yusuf. Diriwayatkan bahwa Nabi Ya’kub sebelum berpisah dengan Yusuf, beliau memeluk, mencium dan mendoakan keselamatan Yusuf.

 

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/452) menyebutkan riwayat as-Suddi bahwa rentang waktu antara mereka berpura-pura menyayangi Yusuf dan menampakkan kebencian kepadanya adalah ketika mereka sudah hilang dari pandangan Nabi Ya’kub, Pada saat itu, mereka langsung mengumpat, mencaci maki, mengolok-ngolok dengan kata-kata yang kasar. Kemudian mereka memukul dan menendangnya.

 

Jika Yusuf meminta belas kasihan kepada salah satu dari saudaranya, langsung saja mereka memukul dan menendangnya lagi, sehingga sampai pada sumur yang telah mereka sepakati, kemudian mereka mengikatnya dengan ember yang ada di sumur tersebut. Ketika tangan Yusuf bergelantungan pada tepi sumur, mereka menginjak tangannya. Pada akhirnya, mereka memutus tali ember tersebut, sehingga Yusuf terjatuh ke dalam sumur, kemudian bangkit dan duduk di batu yang ada di dalam sumur.

 

Pelajaran (2) Ketika Pintu Langit Terbuka

 

وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ

 

“Dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: ‘Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini’.”

 

(1) Yusuf tiba-tiba mendapatkan pertolongan dari Allah, kapan itu? Ketika tidak ada harapan untuk mendapatkan pertolongan dari manusia, tidak dari bapaknya dan tidak pula dari sepuluh saudaranya serta tidak pula dari satu pun orang yang ada di bumi ini. Tepatnya ketika beliau sudah dimasukkan ke dalam sumur, dan tidak ada satu pun yang bisa menolongnya dari manusia, maka di situlah turun pertolongan Allah.

 

Prinsip ini berlaku di dalam kehidupan manusia pada tataran pribadi, keluarga, sampai masyarakat. Dan juga berlaku pada tataran negara dan bangsa, lihatlah bagaimana bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah umat Islam, ketika menghadapi pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya dengan persenjataan yang sangat lengkap untuk menjajah Indonesia, pada waktu itu tidak ada satupun negara yang bisa menolong bangsa Indonesia kecuali mereka hanya mengharap pertolongan dari Allah saja. Seruan jihad dikumandangkan, maka ulama dan santri bersatu padu menghadapi Inggris, tentunya kekuatan mereka tidak seimbang sama sekali dengan kekuatan tentara Inggris, pada saat-saat genting seperti itu, datanglah pertolongan Allah.  

 

(2) Hakikat Ibadah adalah meminta pertolongan hanya kepada Allah secara penuh, tidak mengharap sedikitpun kepada makhluk. Semakin kuat harapan seseorang kepada Allah, maka semakin kuat tauhidnya kepada-Nya. Inilah makna dari firman Allah dalam Surat al-Fatihah (Hanya kepada-Mu lah, kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah, kami meminta pertolongan). Ini juga sesuai dengan firman Allah di dalam Surat al-Ikhlas (Allah-lah tempat bergantung). Jadi, besar kecilnya tauhid seseorang kepada Allah, tergantung kepada besar kecilnya tawakkalnya kepada Allah. Makna ini juga yang terkandung di dalam Surat Yusuf: 15 di atas.  

 

(3) Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/452),

 

يَقُول تَعَالَى ذَاكِرًا لُطْفه وَرَحْمَته وَعَائِدَته ثُمَّ إِنْزَاله الْيُسْر فِي حَال الْعُسْر أَنَّهُ أَوْحَى إِلَى يُوسُف فِي ذَلِكَ الْحَال الضَّيِّق تَطْيِيبًا لِقَلْبِهِ وَتَثْبِيتًا لَهُ إِنَّك لَا تَحْزَن مِمَّا أَنْتَ فِيهِ فَإِنَّ لَك مِنْ ذَلِكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا حَسَنًا وَسَيَنْصُرُك اللَّه عَلَيْهِمْ وَيُعْلِيك وَيَرْفَع دَرَجَتك وَسَتُخْبِرُهُمْ بِمَا فَعَلُوا مَعَك مِنْ هَذَا الصَّنِيع .

 

“Allah berfirman dengan menyebutkan kelembutan, kasih sayang, dan perhatian-Nya kemudian kemudahan yang Dia berikan di saat kesulitan, yaitu ketika Allah memberikan wahyu kepada Yusuf di saat beliau dalam keadaan susah untuk menghibur dan menguatkan hatinya, “Janganlah kamu sedih dengan keadaanmu sekarang ini, karena akan ada jalan keluar yang baik. Allah akan menolongmu dari kejahatan mereka, serta meninggikan derajatmu. Dan kamu akan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan terhadapmu.” 

 

(4) Ketika para Rasul merasa putus asa terhadap manusia, maka datanglah pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah juga yang dialami Nabi Ibrahim ketika dibakar, Nabi Ya’kub yang kehilangan putranya Yusuf, Nabi Yunus ketika masuk dalam perut Ikan Paus, Nabi Ayyub yang terkena penyakit puluhan tahun lamanya, Nabi Musa ketika dikejar Fir’aun hingga di tepi laut, Nabi Isa ketika diburu pasukan Romawi, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dikepung kaum Qurasy untuk dibunuh. Dan inilah yang dimaksud di dalam firman Allah,

 

حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ

 

“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.” (Qs. Yusuf: 110)

 

(5) Ayat di atas juga mengandung pelajaran bahwa menyembah Allah itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa, untuk menyakini bahwa Allah adalah Maha Penolong  membutuhkan proses yang sangat panjang, untuk menemukan Allah kadang harus melewati jalan yang terjal, melingkar, hingga akhirnya mendapatkan-Nya.

 

(6) Inilah yang terjadi pada kisah Yusuf. Ibarat naik gunung yang jalannya berliku, menanjak, terjal dan memutar. Dari ujian yang beliau alami di rumahnya, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, dijual di pasar sebagai budak, masuk di dalam istana. Kemudian dijebloskan ke dalam penjara beberapa tahun lamanya, dan berakhir dengan duduknya di tampuk kekuasaan tertinggi di Negeri Mesir.

 

Hendaknya setiap muslim memproyeksikan kisah Yusuf ini pada kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negaranya.  

 

Pelajaran (3) Mendapatkan Wahyu

 

وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ

 

“Dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini.”

 

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud firman-Nya (Dan Kami wahyukan kepada Yusuf):

 

Pendapat Pertama, menyatakan bahwa Yusuf mendapatkan wahyu ketika berada di atas batu yang ada di dasar sumur. Apakah waktu itu Yusuf sudah dewasa? Sebagian mengatakan umurnya pada waktu itu sudah delapan belasan tahun, sehingga sangat tepat untuk mendapatkan wahyu. Sebagian yang lain mengatakan bahwa umurnya masih kecil, tetapi sudah bisa menerima wahyu.

 

Ibnu ‘Asyur di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (7/319) berpendapat walaupun ini wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, tetapi bentuknya berupa tanda-tanda dan berita gembira yang datang sebelum kenabian (artinya bukan wahyu kenabian). Ini disampaikan kepadanya sebagai bentuk kasih sayang Allah agar beliau tidak bersedih, sekaligus sebagai informasi bahwa Allah akan menolongnya dan menyelamatkannya dari masalah yang sedang dihadapinya. Setelah itu, dia akan memberitahukan kepada mereka di kemudian hari semua yang terjadi saat ini.

 

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa maksud dari wahyu di situ bukan wahyu kepada seorang nabi, tetapi (wahyu ilham) dalam arti petunjuk umum dalam urusan hidup. Ini sebagaimana Allah memberikan wahyu ilham kepada lebah di dalam firman-Nya,

 

 وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

 

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia".”  (Qs. An-Nahl: 68)  

 

Pendapat Ketiga, menyatakan bahwa maksud wahyu di atas adalah melihat dalam mimpi.

 

Ketiga pendapat di atas disebutkan oleh al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/94) dan beliau memilih pendapat pertama, bahwa yang dimaksud wahyu pada ayat di atas adalah wahyu kenabian.

 

Pelajaran (4) Tidak ada Dendam

 

وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

 

“Sedang mereka tiada merasa lagi.

 

Ayat di atas ini akan diterangkan oleh ayat-ayat selanjutnya, yaitu pada ayat 58 dan 89 dalam Surat Yusuf. Allah berfirman,  

 

وَجَاءَ إِخْوَةُ يُوسُفَ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ

 

“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.” (Qs. Yusuf: 58)

 

Allah juga berfirman,  

 

قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُونَ

 

“Yusuf berkata: ‘Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu?’.” (Qs. Yusuf: 89)

 

Yusuf yang merangkap sebagai menteri ekonomi, pertanian dan perdagangan. Ketika saudara-saudaranya datang meminta bantuan, tetap memberi bantuan kepada mereka, tidak ada rasa dendam sama sekali kepada saudara-saudaranya yang pernah menzhaliminya dan berusaha membunuhnya. Tepatlah jika  Yusuf dikatakan orang yang sangat baik dan mulia, sebagaimana di dalam hadist ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,  

 

 الكريم ابن الكريم ابن الكريم ابن الكريم يوسف بن يعقوب بن إسحاق بن إبراهيم

 

“Orang mulia, anak orang mulia. anak orang mulia, anak orang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim 'alaihim as-salam.” (HR. al-Bukhari)

KARYA TULIS