Karya Tulis
762 Hits

Bab 17 Perbudakan Manusia


وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ قَالَ يَابُشْرَى هَذَا غُلَامٌ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (19) وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ (20) 

 

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” 

(Qs. Yusuf: 19-20)

 

Pelajaran dari ayat di atas

 

Pelajaran (1) Keutamaan Safar

 

سَيَّارَةٌ

 

“Sekelompok musafir.”

 

(1) (Sayyarah) artinya orang-orang yang banyak bepergian. Dari kata (saara–yasiiru) berjalan. Biasanya dipakai untuk menyebut para pedagang yang sering melakukan perjalanan  untuk mencari barang dagangan di suatu tempat dan dijualnya kembali di tempat lain.

 

Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/101),

 

أَيْ رُفْقَة مَارَّة يَسِيرُونَ مِنْ الشَّام إِلَى مِصْر فَأَخْطَئُوا الطَّرِيق وَهَامُوا حَتَّى نَزَلُوا قَرِيبًا مِنْ الْجُبّ , وَكَانَ الْجُبّ فِي قَفْرَة بَعِيدَة مِنْ الْعُمْرَانِ

 

“Yaitu para musafir yang berjalan dari Syam menuju Mesir, tetapi salah arah dan bingung, sehingga terdampar di dekat sumur. Padahal sumur tersebut berada jauh dari perkampungan penduduk.”  

 

Ini menunjukkan bahwa Allah jika ingin menolong hamba-Nya, maka beberapa mahkluk dan ciptaan-Nya digerakkan untuk menolong hamba yang dikehendaki-Nya tersebut. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya selalu tenang, yakin dan bertawakkal kepada Allah terhadap sesuatu yang menimpa dirinya. Madharat apapun tidak akan menimpanya kecuali jika Allah mengizinkannya.

 

(2) Profesi berdagang adalah profesi yang sangat mulia dan sangat bermanfaat, diantara manfaatnya adalah mereka mempunyai pengalaman banyak dan pergaulan yang luas. Mereka mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang alam, lingkungan dan berbagai corak dan karakter manusia.

 

Allah memuji orang-orang Quraisy yang sering mengadakan perjalanan, sebagaimana tersebut di dalam surat Quraisy.

 

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ  (4)  

 

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”  (Qs. Quraisy:1-4)

 

Pelajaran (2) Rezeki yang Tidak Disangka

 

فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ

 

“Lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya,”

 

(1) Para musafir tersebut mengutus seorang pengambil air yang bernama Malik bin Da’r, kemudian dia menjulurkan tali dan embernya untuk mengambil air, tetapi yang didapat justru anak yang bergantung pada ember tersebut. Di sinilah pertolongan Allah muncul dengan cara yang menakjubkan. Allah berfirman,

 

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

 

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Qs. al-An’am: 124)

 

(2) Penimba air berteriak kepada teman-temannya, ketika mendapatkan anak yang tampan di dalam embernya, sebagaimana di dalam firman-Nya,  

 

قَالَ يَابُشْرَى هَذَا غُلَامٌ

 

“Dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!”

 

Sebagian ulama seperti as-Suddi berpendapat bahwa penimba air berteriak kepada temannya yang bernama Busyra, “Wahai Busyra”, tetapi pendapat ini sangat lemah, karena sangat sedikit Allah menyebut nama seseorang di dalam al-Qur’an, kecuali nama-nama yang sangat penting saja.

 

(3) Kejadian ini mirip dengan kisah Nabi Musa 'alaihi as-salam yang dalam perjalanan ingin mencari api untuk menghangatkan tubuh dan alat penunjuk jalan, tetapi yang di dapat justru wahyu Allah, seperti di dalam firman-Nya,

 

وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (9) إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى (10) فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَامُوسَى (11) إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (12)

 

“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu." Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (Qs. Thaha: 9-12)

 

(4) Dua kejadian di atas menunjukkan bahwa di dalam kehidupan ini, seringkali kita mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, bisa jadi malah mendapatkan lebih baik, seperti yang terjadi pada nabi Musa dan pada musafir yang menemukan Yusuf, tetapi tidak sedikit yang justru mendapatkan sesuatu yang lebih buruk.

 

Oleh karena itu, kita serahkan segala urusan kita kepada Allah saja, bagi manusia adalah berusaha, dan hasilnya yang menentukan Allah. Kita tidak boleh berputus asa dengan yang luput, sebaliknya tidak boleh bangga dengan yang didapat, Allah berfirman,

 

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. al-Hadid: 22-23)

 

Pelajaran (3) Perbudakan dalam Islam

 

وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً

 

“Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan.”

 

(1) Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat di atas;

 

Pendapat Pertama, menyatakan bahwa yang menyembunyikan Yusuf sebagai barang dagangan adalah orang yang menimba dan mendapatkan Yusuf di atas timba. Dia menyembunyikannya dari teman-teman sesama musafir, agar dia memperoleh keuntungan yang berlipat untuk dirinya sendiri tanpa perlu dibagi.

 

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa yang menyembunyikan Yusuf sebagai barang dagangan adalah saudara-saudara Yusuf yang merahasiakan statusnya dan mengatakan bahwa Yusuf adalah budak mereka, padahal Yusuf adalah orang yang merdeka. Yusuf sendiri memilih diam, karena khawatir akan dibunuh sudara-saudaranya dan memilih  dibawa oleh musafir

 

(2) Zaman dahulu berlaku hukum rimba di dalam kehidupan manusia, siapa yang kuat dialah yang menang. Adapun yang kalah harus rela dijadikan budak. Perbudakan muncul, paling tidak dari tiga sebab;

 

(a) Peperangan, pihak yang menang akan memperbudak pihak yang kalah.

(b) Penculikan manusia, sebagaimana yang terjadi pada diri Yusuf.

(c) Jual beli, sebagaimana yang terjadi pada diri Bilal sebelum dimerdekakan oleh Abu Bakar as-Siddiq radhiyallahu 'anhu.  

 

(3) Perbudakan menjadi subur, juga karena faktor ekonomi. Mereka menjual para budak, untuk mendapatkan sejumlah harta. Para musafir tersebut diam-diam menyekap Yusuf untuk dijadikan budak dan barang dagangan, karena mereka takut ketahuan menjual orang yang bukan budak, karena hakekatnya Yusuf adalah orang merdeka. Oleh karenanya di penutupan ayat, Allah berfirman,

 

وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

 

“Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yusuf: 19)

 

(4) Islam Memerangi Perbudakan.

 

(a) Islam memerangi perbudakan yang berasal dari penculikan, sebagaimana yang terjadi pada diri Yusuf. Di dalam hadist Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

 

 قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

 

"Allah Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya." (HR. al-Bukhari)


(b) Tidak ada satupun dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang memerintahkan untuk memperbudak orang lain, justru sebaliknya terdapat perintah untuk memerdekakannya, seperti dalam kaffarah dhihar, kaffarah sumpah, kaffarah membunuh sengaja atau tanpa sengaja.

 

(c) Satu-satunya sebab perbudakan yang diakui dalam Islam adalah perbudakan hasil peperangan antara Islam dan Kafir. Orang kafir pantas diperbudak, karena mereka melawan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian jika mereka masuk Islam, maka dianjurkan untuk dimerdekakan. 

 

(d) Islam melarang umatnya untuk berbuat sewenang-wenang kepada para budak, walau mereka adalah orang-orang kafir. Hal ini dilakukan agar mereka mengenal Islam lebih dekat, dan diharapkan setelah itu mereka masuk Islam. Cara lain agar mereka tertarik dengan Islam adalah dengan menikahi mereka dan ini yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Shafiyah binti Huyai bin Akhtab dan Juwariyah binti Harist.

 

Pelajaran (4) Zuhud di Dunia

 

وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ

 

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (Qs. Yusuf: 19)

 

(1) Berkata al-Qurthubi ketika menafsirkan “Mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah”, sebagai berikut;

 

فِي هَذِهِ الْآيَة دَلِيل وَاضِح عَلَى جَوَاز شِرَاء الشَّيْء الْخَطِير بِالثَّمَنِ الْيَسِير وَيَكُون الْبَيْع لَازِمًا

 

“Ayat ini sebagai dalil yang jelas akan kebolehan membeli sesuatu yang sangat berharga dengan harga yang murah, dan jual beli tersebut (sah) dan mengikat.”

 

Maksud dari sesuatu yang berharga adalah Yusuf, dan maksud dari harga yang murah adalah dengan beberapa dirham saja.

 

(2) Makna Zuhud

  وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ

 

“Mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” 

 

(Zahidin) dari zahida, yaitu sedikit ketertarikannya (qillatu ar-rughbah). Artinya para musafir yang menemukan Yusuf dari dalam sumur, kemudian menjualnya di pasar budak, tidaklah tertarik untuk menyimpan Yusuf lebih lama, dan menawarkannya kepada para penjual dengan harga yang tinggi, padahal secara fisik, Yusuf adalah seorang yang sangat tampan, bersih dan berakhlaq mulia, tentunya harga jualnya sangat tinggi, bisa berpuluh-puluh kali lipat dari budak biasa. Hal itu karena mereka mendapatkan Yusuf secara ilegal, mereka khawatir tindakan mereka akan terbongkar, maka mereka segera menjualnya dengan harga yang sangat murah. Inilah arti “mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”

 

Ibnu Katsir dengan menukil dari Ibnu Abbas, Mujahid dan adh-Dhahak berpendapat bahwa yang menjual Yusuf adalah saudara-saudaranya kepada para musafir tersebut. Ketika para musafir menemukan Yusuf, tiba-tiba saudara-saudaranya datang dan mengatakan bahwa Yusuf adalah budak mereka yang lari, kemudian mereka menjualnya kepada para musafir tersebut dengan harga yang sangat murah, karena saudara-saudaranya sudah tidak tertarik lagi kepada Yusuf, dan ingin agar dia segera pergi dari penglihatan mereka.  Ibnu Katsir beralasan bahwa para musafir tersebut sangat gembira ketika menemukan Yusuf, tidak mungkin kemudian mereka menjadi tidak tertarik kepadanya.

 

(3) Zuhud di Dunia

 

Zuhud dari dunia, artinya tidak tertarik dengan dunia karena dunia ini fana, sebagaimana para musafir tidak tertarik hati mereka dengan Yusuf.

 

Banyak orang yang salah paham terhadap arti zuhud, mereka menganggap bahwa zuhud adalah orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Padahal hakikat zuhud adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Sulaiman ad-Darani, “Meninggalkan setiap yang melalaikan dari Allah dan mengingat akhirat.” Maksudnya walaupun seseorang mempunyai kekayaan yang melimpah, tetapi kekayaannya tidak pernah melupakannya dari beribadah kepada Allah dan berinfak di jalan-Nya. Orang seperti ini tentunya jauh lebih baik dari pada orang yang miskin tetapi sibuk mengumpulkan harta, bahkan kadang dengan cara yang haram, sedangkan dirinya tidak pernah ingat Allah dan beribadah kepada-Nya serta lupa dengan akhirat.

 

Zuhud menurut Sufyan ats-Tsauri adalah sedikit berangan-agan di dunia. Sedangkan al-Junaid berpendapat bahwa zuhud adalah menganggap remeh dunia, dan menghapus pengaruhnya dari hati.

 

Seorang laki-laki mendatangi al-Hasan al-Bashri dan bertanya, “Apa rahasia sampai engkau bisa zuhud dari  dunia?” Beliau menjawab, “Ada empat hal;

 

(a) Saya mengetahui bahwa rezeki saya, tidak akan diambil orang, maka hatiku menjadi tenang.

(b) Saya mengetahui bahwa ilmuku tidak akan dikerjakan oleh orang lain, maka saya menyibukkan diri dengan ilmu tersebut.

(c) Saya mengetahui bahwa Allah selalu mengawasiku, maka saya malu, jika Dia melihatku dalam keadaan bermaksiat.

(d) Saya mengetahui bahwa kematian telah menungguku, maka saya mempersiapkan bekal untuk ketemu Rabb-ku. “

 

Salah satu dalil zuhud dari dunia adalah firman Allah,

 

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

 

   “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashshash: 76-77)

KARYA TULIS